Featured Slider

OTOKRITIK PENDIDIKAN HUKUM KONVENSIONAL DALAM OPTIMALISASI PERAN MAHASISWA BERBASIS PENGALAMAN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kritik yang terlontar mengenai gagalnya pendidikan tinggi hukum mengantarkan para pembelajarnya ‘bermetamorfosis’ di luar lingkungan kampus sebagai pribadi-pribadi yang profesional, bermoral, dan berkarakter kuat, merupakan bahan refleksi terhadap model pembelajaran yang selama ini dilakukan. Timpangnya link and match yang kerap dikeluhkan, menunjukkan adanya ‘jurang tak terlihat’ yang harus segera dihapus. Sementara di saat bersamaan, fakultas hukum yang notabene merupakan pencetak sarjana hukum, semakin sulit berkelit ketika para lulusannya justru terjerembab dalam berbagai perkara pidana di saat mereka memangku jabatan sebagai aparat penegak hukum.

Mencermati beberapa kasus hukum yang akhir-akhir ini marak terjadi di Indonesia mencerminkan bahwa kondisi penegakan hukum di Indonesia saat ini telah menodai rasa keadilan di dalam masyarakat. . Betapa tidak, berbagai mitos yang beberapa dekade tertutup rapat bahkan disangkal keberadaannya, pelahan namun pasti mulai menyeruak ke ranah publik. Bercokolnya mafia hukum, bergentayangannya makelar kasus, mengguritanya persekongkolan elit penegak hukum dalam kriminalisasi perkara, hingga keberadaan fasilitas mewah yang dapat dipesan narapidana kelas kakap, merupakan fenomena ‘gunung es’ suramnya realitas penegakan hukum yang dipraktikkan para aparat yang tidak lain adalah alumnus lembaga pendidikan tinggi hukum di republik ini.

Hal tersebut dapat dilihat dari munculnya kasus hukum seperti : kasus Gayus Tambunan yang melibatkan dua jaksa yaitu Cirus Sinaga dan Poltak Manulang saat menangani kasus pencucian uang dan korupsi 25 milyar, belum lagi publik digemparkan dengan kasus Artalita Suryani dengan adanya perlakuan istimewa terhadapnya pada saat ditahan di Rutan Pondok Bambu. Contoh kasus lainnya adalah kasus Anggodo Widjojo yang membuat keterangan palsu di BAP sampai menyuap para penyidik di kepolisian.[1]

Atas kondisi empiris demikian, tidak mudah untuk disangkal semakin melekatkan stigmatisasi yang disandangkan oleh publik kepada hukum, aparat penegaknya, bahkan tidak terkecuali kepada lembaga pendidikan tinggi hukum yang mendidiknya. Meski dalam hal ini lembaga pendidikan tinggi hukum tidak secara langsung berkiprah dalam upaya penegakan hukum, namun alasan pemaaf semacam ini tetap tidak dapat digunakan untuk berpangku tangan atas kondisi hukum yang semakin runyam seperti saat ini. Masa studi pendidikan tinggi hukum yang relatif singkat dalam kisaran delapan semester, tidak tepat pula jika dijadikan alasan pembenar untuk bersikukuh pada argumentasi bahwa para oknum penegak hukum yang melanggar sumpah jabatannya demi kepentingan pribadi dan golongannya, lebih dipengaruhi oleh karakter sosial budaya kerja di lingkungannya an sich, dan sama sekali terbebas dari pengaruh bawaan pendidikan tinggi hukum, ketika duduk di bangku perkuliahan.

Menurut Harkristuti Harkrisnowo bahwa dewasa ini hukum di Indonesia seakan telah mencapai titik nadir dan hanya dapat diperbaiki oleh hukum sendiri.[2] Pandangan tersebut memang tidak dapat dielakkan lagi ketika dihadapkan dengan realita yang terjadi. Perlu menjadi renungan bahwa kondisi ini dapat diakibatkan dunia kerja dari penegak hukum yang merupakan pekerjaan yang mulia atau officium nobile dan faktor pendidikan pada saat di perguruan tinggi. Sebenarnya faktor dominan yang mempengaruhi kinerja dari para penegak hukum berasal dari lingkungan kerja. Namun, tetap saja lahirnya seorang menjadi penegak hukum bermula dari pendidikan yang diperolehnya di bangku perkuliahan. Bahkan, Harikristuti Harikrisnowo menyatakan salah satu lembaga yang dituding menjadi culprit adalah lembaga pendidikan tinggi hukum, karena memproduksi lulusan yang kemudian berkiprah di dunia hukum, baik sebagai hakim, jaksa maupun advokat.[3] Artinya pendidikan tinggi hukum tidak dapat mengelak dari tudingan perannya dalam menciptakan aparat penegak hukum. Jika sudah demikian maka apa yang bisa dilakukan pada pendidikan tinggi hukum tersebut ?

Menurut Hikmahanto Juwana terdapat kelemahan penyelenggaraan pendidikan hukum di Indonesia, yaitu : 1) tidak adanya pembedaan yang tegas antara pendidikan hukum akademis dan profesi, 2) kelemahan pada sistem kredit semester, 3) kurang diperhatikannya infrastruktur pendukung, dan 4) kuatnya intervensi pembuat kurikulum.[4] Selain itu, tenaga pengajar yang masih menggunakan metode pengajaran one way comunication membuat mahasiswa tidak memiliki budaya untuk bertanya ataupun membuat simulakrum tentang apa yang disampaikan oleh pengajar.

Hal ini dipertegas dengan pendapat filsuf dan pendidik dari Amerika John Dewey[5] bahwa pendidikan yang ada sekarang ini merupakan pendidikan tradisional, yang pada intinya pendidikan tradisional menempatkan bahan pelajaran menjadi pusat seluruh kegiatan sekolah materio sentris. Bahan pelajaran yang disiapkan lebih dahulu dan dipecahkan kesulitannya menyebabkan anak tinggal mendengarkan, percaya dan menghafal saja. It is all made for listening.

Dalam penelitian ini, peneliti menawarkan gagasan berupa pendidikan progresif dalam pembelajaran ilmu hukum yang mendasarkan pada pengalaman mahasiswa. Pelajaran bagi pendidikan progresif adalah bahwa pendidikan itu secara agak mendesak menuntut adanya suatu filsafat pendidikan yang didasarkan pada pengalaman. Pendidikan progresif tersebut dimaksudkan untuk memberikan arah baru bagi pendidikan tinggi hukum di Indonesia, yaitu berupa optimalisasi peran mahasiswa dengan menerapkan teknik pembelajaran SCO (Student Center Oriented).

Maka ketika pendidikan tinggi hukum dituntut pula akan andil dan perannya dalam pembangunan sistem hukum, kiranya benar apa yang disampaikan Soetandyo Wignjosoebroto bahwa a vital part of any legal system is legal education, an institusional process meant to train new recruits, the professional needed to maintain and operate the legal system properly[6]. Ulasan demikian semakin menunjukkan betapa pendidikan hukum mempunyaii peran penting dalam peningkatan kemampuan para profesional guna mendinamisasi bekerjanya sistem hukum.

Jika demikian, apa yang salah dengan pola pembelajaran hukum selama ini sehingga memunculkan tragedi hukum yang begitu kelam beberapa tahun terakhir? Pertanyaan semacam inilah yang menarik penulis untuk selanjutnya dikaji dalam penelitian berikut. Penelitian mengenai konsepsi pendidikan hukum demikian begitu penting guna mengetahui bagaimana peran pemuda memberikan kontribusinya dalam proses dinamisasi pendidikan hukum, sehingga kedepan bencana besar terhadap hukum diharapkan tidak terulang kembali. Inilah urgensi sekaligus ekses yang potensial terjadi ketika penelitian demikian tidak dikaji dan ditelaah.

Maka hal ini penting untuk dikaji karena pendidikan hukum perlu melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum untuk menciptakan lulusan fakultas hukum yang tidak sekedar hafal peraturan perundangan-undangan tetapi juga dalam menjalankan hukum yang orientasinya kepada nilai kemanusiaan dan keadilan. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik mengkaji lebih mendalam persoalan tersebut dalam karya tulis yang berjudul “Otokritik Pendidikan Hukum Konvensional dalam Optimalisasi Peran Mahasiswa Berbasis Pengalaman (Sebuah Tawaran Model Pendidikan Progresif dalam Pembelajaran Ilmu Hukum)”.

B. Rumusan Masalah

Guna memberikan fokus terhadap permasalahan yang hendak dikaji dalam penelitian dimaksud, berikut adalah dua pokok pertanyaan yang coba digali jawabnya :

  1. Bagaimana pola pendidikan hukum konvensional memasung peran mahasiswa dalam mengembangkan pengalaman belajarnya ?
  2. Bagaimana model pendidikan progresif di bidang hukum berpotensi meningkatkan peran mahasiswa dalam pengalaman belajarnya ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk memperoleh penjelasan mengenai pola pendidikan hukum konvensional yang memasung peran mahasiswa dalam mengembangkan pengalaman belajarnya; dan

b. Untuk memperoleh model pendidikan progresif di bidang hukum yang berpotensi meningkatkan peran mahasiswa dalam pengalaman belajarnya.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk mengikuti Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM) Nasional Bidang Hukum 2010 yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret; dan

b. Menambah, memperluas, memperdalam, dan mengembangkan pengetahuan dan pengalaman serta pemahaman mengenai pendidikan hukum yang berguna bagi peneliti.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran atas permasalahan dilihat dari sudut teori;

b. Penulisan ini dapat digunakan sebagai bahan acuan sebagai bahan referensi di bidang karya ilmiah yang dapat mengembangkan ilmu pengetahuan terutama di bidang hukum; dan

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dan tambahan pengetahuan bagi berbagai pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti, dan berguna bagi para pihak yang berminat pada masalah yang sama; dan

b. Memberikan masukan kepada lembaga negara yang berwenang mengadakan perubahan sistem pendidikan hukum dalam rangka penyempurnaan pendidikan hukum ke arah progresif.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teoritik

Mengamati beberapa literatur mengenai teori pendidikan, penulis menemukan definisi pokok tentang pendidikan. Menurut beberapa pakar, salah satunya Zainal Abidin yang mengemukakan pengertian pendidikan yaitu suatu usaha yang dilakukan dengan sadar untuk mencapai suatu tujuan, diselenggarakan dengan cara-cara yang teratur, tertib dan terencana.[7] Lebih jauh lagi Hummel memaparkan tujuan pendidikan itu mengandung tiga nilai yang terdiri dari : 1) autonomy, yaitu memberi kesadaran, pengetahuan, dan kemampuan secara maksimum kepada individu maupun kelompok untuk dapat hidup mandiri dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih baik, 2) equity, yaitu memberi kesempatan kepada seluruh warga masyarakat untuk dapat berpartisipasi dengan memberi pendidikan dasar yang sama dan 3) survival, menjamin pewarisan kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. [8]

Tujuan pendidikan saat ini mengalami pergeseran paradigma dari pendidikan yang bersifat konvensional (tradisional) menuju ke arah pendidikan yang bersifat progresif. Namun, pendidikan yang bersifat progresif ini baru sekedar wacana. Seorang filsuf terkemuka dar Amerika John Dewey[9], membagi dua teori pendidikan yang saling bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya. Kedua teori pendidikan tersebut adalah paham konservatif dan unfolding theory. Teori konservatif mengemukakan bahwa pendidikan adalah sebagai suatu pembentukan terhadap pribadi seseorang tanpa memperhatikan kekuatan-kekuatan atau potensi-potensi yang ada dalam diri seseorang. Pendidikan akan menentukan segalanya. Dalam arti, pendidikan merupakan suatu proses pembentukan jiwa dari luar, dimana mata pelajaran telah ditentukan menurut kemauan pendidik, sehingga seseorang menerima saja. Sementara unfolding theory berpandangan bahwa seseorang akan berkembang dengan sendirinya, karena ia telah memiliki kekuatan-kekuatan laten, yang perkembangan seseorang telah memiliki tujuan yang pasti. Tujuan yang dimaksud selalu digambarkan sebagai suatu yang lengkap dan pasti.

Dalam hal ini John Dewey, mengemukakan seseorang belajar selalu dari pengalamannya. The idea of growth result in conception that education is a constant reorganizing or reconstructing of experinence. It has all the time an immediately end, the direct transformation of the quality of experience. Pengalaman-pengalaman tersebut bukan terdiri dari atas materi intern maupun materi yang diungkapkan, melainkan materi yang berasal dari aktivitas yang asli dari lingkungan.[10]

Pendidikan khususnya pendidikan hukum untuk menghasilkan lulusan yang dapat mendukung proses pembangunan di Indonesia. Para mahasiswa diharapkan tidak sekedar mengetahui teori dan peraturan perundang-undangan, tetapi sensitif terhadap berlakunya hukum di Indonesia.

Melihat pendidikan hukum saat ini, pendidikan hukum di Indonesia kebanyakan masih menggunakan sistem konvensional atau sistem sekolah tradisional. Menurut John Dewey, dalam sekolah tradisional, terlalu banyak mata pelajaran yang diberikan karena tujuan sekolah tradisional adalah supaya para siswa kelak dapat menduduki jabatan intelektual. Bahan pelajaran menjadi pusat seluruh kegiatan sekolah materio sentries.[11]

Bahan pelajaran di sekolah tradisional diberikan secara terpisah dan tidak memilki hubungannya dengan kebutuhan anak dalam hidupnya di masyarakat, karena yang diperoleh anak dalam sekolah tradisional tidak dapat ia pergunakan dalam kehidupan bermasyarakat. Beranjak dari situlah, Dewey menekankan pentingnya belajar lewat pengalaman (learning by doing).[12]

Sadjipto Rahardjo menyatakan bahwa pendidikan hukum progresif merupakan lawan dari pendidikan hukum status quo karena tidak responsifnya hukum terhadap perubahan yang terjadi secara mendasar di Indonesia. Hukum dijalankan secara dogmatis dan tidak peka pada proses transisi yang sedang dialami oleh Indonesia.[13]

Sementara Zainal Abidin[14] melihat perlunya perubahan-perubahan yang terjadi dalam dunia pendidikan hukum yaitu yang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Dihubungkan dengan pembangunan maka pendidikan khususnya pendidikan hukum dihadapkan pada perubahan-perubahan masyarakat yang sangat besar dan cepat. Oleh karena itu pendidikan tidak hanya sekedar meneruskan nilai-nilai kebudayaan lama saja, akan tetapi diharapkan dapat menumbuhkan kemampuan baru pada generasi penerus untuk menemukan serta mengembangkan sendiri nilai-nilai baru yang mampu mengembangkan masyarakat sedemikian rupa sehingga dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat tanpa kehilngan kepribadiannya sendiri sebagai bangsa.

Perlunya perubahan tersebut Sadjipto Raharjo[15] memaparkan pendidikan hukum secara kritis sebagai berikut :

“...Optik yang digunakan dalam dunia pendidikan hukum, terutama adalah optik preskriptif. Dengan optik yang demikian, hukum dilihat sebagai suatu sarana yang harus dijalankan. Lembaga pendidikan yang menggunakan optik ini akan mengajarkan kepada mahasiswanya keterampilan tentang bagaimana menguasai sarana itu dan bagaimana pula menggunakannya. Hal ini berarti bahwa pendidikan hukum kita tidak mendidik mereka untuk benar-benar dan sistematis mengkaji hukum sebagai suatu sarana pengatur dalam masyarakat, melainkan hanya tentang bagaimana menjalankan hukum itu dengan benar. Secara singkat bisa dikatakan bahwa keterampilan yang diajarkan adalah keterampilan tukang atau craftsmanship.”

Oleh karena dunia pendidikan yang berorientasi pada optik preskriptif itulah, maka output yang dihasilkan pada akhirnya membentuk alam pikiran mereka, terutama adalah : 1) Peraturan apakah yang harus dipakai dalam suatu kasus tertentu? 2) Bagaimana teknik penerapannya? Keadaan demikian mengandung risiko terjadinya semacam penyempitan dalam kemampuan intelektual mereka yang bertentangan dengan usaha ke arah pembinaan seorang ilmuwan sesungguhnya.

Lebih jauh Sadjipto Raharjo menyatakan[16]:

“Bahwa yang dimaksud dengan ilmuwan hukum dalam arti yang sesungguhnya adalah yang mampu untuk melakukan theory building. Untuk bisa mengembangkan kemampuan ini disarankan agar pendidikan hukum tidak hanya menyebarkan ilmu hukum sebagai applied science, tetapi juga sebagai basic science. Dengan memberikan kesempatan kepada pengkajian terhadap hukum yang bersifat dogmatis dan positivistis untuk mendominasi pendidikan hukum secara mutlak, para mahasiswa kurang disiapkan untuk menjadi ilmuwan yang sesungguhnya. Mereka terbiasa dengan pekerjaan penerapan hukum, tetapi tidak atau kurang mengembangkan kultur bertanya, mempersoalkan, dan memberikan penjelasan mengenai hukum itu.”

Sedangkan pemikiran Sadjipto Raharjo mendapatkan pertentangan dari Sri Rejeki Hartono yang menyatakan tugas utama pendidikan adalah menyiapkan mahasiswa untuk kehidupan di masa depan, sebagian besar untuk meraih lapangan kerja yang sangat luas ditawarkan oleh masyarakat.[17] Perspektif tersebut, mengisyaratkan pemikiran yang cenderung bahwa ouput yang dihasilkan perguruan tinggi lebih berorientasi pada dunia praktis. Artinya, lulusannya disiapkan secara seksama untuk mengisi pasar tenaga kerja. Dengan demikian, maka pendidikan hukum menjadi tempat menyiapkan mahasiswa menjadi pelaku hukum profesional.

Selanjutnya Barda Nawawi Arief[18] menulis :

Pendidikan tinggi hukum pada tingkat S-1 lebih diharapkan sebagai profesional law school yang berbeda dengan di tingkat S-2 dan S-3. Dengan berorientasi pada kebutuhan praktis, kemahiran yang lebih ditekankan pada program S-1 tidak pada kemahiran teoritis akademis atau kemampuan berpikir kritis ilmiah (critical academic thinking) seperti pada program S-2 dan S-3, tetapi ditekankan pada kemahiran praktis dalam menguasai hukum positif untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum. Oleh karena itu, pengetahuan hukum yang diberikan pada S-1 lebih ditekankan pada pemberian pengetahuan hukum substantif (substantive legal knowledge). Jadi, terbatas pada penguasaan hukum positif yang berlaku dan terbatas pada teori-teori (doktrin) hukum yang terkait langsung dengan norma atau isi (substansi) hukum positif yang bersangkutan.

Uraian di atas menunjukkan bahwa program S-1 lebih diarahkan output-nya bagi pasar tenaga kerja. Oleh karena itu, menurut Prof. Jimmly Asshiddiqie[19], pendidikan hukum di masa depan perlu disesuaikan dengan orientasi penataan sistem hukum di masa depan. Misalnya, untuk memberikan peran lebih besar kepada hakim dan jurisprudensi dalam proses pembentukan hukum, maka sistem pendidikan tinggi hukum juga harus menempatkan case law dan praktik hukum sebagai bagian penting dalam sistem kurikulum pendidikan hukum di fakultas-fakultas hukum.

Menurut hemat penulis pandangan John Dewey mengenai pendidikan progesif berbasis pengalaman dan meninggalkan jauh sistem pendidikan tradisional yang membelenggu pemikiran mahasiswa lebih relevan, karena mahasiswa sejak dini sudah diajarkan menjadi “legal thinker”. Selain itu, mahasiswa juga dituntut untuk kritis terhadap isu hukum yang berkembang dalam masyarakat serta mampu berpikir secara kreatif dan dinamis dalam memecahkan masalah hukum yang timbul.

BAB III

METODE PENULISAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin–doktrin hukum yang guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal ini sesuai dengan preskriptif ilmu hukum. Berbeda degan penelitian yang dilakukan di dalam keilmuwan yang bersifat deskriptif yang menguji kebenaran ada tidaknya sesuatu fakta disebabka oleh suatu faktor tertentu, penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai perskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Jika pada keilmuwan yang bersifat deskriptif jawaban yag diharapkan dalam penelilitian adalah true or false, jawaban yang diharapkan dalam penelitian hukum adalah right, appropriate, inappropriate, atau wrong. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hasil yang diperoleh didalam penelitian hukum sudah mengandung nilai.[20]

Dalam penelitian ini yang ingin dikaji adalah otokritik pendidikan hukum konvensional dalam optimalisasi peran mahasiswa berbasis pengalaman (sebuah tawaran model pendidikan progresif dalam pembelajaran ilmu hukum)

B. Pendekatan Penelitian

Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan historis (historical approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi.[21] Telaah demikian diperlukan oleh penulis manakala penulis memang ingin mengungkap filosofis dan pola pikir yang melahirkan sesuatu yang sedang dipelajari yang dalam hal ini adalah pemikiran apakah yang mendasari pembentukan model pendidikan progresif dalam pembelajaran ilmu hukum.

Sedangkan pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.[22] Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum maka akan ditemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan model pendidikan progresif dalam pembelajaran ilmu hukum. Adanya pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang relevan dengan optimalisasi peran mahasiswa berbasis pengalaman sebagai suatu tawaran model pendidikan progresif dalam pembelajaran ilmu hukum.

C. Bahan Hukum

Dalam penelitian ini yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Menurut Peter Mahmud Marzuki, bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.[23] Yang menjadi bahan hukum dalam penelitian ini adalah bahan hukum sekunder yaitu buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian yang dikaji.

D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi dokumen (library research) yaitu mengumpulkan data sekunder melalui identifikasi buku referensi dan media massa seperti koran, internet serta bahan lain yang masih ada hubungannya dengan penelitian ini. Kemudian melakukan analisis isi terhadap bahan hukum yang di kumpulkan yang bersangkutan dengan permasalahan penelitian selanjutnya dikonstruksikan secara sistematis sehingga menjadi data yang siap pakai.

E. Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis bahan hukum yaitu suatu teknik untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang ada untuk mendapatkan konsep-konsep dan pemikiran tentang suatu isu hukum. Dalam penulisan ini menggunakan dua pendekatan sehingga ada dua teknik analisis. Yang pertama pendekatan historis maka teknik analisis bahan hukum yang digunakan yaitu dengan pelacakan lembaga hukum dari waktu ke waktu sehingga dapat memahami perubahan dan perkembangan filosofi yang melandasi suatu aturan hukum. Dan yang kedua dengan pendekatan konseptual maka teknik analisis yang digunakan yaitu dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin dalam ilmu hukum sehingga penulis akan menemukan ide-ide yang akan melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.

Dengan kata lain dapat dijelaskan bahwa langkah-langkah penelitian hukum, yaitu:

1. mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan;

2. pengumpulan bahan-bahan hukum yang sekiranya mempunyai relevansi dengan isu yang diangkat serta bahan non hukum;

3. melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan;

4. menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab isu hukum; dan

5. memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun di dalam kesimpulan.

BAB III

PEMBAHASAN

A. Otokritik Pola Pendidikan Hukum Konvensional yang Memasung Peran Mahasiswa dalam Mengembangkan Pengalaman Belajar

Mencermati besarnya jumlah dan tingginya variasi mata kuliah yang ditawarkan di fakultas hukum, contohnya di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta beban studi program sarjana sekurang-kurangnya 144 (seratus empat puluh empat ) SKS dan sebanyak-banyaknya 160 (seratus enam puluh ) SKS yang dijadwalkan untuk delapan semester. Pada akhirnya, mahasiswa yang mengambil banyak mata kuliah ini hanya akan memahami hukum yang dipelajarinya secara superficial belaka, dan tidak mendalam.

Pada dasarnya materi ajar dari setiap semester saling berkelindan satu dengan yang lainnya. Namun, begitu banyaknya materi yang diajarkan membuat mahasiswa menjadi tidak fokus dalam memahami materi ilmu hukum. Seyogyanya mahasiswa tidak hanya dituntut untuk menerapkan hukum tetapi juga mengkaji hukumnya.

Dilihat dari perbandingan antara teori dengan praktik, proporsi materi ajar yang berupa teori lebih banyak daripada materi ajar dalam bentuk praktik. Sehingga pola pikir mahasiswa bercabang menjadi dua yaitu akademis dan praktis. Hal tersebut berimplikasi terjadinya dua kepentingan sehingga sistem ajar ilmu hukum di Indonesia masih campur aduk antara pendidikan hukum akademis dan pendidikan hukum profesi.

Sebagai gambaran, dalam sistem Amerika Serikat pendidikan hukum terdiri dari dua tahapan.[24] Pertama adalah pendidikan hukum akademis, dalam tahap ini hukum disamakan pengetahuan pada umumnya seperti politik, sejarah dan ekonomi. Pendidikan hukum ini diselenggarakan oleh universitas dan dapat diikuti langsung oleh mereka yang baru lulus SMA. Lamanya pendidikan hukum profesi sangat bervariasi antara tiga sampai lima tahun, sehingga sistem pendidikan hukum di Amerika terstruktur dengan jelas terkait dengan penjurusannya.

Bercermin terhadap hal tersebut sistem pendidikan hukum di Indonesia seharusnya juga dijuruskan sejak awal mahasiswa masuk bangku perkuliahan sehingga mereka dapat matang dalam menentukan arah tujuan pendidikannya. Hal ini berkesesuaian dengan pendapat Mochtar Kusumaatmadja[25] menginginkan adanya pendidikan di fakultas hukum sebagai professional school yang diarahkan untuk mempersiapkan lulusannya menjalani karier di bidang hukum, baik akademik maupun non akademik.

Selain itu, jika dilihat dari sisi teknik pembelajaran yang diterapkan, pendidikan hukum di Indonesia masih bersifat konvensional seperti yang dikemukakan oleh John Dewey. Menurut beliau, belajar dari buku dan guru dipertentangkan dengan proses belajar melalui pengalaman. Analoginya adalah, jika belajar dari buku, mahasiswa hanya stagnan pada isi buku tersebut dan tidak dapat berpikir out of the book. Selain itu, hingga saat ini masih banyak pengajaran dilakukan secara satu arah atau one way communication. Tidak jarang pengajar mendiktekan catatan kuliahnya kepada mahasiswanya. Mereka akan sekedar mendengar dan mencatat apa yang disampaikan oleh pengajar sehingga tidak ada kemampuan untuk bertanya atau berpikir secara kritis.

Timbul pertanyaan mendasar tentang kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh seorang mahasiswa sebagai bekal terjun ke dalam dunia masyarakat, yakni kemampuan berpikir kritis analitis. Perlu digarisbawahi bahwa belajar hukum bukan menghafal pasal-pasal, namun bagaimana membentuk kerangka berpikir yang kritis sehingga bisa menganalisis persoalan hukum dengan baik. Kemampuan ini yang kemudian berimbas pada kemampuan dasar lainnya yang perlu dimiliki. Selain itu, kemampuan dalam memahami asas, prinsip, dan ketentuan hukum yang dipelajarinya sehingga memahami latar belakang dan logika dibalik mengapa hal tersebut diatur.

Hal tersebut diperkuat oleh kritikan yang disampaikan Hikmahanto Juwana[26] mengenai kelemahan penyelenggaraan pendidikan hukum, antara lain kurang diperhatikannya infrastruktur pendukung. Infrastrukutur pendukung yang kurang mendapat perhatian adalah profesionalitas pengajar, metode pengajaran, keberadaan perpustakaan, keberadaan jurnal, ruang kuliah dan jumlah peserta kuliah yang sangat besar. Pengajar atau dosen itu hanya mengajar tanpa melakukan penelitian atau penulisan di jurnal sehingga tidak sedikit mutunya di bawah standar. Metode pengajaran yang terpaku pada pengajar atau dosen ( teacher center oriented ). Disamping itu, minimnya keberadaan buku-buku di perpustakaan dan jurnal hukum baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris sehingga mahasiswa kurang mendapatkan banyak referensi untuk mengerjakan tugas maupun menganalisis suatu kasus hukum yang diberikan oleh para pengajar.

Kondisi ini diperparah lagi dengan materi yang disampaikan. Pertama, pengajar dalam pendidikan ini masih berasal dari perguruan tinggi yang masih menerapkan porsi teori lebih besar daripada praktek. Kedua, para pengajar yang memiliki pengalaman praktek lebih banyak mengajar dengan muatan teori mungkin karena menganggapnya sebagai suatu pendidikan. Hal ini yang menyebabkan para mahasiswa kurang menguasai materi-materi yang telah diberikan karena tidak adanya pengalaman yang tertanam dalam diri mahasiswa untuk memecahkan bahkan menghadapi suatu kasus hukum. Setiap pengalaman sejati akan memberi kesan dan memiliki suatu sisi aktif yang dalam tingkat tertentu mengubah semua kondisi objektif asal-muasal pengalaman itu diperoleh. Seperti yang disampaikan oleh John Dewey[27] bahwa:

“Suatu tanggungjawab utama dari para pendidik ialah bahwa mereka tidak hanya menyadari prinsip umum mengenai terbentuknya pengalaman aktual oleh berbagai kondisi lingkungan, tetapi mereka juga secara konkret menyadari keadaan sekitar macam manakah yang kondusif untuk memperoleh berbagai pengalaman yang menyebabkan proses pertumbuhan.”

Adapun seorang pakar yang melontarkan kritikan terhadap pola pendidikan hukum konvensional. Patut direnungkan pandangan Satjipto Raharjo, bahwa pendidikan tinggi hukum kita lebih didominasi oleh suatu cara pembelajaran yang lebih bersifat teknologis daripada bersifat kemanusiaan atau humane dan sosial.[28] Pembelajaran yang teknologis lebih menekankan pada pembinaan ketrampilan profesi. Maksud dari teknologis yaitu menekankan pada pengetahuan hukum dan cara-cara menggunakan hukum tersebut. Sebagai akibatnya, aspek-aspek manusia dan kemanusiaan yang ada pada hukum menjadi kurang diperhatikan dan terdorong ke belakang.

Gagasan pendidikan hukum berbasis manusia dan kemanusiaan tersebut senada dengan krikik yang dikemukakan oleh Gerry Spence terhadap pendidikan hukum di Amerika Serikat. Spence mengatakan bahwa kelemahan para lawyer Amerika bukan terletak pada kompetensi profesionalnya, melainkan pada kelemahan mereka sebagai manusia.[29]

Awal melangkah ke dalam dunia hukum, para mahasiswa disodorkan oleh diskusi-diskusi seputar manusia seperti keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dalam masyarakat, kebenaran, penderitaan, mengasihi, empati, kepedulian dan keberanian. Hal tersebut yang selayaknya melandasi profesionalismenya sebagai lawyers.

Mahasiswa hanya diajarkan bagaimana menjalankan dan menerapkan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan saja. Hal tersebut yang mempengaruhi pola pikir mahasiswa menjadi stagnan. Salah seorang ahli hukum, Gustav Radbruch, mengemukakan bahwa beranjak dari konsep hukum sebagai konsep budaya (cultural concept), yaitu konsep yang berhubungan dengan nilai, maka ia menekankan pada nilai hukum (the value of law) dan ide hukum (the idea of law). Hukum menurut maknanya dimaksudkan untuk memenuhi ide tersebut. Ide hukum yang dimaksud, ditemukannya dalam tiga elemen, yaitu keadilan (justice), kegunaan atau kemanfaatan (expediency) dan kepastian hukum (legal certainty). Sedangkan mengenai korelasi antara hukum dan hakim yang tampak dalam praktik hukum dimaksudkan untuk mengetahui cara hukum digunakan dan dimaknai di depan pengadilan.[30]

Hukum tidak hanya dimaknai sebagai paksaan tetapi juga sebagai alat pencari keadilan. Dengan kata lain, setiap mahasiswa tidak hanya pandai untuk menerapkan pasal dalam setiap kasus hukum, akan tetapi sejak dini mahasiswa juga diajarkan menghadapi suatu kasus hukum dengan melibatkan aspek psikologis, antara lain komitmen, empati, dedikasi dan kejujuran. Pola pembelajaran yang menekankan pada undang-undang sentris sudah tidak sesuai lagi dengan kehidupan masyarakat sekarang melainkan yang diharapkan pendidikan hukum itu merupakan pendidikan berkualitas manusia dan intelektual, berkemampuan umum yang luas.

B. Model Pendidikan Progresif di Bidang Hukum yang Berpotensi Meningkatkan Peran Mahasiswa dalam Pengalaman Belajar

Mencermati keterpasungan mahasiswa yang sudah ditulis dalam sub bab sebelumnya maka dari itu penulis menawarkan tiga model pendekatan pendidikan yaitu :

1. Two-Way Communication

Perlunya penelitian di bidang pendidikan hukum telah diuraikan oleh Prof. Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji[31] bahwa guna menciptakan suatu model pembelajaran progresif, sedikitnya dapat diarahkan pada suatu hal penting yang dapat dikemukakan yakni, membongkar “kenyamanan” model pembelajaran tradisional. Ciri pembelajaran tradisional adalah menggunakan metode satu arah yakni menerapkan pembelajaran yang berpusat pada dosen atau pengajar (teacher oriented). Dosen dianggap sebagai pemilik informasi. Namun tanpa inovasi, yang terjadi adalah proses belajar satu arah yang tidak memberi kesempatan peserta didik untuk mengembangkan potensi afektif, kognitif dan psikomotoriknya.

Teknik pembelajaran yang saat ini hanya tertuju pada satu arah (one way communication) yaitu berpusat pada pengajar atau dosen akan diubah ke dalam bentuk yang mendekati jiwa atau aspek psikologis anak didik atau mahasiswa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Vernon A. Megnessen[32] bahwa anak didik belajar : 10% dari apa yang dibaca, 20% dari apa yang didengar, 30% dari apa yang dilihat, 50% dari apa yang di lihat dan dengar, 70% dari apa yang dikatakan, dan 90% dari apa yang dikatakan dan lakukan. Ini menunjukkan dosen mengajar dengan ceramah, maka mahasiswa akan mengingat dan menguasai hanya 20% karena mahasiswa hanya mendengarkan. Sebaliknya jika dosen meminta mahasiswa untuk melakukan sesuatu dan melaporkannya maka akan mengingat dan menguasai sebanyak 90%. Oleh karena itu, dalam kegiatan perkuliahan seyogyanya mahasiswa diarahkan untuk lebih aktif. Hal ini tidak lain peran dosen atau pengajar juga diutamakan.

Dalam penulisan ini, peneliti menawarkan model teknologi two-way communication yang melibatkan peran aktif dosen dan mahasiswa dalam proses belajar mengajar. Mahasiswa dituntut untuk dapat berpikir secara kritis terhadap isu hukum yang dihadapi dan dosen memberikan bimbingan langsung yang dapat merangsang mahasiswa untuk mampu meningkatkan daya analisisnya. Teknik ini diharapkan dapat membuat mahasiswa memunculkan ide-ide baru dari hasil pemikirannya sendiri. Jadi, di dalam kelas tidak hanya sekedar mendengar dan mencatat materi yang diberikan oleh dosen tetapi ikut serta memberikan argumentasinya.

2. Experience-Based

Sebagaimana telah dijelaskan dalam sub bab sebelumnya, bahwa materi ajar ilmu hukum di setiap semesternya saling berkelindan satu sama lainnya. Materi ajar pada awal semester merupakan landasan berpijak untuk mengikuti materi ajar pada semester berikutnya yang keseluruhannya itu harus beruntut dan integratif.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh John Dewey[33] bahwa pelajaran bagi pendidikan progresif adalah bahwa pendidikan itu secara agak mendesak menuntut adanya suatu filsafat pendidikan yang didasarkan pada pengalaman. Pendidikan progresif tersebut dimaksudkan untuk memberikan arah baru bagi pendidikan tinggi hukum di Indonesia, yaitu berupa optimalisasi peran mahasiswa dengan menerapkan teknik pembelajaran SCO (Student Center Oriented).

Model pembelajaran yang dapat diterapkan di bidang pendidikan hukum secara lebih implementatif ditandai dengan adanya pergeseran pusat belajar dari teacher oriented ke arah student oriented yang dapat ditemukan dalam berbagai referensi pendidikan progresif, salah satu contohnya adalah metode pembelajaran yang diaplikasikan dalam quatum teaching. Quantum teaching selalu berpusat pada ‘apa yang masuk akal bagi para pelajar’[34]. Quantum Teaching menciptakan lingkungan belajar yang efektif, dengan cara menggunakan unsur yang ada pada siswa dan lingkungan belajarnya melalui interaksi yang terjadi di dalam kelas.[35]

Dengan demikian, mahasiswa dapat berpikir kritis dalam menanggapi isu hukum yang ada apabila interaksi yang terjadi di dalam kelas berlangsung dengan kondusif. Dalam hal ini, suasana kelas yang didukung dengan adanya diskusi interaktif antara mahasiswa dengan dosen maupun antar mahasiswa menciptakan ketertarikan daya olah pikir untuk terus berkembang dalam mempertahankan argumentasi yang dibuat bahkan pemikiran baru dilontarkan.

Keduanya merupakan model pembelajaran yang efektif yang dapat merangsang peran mahasiswa dalam proses belajar. Hal ini dalam pendidikan ilmu hukum dapat diaplikasikan dalam bentuk pembelajaran sebagai berikut :

1 Non Kompetisi, dalam hal ini, mahasiswa mengaplikasikan ilmu hukum yang diperolehnya terkait dengan akademiknya. Mahasiswa menyerap ilmu yang diberikan oleh dosen yang memilki karakter yang

a. antusias: menampilkan semangat untuk hidup,

b. berwibawa: menggerakkan mahasiswa,

c. positif: melihat peluang dalam setiap saat,

d. supel: mudah menjalin hubungan dengan beragam peserta didik,

e. humoris: berhati lapang untuk menerima kesalahan,

f. luwes: menemukan lebih dari satu untuk mencapai hasil,

g. menerima: mencari di balik tindakan dan penampilan luar untuk menemukan nilai-nilai inti,

h. fasih: berkomunikasi dengan jelas, ringkas, dan jujur,

i. tulus: memiliki niat dan motivasi positif,

j. spontan: dapat mengikuti irama dan tetap menjaga hasil,

k. menarik dan tertarik: mengaitkan setiap informasi dengan pengalaman hidup mahasiswa dan peduli akan diri peserta didik,

l. menganggap mahasiswa “mampu”: percaya akan keberhasilan mahasiswa,

m. menetapkan dan memelihara harapan tinggi: membuat pedoman kualitas hubungan dan kualitas kerja yang memacu setiap mahasiswa untuk berusaha sebaik mungkin. Hal demikian membuat mahasiswa semakin memiliki interaksi yang kuat terhadap lingkungan di sekitarnya.

Adapun non kompetisi tersebut dibagi menjadi 2, yaitu :

a. Lisan, non kompetisi dalam lingkup ini, dapat diwujudkan melalui :

1) Focus Group Discussion;

2) Presentasi;

3) Public Speaking

b. Tulisan, non kompetisi dalam lingkup ini, mahasiswa menganalisis sebuah kasus atau bedah kasus (eksaminasi) yang dapat diwujudkan melalui :

1) Makalah;

2) Artikel;

3) Paper

2 Kompetisi, dalam hal ini mahasiswa membuat suatu karya atau ikut serta dalam event tertentu yang tujuannya mengimplementasikan ilmu yang diperoleh di bangku perkuliahan. Dosen juga mempunyai andil yang besar untuk membimbing mahasiswanya yang ikut dalam kompetisi tersebut. Adapun kompetisi dibagi menjadi 3, yaitu :

a. Lisan, kompetisi dalam lingkup ini, dapat diwujudkan melalui :

1) lomba debat bidang hukum;

2) diskusi panel

b. Tulisan, kompetisi dalam lingkup ini dapat diwujudkan melalui :

1) LKTM (Lomba Karya Tulis Mahasiswa);

2) PKM (Program Kreatifitas Mahasiswa);

3) lomba essay;

4) penulisan koran;

5) legal drafting ( teknik pembuatan peraturan perundang-undangan)

c. Lisan dan Tulisan, kompetisi yang berinteraksi dengan cara memainkan peran (role play), dapat diwujudkan berupa : Mootcourt (persidangan semu). Mootcourt merupakan contoh aplikasi riil yang dapat dikembangkan untuk dijadikan “jembatan” penghubung antara law in book dan law in action dalam inovasi model pembelajaran mootcourt.

Proses pembelajaran di atas memberikan pengalaman-pengalaman pada mahasiswa untuk meningkatkan daya berpikir terutama dalam menerapkan dan mengkaji hukum, mereka dapat mengaplikasikan pengalaman itu di dunia kerja sebagai ahli hukum yang profesional.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, maka pebulis memberikan kesimpulan sebagai berikut :

1. sistem pendidikan ilmu hukum yang diterapkan saat ini masih bersifat konvensional. Hal ini ditunjukkan dengan adanya teknik pembelajaran yang masih menggunakan one way communication yakni komunikasi dalam proses belajar mengajar mahasiswa berpusat pada satu informasi yakni dosen atau dapat diistilahkan sebagai Teacher Center Oriented. Selain itu, besarnya jumlah dan tingginya variasi mata kuliah yang ditawarkan di fakultas hukum juga menyebabkan mahasiswanya tidak fokus terhadap materi ajar yang diberikan. Pada akhirnya, mahasiswa yang mengambil banyak mata kuliah ini hanya akan memahami hukum yang dipelajarinya secara superficial belaka, dan tidak mendalam. Apalagi proporsi materi ajar yang berupa teori lebih banyak daripada materi ajar dalam bentuk praktik yang berimplikasi terjadinya dua kepentingan sehingga sistem ajar ilmu hukum di Indonesia masih campur aduk antara pendidikan hukum akademis dan pendidikan hukum profesi.

2. Mencegah keterpasungan mahasiswa terhadap pendidikan hukum yang konvensional, penulis menawarkan dua model pendekatan pendidikan yakni, Two-Way Communication dan Experience Based. Kedua model pendidikan hukum tersebut dapat diaplikasikan dalam bentuk non-kompetisi dan kompetisi. Dua bentuk ini melibatkan peran aktif dosen dan mahasiswa dalam proses belajar mengajar sehingga dapat menguatkan interaksi antar keduanya yang didasarkan pada model quantum teaching. Dengan diterapkannya moddel tersebut ke dalam pendidikan hukum di indonesia diharapkan peran mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa yang mengedepankan prinsip keadilan mampu memecahkan masalah hukum yang ada.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang sudah dijabarkan, penulis mengemukakan saran sebagai berikut :

1. Pendidikan hukum konvensional yang berpusat pada dosen atau teacher center oriented hendaknya ditinggalkan karena telah memasung mahasiswa dalam pengalaman belajarnya. Teknik pembelajaran yang lebih tepat sesuai dengan perkembangan adalah menekankan pada student center oriented yang memainkan peranan penting pada mahasiswa dalam proses belajar.

2. Model pendidikan yang ditawarkan oleh penulis hendaknya dijadikan sebagai acuan dalam mewujudkan pendidikan hukum yang profesional karena model pendidikan progresif inilah yang menempatkan mahasiswa sebagai pusat belajar atau student central oriented dalam meningkatkan daya kritis mahasiswa menghadapi kasus-kasus hukum.



[1] Jonaedi Efendi, Mafia Hukum Menguak Praktik Tersembunyi Jual Beli Hukum dan Alternatif Pemberantasannya dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta, Prestasi Pustaka, 2010. Hlm. 9.

[2] Harkristuti Harkrisnowo, “Selintas Sejarah dan Prospek Pengembangan Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia”, Jentera, Edisi Khusus, 2003. Hlm. 5.

[3] Ibid.

[4]Hikmahanto Juwana, Reformasi Pendidikan Hukum di Indonesia, dapat diakses di http://www.pemantauperadilan.com/opini/04.REFORMASI%20PENDIDIKAN%20HUKUM%20DI%20INDONESIA.pdf

[5] John Dewey, Pengalaman dan Pendidikan, Yogyakarta, Kepel Press, 2008.

[6] Dikutip oleh Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji. Hukum Ekonomi Sebagai Panglima. Mas Media Buana Pustaka. 2009. Hlm 76.

[7] Zainal Abidin, Pendidikan Hukum dalam Masyarakat yang Sedang Berubah (dalam Pendidikan Hukum untuk Kebutuhan Masyarakat), Yogyakarta, Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Fakultas Hukum UII, 1982.

[8] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung, Alfabeta, 2009.

[9] Ibid.

[10] Ibid.

[11] John Dewey, Pengalaman dan Pendidikan, Yogyakarta, Kepel Press, 2008.

[12] Ibid.

[13] http://www.kaskus.us/showthread.php?p=223998156 diakses pada tanggal 27 Agustus 2010 pukul 12:19 WIB.

[14] Op Cit.

[15] Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum (Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum Di Indonesia 1945-1990, Surakarta, Muhammadiyah Univesity, 2004.

[16] Ibid. Hlm. 212.

[17] Ibid. Hlm. 213.

[18] Ibid. Hlm. 215.

[19] Ibid.

[20] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. 2008. hal 35

[21] Lihat Peter Mahmud Marzuki, 2008. Penelitian Hukumt, hal 126

[22] Ibid, hal.95.

[23] Ibid, hal. 141.

[24] Hikmahanto Juwana, “Memikirkan Kembali Sistem Pendidikan Hukum di Indonesia” Jentera, Edisi Khusus, 2003. Hlm. 90.

[25] Harikristuti Harikrisnowo, “Selintas Sejarah dan Prospek Pengembangan Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia”, Jentera, 2003. Hlm. 11.

[26] Hikmahanto Juwana. Reformasi Pendidikan Hukum di Indonesia, dapat diakses di http://www.pemantauperadilan.com/opini/04.REFORMASI%20PENDIDIKAN%20HUKUM%20DI%20INDONESIA.pdf.

[27] John Dewey. Pengalaman dan Pendidikan. Yogyakarta. Kepel Press. 2008. Hlm. 29.

[28] Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji. Hukum Ekonomi sebagai Panglima. Sidoarjo. Mas Media Buana Pustaka. 2009. Hlm 91

[29] Satjipto Raharjo. Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia kaitannya dengan Profesi Hukum dan Pembangunan Hukum Nasional. Yogyakarta. Genta Publishing. 2009. Hlm 66

[30] Otje Salman dan Anton F. Susanto, 2004, Teori Hukum (Mengingat,Mengumpulkan dan Membuka Kembali), Refika Aditama,Bandung.

[31] Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji. Hukum Ekonomi sebagai Panglima. Sidoarjo. Mas Media Buana Pustaka. 2009. Hlm. 97.

[32] Quantum Teaching, Mengajar yang Menyenangkan dalam http://chumy2.wordpress.com/2009/01/07/quantum-teaching-mengajar-yang-menyenangkan/ diakses pada tanggal 18 September 2010 pukul 21:52 WIB.

[33] Opcit. Hlm. 17.

[34] Michael Grinder dalam Bobbi de Porter dkk (Pujian Untuk Quantum teaching), 2007, Quantum Teaching Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-Ruang Kelas, Kaifa, Bandung

[35] Loc Cit.

Tidak ada komentar

Hai, terima kasih sudah berkunjung dan membaca! Let's drop your comments ya. Insya Allah akan berkunjung balik :)