Featured Slider

TELAAH KONSEPSI TEORITIS BEBAS TIDAK MURNI SEBAGAI PEMIKIRAN PROGRESIF DALAM PENEGAKAN HUKUM YANG BERKEADILAN DI INDONESIA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Rona wajah hukum kembali memerah akibat terkuaknya skandal dugaaan suap hakim Syarifuddin Umar oleh koleganya Puguh Wirawan dalam proses penjualan aset pailit PT. Sky Company Indonesia (PT. SCI). Skandal yang menampar dunia penegakan hukum Indonesia demikian, mendorong Mahkamah Agung (MA) untuk mengevaluasi semua perkara yang diperiksa hakim Syarifuddin. Salah satu kasus yang menonjol untuk dievaluasi kembali adalah kasus bebasnya Gubernur Bengkulu (nonaktif) Agusrin Najamuddin dalam kasus korupsi pajak bumi dan bangunan (PBB) dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) sebesar Rp. 21,3 Miliar[1].

Mencermati kasus diatas, setidaknya terdapat dua isu penting yang dapat dikaji. Isu pertama berkait renumerasi yang ternyata masih perlu dikritisi efektifitasnya dalam mencegah penyuapan di lingkungan hukum dan peradilan. Adapun isu hukum kedua adalah kekuasaan yang demikian besar bagi hakim untuk memutus bebas sebuah perkara tanpa kontrol yang masiv atas potensi korupsi di tubuh hakim yang notabene juga manusia biasa. Pada uraian selanjutnya, peneliti tertarik untuk mengkaji isu hukum kedua sebagai fokus bahasan dalam arus pemikiran progresif dalam penegakan hukum di Indonesia.

Mengerucut pada ketentuan yuridis formal tentang putusan bebas (vrijspraak) dapat dirujuk pengaturan Pasal 244 KUHAP, yang berbunyi.

Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas

Berdasarkan rumusan redaksional Pasal 244 tersebut, tampak bahwa secara yuridis normatif KUHAP telah menutup kesempatan bagi Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas (vrijspraak) tersebut. Sementara disaat bersamaan, kondisi yang terlampau riskan justru memberikan keleluasaan yang tidak terbatas bagi pengadilan tingkat pertama sehubungan dengan putusan bebas[2]. Dalam hal ini, ketentuan Pasal 244 seolah-olah menjadi payung hukum pengadilan tersebut dalam kedudukan sebagai tingkat pertama dan terakhir. Konsekuensi yuridis yang kemudian timbul adalah putusan bebas yang diambil oleh hakim, tidak dapat diuji oleh instansi manapun.

Jika mencermati mengguritanya Mafioso hukum yang ternyata menjangkiti pula beberapa oknum hakim, bukan tidak mungkin ketentuan Pasal 244 demikian justru mendorong para hakim untuk menyalahgunakan ovisium nobilenya. Kondisi riskan tersebut agaknya disadari betul oleh Manteri Kehakiman kala itu dengan melakukan terobosan hukum mengenai konsepsi bebas tidak murni. Adapun praktek konsepsi bebas tidak murni ini akhirnya diwujudkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 14-PW. 07. 03. Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP, pada butir 19 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman tersebut ditetapkan, bahwa :

terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding tetapi berdasarkan situasi, dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi[3]

Menelaah konsepsi bebas tidak murni dalam khasanah praktek peradilan hukum pidana, setidaknya memunculkan peluang upaya hukum di satu sisi sekaligus bantuan normatif di sisi lain. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah Surat Keputusan Menteri Kehakiman dapat menyimpangi ketentuan Pasal 244 KUHAP? Apakah terobosan demikian merupakan terobosan progresif atau justru sebuah keputusan yang tidak bernilai? Apakah yurisprudensi yang kemudian muncul berdasarkan Surat Keputusan tersebut tidak menyalahi Pasal 244? Bagaimanakah tata urutan perundang-undangan memandang hukum sebagai produk legislatif ketika berbenturan dengan konsep hukum yang dibuat hakim dalam wujud yurisprudensi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut yang mendorong peneliti untuk mengkaji lebih mendalam sisi progresif konsepsi bebas tidak murni dalam dunia praktek penegakan hukum di Indonesia.

Sisi progresif yang peneliti maksud adalah sebagaimana yang dikemukakan begawan hukum Satjipto Rahardjo, bahwa hukum ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum dan menolak status quo, serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral[4].Pemikiran progresif ini yang selanjutnya peneliti gunakan sebagai pisau analisis terhadap kondisi contra legem konsepsi bebas tidak murni yang berbenturan dengan dengan konsepsi positivistik Pasal 224 KUHAP

Pada tahap selanjutnya perlu diutarakan gagasan kritis kedudukan putusan pengadilan yang mengandung pembebasan yang dihadapkan terhadap kebutuhan sebagai katup penyelamat kepentingan dan perlindungan masyarakat serta ketertiban umum. Sehingga dipandang perlu untuk dicarikan solusi hukumnya.

Berdasarkan paparan sebelumnya, maka hal ini penting untuk dikaji karena terobosan dan lompatan dalam putusan hukum yang membebaskan diri dari konvensi-konvensi lama bukan berarti merupakan keanehan dalam ranah hukum. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik mengkaji lebih mendalam persoalan tersebut dalam karya tulis yang berjudul TELAAH KONSEPSI TEORITIS BEBAS TIDAK MURNI SEBAGAI PEMIKIRAN PROGRESIF DALAM PENEGAKAN HUKUM YANG BERKEADILAN DI INDONESIA”

B. Rumusan Masalah

Guna memfokuskan bahasan dalam penelitian dimaksud, peneliti mengerucutkan rumusan masalah dalam sebuah pertanyaan, yaitu : bagaimana

konsepsi bebas tidak murni dapat dikatakan memenuhi kriteria hukum progresif terkait penegakan hukum yang berkeadilan di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Obyektif

Untuk memperoleh penjelasan analitis mengenai konsepsi bebas tidak murni dalam memenuhi kriteria hukum progresif yang berkeadilan di Indonesia.

2. Tujuan Subyektif

Guna menambah, memperluas, memperdalam, dan mengembangkan pengetahuan dan pengalaman serta pemahaman mengenai pendidikan hukum yang berguna bagi peneliti dalam ajang Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM) Nasional Bidang Hukum 2011 yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran atas permasalahan yang dikaji terkait upaya menggali pemikiran progresif dalam penegakan hukum yang berkeadilan di Indonesia;

b. Penulisan ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan maupun bahan referensi di bidang karya ilmiah yang berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang hukum.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dan tambahan pengetahuan bagi berbagai pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti, maupun membantu peneliti lain yang mengkaji permasalahn yang sama; dan

b. Memberikan masukan kepada lembaga negara yang berwenang mengadakan perubahan sistem penegakan hukum dalam rangka penyempurnaan penegakan hukum yang berkeadilan, berkemanfaatan dan berkepastian hukum.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teoritik

Menurut Romli Atmasasmita, hukum dan penegakan hukum dalam era reformasi tidak dapat dipisahkan dari perilaku politik elit penguasa[5]. Keterkaitan hukum dan penegak hukum dalam perilaku politik tersebut hanya dapat terjadi dalam suatu negara yang tidak demokratis dimana transparansi, supremasi hukum dikesampingkan.

Praktik penegakan hukum bukan merupakan sesuatu yang terjadi seketika terjadi, melainkan sebagai hasil interaksi dari proses sebab akibat dalam perspektif yang lebih luas. Penegakan hukum yang hanya mengandalkan prosedur formal, tanpa mengaitkannya secara langsung dengan spirit yang melatarbelakangi lahirnya kaidah-kaidah hukum, membuat proses penegakan hukum dengan cara mekanistik[6]. Padahal tuntutan hukum tidak hanya pada pelembagaan prosedur dan mekanismenya, melainkan juga pada penerapan nilai-nilai substantifnya.

Mengkaji mengenai konten atau substansi model pengkajian peradilan dalam penegakan hukum di Indonesia, pandangan Satjipto rahardjo yang mengilhami pembelajaran hukum selayaknya tidak hanya melulu mengajarkan aspek teknologisnya, namun perlu memahami pula dari segi humanismenya, akan mengantarkan pengkaji peradilan untuk menyapa berbagai tokoh hukum duia berkenaan dengan bagaimana seharusnya hukum dikaji dan dipelajari. Berkaitan dengan pembelajaran peradilan yang diimplementasikan dalam pembelajaran hukum progresif, ajaran relativisme Gustav Radbruch, khusunya mengenai antinomi-antinomi ide hukum (antinomies of the idea of law)[7] adalah substansi yang kali pertama akan disapa. Gustav Radbruch mengemukakan bahwa beranjak dari konsep hukum sebagai konsep budaya (cultural concept), yaitu konsep yang berhubungan dengan nilai, maka ia menekankan pada nilai hukum (the value of law) dan ide hukum (the idea of law). Hukum menurut maknanya dimaksudkan untuk memenuhi ide tersebut. Ide hukum yang dimaksud ditemukannya dalam tiga elemen yaitu keadilan (justice), kegunaan atau kemanfaatan (expediency) dan kepastian hukum (legal certainty)[8]. Pada aspek ide hukum demikianlah pengkaji peradilan diajak menggali ide hukum dari sebuah kasus posisi sebagai permasalahan manusia yang memiliki sisi keadilan, kemanfaatan dan sisi kepastian dalam mengkaji konsepsi bebas tidak murni di dalam keseharian peradilan.

Sedangkan mengenai kajian yang selanjutnya disapa dalam substansi pengkajian peradilan yaitu, korelasi antara hukum dan hakim yang tampak dalam praktik hukum. Kajian korelasi hakim dan hukum ini dimaksudkan untuk mengetahui cara hukum digunakan dan dimaknai di depan pengadilan[9]. Dalam hal ini mengapa hakim yang dikaji dengan hukum karena dalam penentuan suatu putusan bebas tidak murni ataukah bebas murni dilaksanakan oleh hakim. Dalam hal ini, setidaknya terdapat empat konsep yang bersumber dari ajaran yang berbeda seperti dikemukakan oleh Theo Huijbers, yaitu : legisme (indeenjurisprudenz), ajaran hukum bebas (freirechtsiehre), interessenjurisprudenz, dan idealisme hukum baru (new legal idealism)[10]. Empat konsep ini menjadi pisau analisis bagi penulis untuk mengkaji konsep mana yang digunakan oleh hakim untuk memutus suatu putusan bebas tidak murni.

Pandangan yang legistis memandang praktik di pengadilan tidak lain sebagai penerapan peraturan perundangan dalam perkara-perkara konkret secara rasional belaka. Dalam hal ini hakim melulu mengapresiasikan pasal 244 KUHAP. Hukum dipandang sebagai suatu sistem logis yang berlaku bagi semua perkara karena bersifat rasional. Teori rasionalitas sistem hukum pada abad ke-19 ditunjuk dengan istilah ideenjurisprudenz[11]. Sedangkan ajaran hukum bebas yang dikemukakan oleh mazhab realisme Hukum Amerika membela kebebasan yang besar bagi sang hakim. Seorang hakim dapat menentukan putusannya denagn tidak terikat pada peraturan perundang-undangan dalam hal ini hakim dapat menggali dari kultur masyarakatnya.

Dengan demikian ajaran ini merupakan suatu antitesis ideenjurisprudenz. Sementara itu, konsep yang ke-3 yaitu interessenjurisprudenz tetap mempertahankan norma-norma hukum sebagai penentu dalam proses di pengadilan, walaupun situasi konkret diperhitungkan juga sepenuhnya. Dalam hal ini hakim tetap menggunakan undang-undang tetapi juga tidak lupa untuk melihat situasi kasus, apakah suatu kasus butuh pengkajian atau tidak. Dan dalam teori ini tidak membatasi kreativitas hakim dalam memutus suatu perkara. Teori ini dikualifikasi sebagai penemuan hukum (rechtsvinding), artinya hakim mencari dan menemukan keadilan dalam batas norma-norma yang telah ditentukan dengan menerapkannya secara kreatif pada tiap-tiap perkara konkret.

Konsep progresif menurut penulis terdapat dalam pertentangan antara konsep pertama dan kedua. Konsep pertama mewakili positivistik sedangkan konsep ketiga mewakili progresif. Sedangkan di pihak lain, dalam idealisme hukum baru, undang-undang memiliki bobot normatif bagi penerapan hukum, sebab undang-undang mencerminkan cita-cita hidup yang dituju dalam membentuk suatu tata hukum. Idealisme hukum baru ini dapat timbul hanya dalam sistem hukum kontinental.

Tekanan yang terjadi dalam idealisme hukum baru, di samping undang-undang juga terletak pada cita-cita bangsa, walaupun belum dihayati sepenuhnya. Mencermati keempat ajaran dimaksud, para pengkaji peradilan akan diajak berkeliling dalam belantara pemikiran hubungan hakim dan hukum sebagaimana argumentasi Theo Huijbers[12]. Sebuah pilihan besar akan disodorkan secara demokratis kepada masing-masing pengkaji peradilan apakah dalam konteks hukum nasional yang akan dipraktikkan dalam simulasi penerapan konsepsi bebas tidak murni akan diwujudkan bahwa hakim di Indonesia secara konsepsional lebih cenderung pada idealisme hukum baru (new legal idealism) tersebut, atau justru ajaran pemikiran yang lain?

Terlepas dari hal tersebut, Sudijono Sastroatmodjo menjelaskan perbedaan antara legalisme dan hukum progresif. Legalisme yang berpusat pada aturan, hukum progresif menawarkan jalan lain. Paradigma dibalik, kejujuran dan ketulusan menjadi mahkota penegakan hukum. Empati, kepedulian, dan dedikasi menghadirkan keadilan, menjadi roh penyelenggaraan hukum. Kepentingan manusia (kesejahteraan dan kebahagiaannya) menjadi titik orientasi dan tujuan akhir hukum. Para penegak hukum menjadi ujung tombak perubahan[13] (Sudijono Sastroatmodjo, 2005 : volume 5). Kekuatan hukum progresif akan mencari berbagai cara guna mematahkan kekuatan status quo. Ini adalah paradigma aksi, bukan peraturan. Selain itu, hukum progresif juga menawarkan bentuk pemikiran dan penegakan hukum subsmisif terhadap sistem yang ada, tetapi lebih affirmative (affirmatife law enforcement)[14].

Pandangan progresif Satjipto Rahardjo sebagai gerbang humanisme hukum dapat dilihat dari otokritik yang menarik untuk dikaji mengenai secarik cacatan sang Begawan mengenai pendidikan hukum yang ternyata semakin teknologis dan menjauhi kodrat humanis[15]. Pembelajaran hukum yang teknologis dalam pandangan Satjipto Rahardjo lebih menekankan pada pembinaan ketrampilan pofesi ketimbang bahasan akan keadilan dan kemanusiaan. Sebagai akibatnya hakim sebagai alumni fakultas hukum tidak memandang aspek-aspek manusia dan kemanusiaan yang ada pada hukum sebagai sebuah perhatian dan akhirnya justru aspek ini terdorong ke belakang.

Pandangan demikian sejatinya merupakan hasil pengamatan panjang dalam konteks kehadiran hukum modern sejak 200 tahun lalu. Aspek teknologis pendidikan tinggi hukum demikianlah yang mewarnai hakim sebagai salah satu alumni fakultas hukum yang diungkapkan sebagai optik yang digunakan dalam dunia pendidikan hukum, terutama adalah optik preskriptif. Dengan optik demikian, hukum dilihat sebagai suatu sarana yang harus dijalankan. Lembaga pendidikan yang menggunakan optik ini akan mengajarkan kepada mahasiswanya keterampilan tentang bagaimana menguasai sarana itu dan bagaimana pula menggunakannya.

Hal ini berarti bahwa pendidikan hukum kita tidak mendidik mereka untuk benar-benar dan sistematis mengkaji hukum sebagai suatu sarana pengatur dalam masyarakat, melainkan hanya tentang bagaiaman menjalankan hukum itu dengan benar. Secara singkat bisa dikatakan bahwa yang diajarkan adalah keterampilan tukang atau craftmanship[16].

Adapun atas kondisi pembelajaran pendidikan tinggi hukum yang mempengaruhi pola hakim dalam membuat putusan tersebut yang lebih mengarah ke sisi teknis teknologis dengan beragam konsekuensinya tersebut, Satjipto Rahardjo memberikan beberapa langkah humanis sebagai solusinya. Beliau mengatakan, apabila ingin menjadikan pendidikan hukum sebagai avant grade dari perubahan kultur berhukum di Indonesia, maka sebaiknya mulai beranilah memunculkan gagasan pendidikan hukum berbasis manusia dan kemanusiaan. Guna mewujudkan gagasan tersebut, hal pertama yang harus diusahakan yaitu agar filsafat yang mendasari pendidikan hukum bergeser dari profesional menjadi promanusia. Dalam alam filsafat demikian, maka setiap berhadapan dengan masalah hukum, tidak serta merta langsung menghadapkannya dalam perspektif menghakimi sebagai perkara hukum, melainkan justru memandangnya sebagai masalah manusia dan kemanusiaan[17].

Pergeseran paradigmatik demikian menjadikan pendidikan hukum bukan pertama-tama dan paling utama sebagai pendidikan teknologi dan profesional, melainkan menjadi tempat untuk mematangkan kemanusiaan. Mendidik mahasiswa menjadi matang dalam kemanusiaan berbeda dengan mendidik mahasiswa menjadi profesional atau menjadi operator mesin hukum. Semangat yang mendasari pendidikan hukum bukan mengenai bagaimana menjadi terampil dan profesional, melainkan bagaimana ‘menolong orang yang susah dan menderita’.

Sebagai langkah lanjutan atas filosofi pendidikan hukum yang pro-manusia ini adalah para pengelola pendidikan tinggi hukum harus mendekonstruksi dan merekonstruksi pembelajaran yang selama ini berlangsung. Pola pembelajaran taken for granted, tanpa merasa perlu untuk melakukan elaborasi secara psikologis sudah sepantasnya ditinggalkan. Konsekuensinya, bantuan-bantuan dari disiplin behavioral sciences bagi ilmu hukum sangat dibutuhkan untuk membantu menjadikan pendidikan hukum lebih berdimensi manusia dan kemanusiaan.

Dengan demikian, begitu para alumni pendidikan tinggi hukum tersebut menapakkan kakinya di dunia penegakan hukum, pada saat itu pula mereka disongsong oleh pergulatan diskursus tentang soal-soal seputar manusia, seperti keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dalam masyarakat, kebenaran, penderitaan, mengasihi, keberanian, ketegasan, empati mauoun kepedulian. Kompetensi-kompetensi kemanusiaan seperti inilah yang oleh Spence disebut sebagai evolved person yang harus mendasari profesionalisme para lawyers[18], hakim, penuntut umum, maupun penyidik sebagai empat pilar penegak hukum.

BAB III

METODE PENULISAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan-bahan tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya dalam masalah yang diteliti yaitu terkait dengan konsepsi bebas tidak murni sebagai pemikiran progresif dalam penegakan hukum yang berkeadilan di Indonesia.

B. Pendekatan Penelitian

Penelitian hukum ini menggunakan Pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Menurut Peter Mahmud Marzuki, Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani[19]. Pendekatan undang-undang ini akan membuka kesempatan bagi penulis untuk mempelajari adanya konsistensi dan kesesuaian antara undang-undang satu dengan undang-undang yang lainnya atau antara undang-undang dengan Undang-Undang Dasar atau antara regulasi dan undang-undang. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi yang dalam hal ini adalah terkait konsepsi bebas tidak murni sebagai pemikiran progresif dalam penegakan hukum yang berkeadilan di Indonesia.

Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum[20]. Mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum maka diharapkan akan ditemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan konsepsi bebas tidak murni sebagai pemikiran progresif dalam penegakan hukumyang berkeadilan di Indonesia.

C. Bahan Hukum

Dalam penelitian ini yang digunakan peneliti adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Menurut Peter Mahmud Marzuki, bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi[21]. Yang menjadi bahan hukum dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

1. bahan hukum primer, meliputi :

a. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

b. Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 14-PW. 07. 03. Tahun

1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP.

2. bahan hukum sekunder, meliputi : buku-buku teks, kamus-kamus hukum, dan jurnal-jurnal hukum yang berkaitan dengan kajian konsepsi bebas tidak murni.

D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah studi dokumen (literature research) yaitu mengumpulkan bahan hukum melalui identifikasi buku referensi dan media massa seperti koran, internet serta bahan lain yang masih ada hubungannya dengan penelitian ini. Kemudian melakukan analisis isi terhadap bahan hukum yang di kumpulkan yang bersangkutan dengan permasalahan penelitian selanjutnya dikonstruksikan secara sistematis sehingga menjadi bahan hukum yang siap pakai.

E. Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik análisis bahan hukum yang akan digunakan penulis dalam penelitian ini adalah dengan metode deduksi, yaitu metode yang berpangkal dari pengajuan premis mayor dan premis minor. Dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu kesimpilan atau conclusing[22]. Penalaran hukum yangmerupakan premis mayor adalah aturan hukum dan premis minornya adalah fakta hukumnya.

BAB III

PEMBAHASAN

Telaah Konsepsi Teoritik Bebas Tidak Murni sebagai Pemikiran Progresif dalam Penegakan Hukum yang Berkeadilan di Indonesia

Berdasarkan pengumpulan bahan-bahan hukum pada bab terdahulu dapat diketahui bahwa konsepsi teori bebas tidak murni ini merupakan sebuah pemikiran yang menyimpangi ketentuan perundangan yang sudah ada. Dapat dilihat dalam Pasal 244 KUHAP yang menyatakan bahwa sebuah putusan bebas tidak boleh diajukan upaya hukum kasasi. Namun perlu diingat bahwa tertutupnya upaya hukum yang bisa dilakukan tersebut menutup pintu keadilan dan kemanfaatan bagi si korban, karena korban tidak akan mengetahui lagi siapa pelakunya.

Atas kondisi hukum yang diciptakan Pasal 244 demikian, kemudian munculah pemikiran mengenai teori bebas tidak murni ini yang sejatinya didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 14-PW. 07. 03. Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Ketentuan tersebut menyatakan :

terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding tetapi berdasarkan situasi, dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi[23]

Berdasarkan dua konsepsi yang diametral demikian, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana konsepsi bebas tidak murni yang merupakan Keputusan Menteri Kehakiman dapat menyimpangi KUHAP yang notabene merupakan Undang-Undang? Sebelum lebih jauh memaparkan mengenai benturan pemikiran antara konsepsi progresif dan positivistik ini berikut adalah skematik yang akan menuntun peneliti mengurai konsepsi bebas tidak murni sebagai pemikiran progresif.


Gambar 1 Skema Progresif vs Positivistik

Mencermati skematik di atas, terdapat dua aspek, terdapat perspektif yang berbeda dalam hal memandang memandang konsepsi bebas tidak murni sebagai pemikiran progresif di satu sisi dan ketentuan Pasal 244 sebagai konsep positivistic di sisi lain. Adapun jabaran mengenai aspek kedua konsep tersebut adalah sebagai berikut.

1. Konsepsi bebas tidak murni mengusung hukum untuk manusia sedangkan Pasal 244 KUHAP mengusung hukum untuk hukum itu sendiri

Kapan konsep bebas tidak murni dapat memenuhi menjadi hukum yang manusiawi dan bukan hukum untuk hukum itu sendiri? Ketika hukum berhenti sebagai akibat dari ‘vonis bebas’ dari hakim, maka konsep bebas tidak murni mampu menerobos dan membongkar stagnasi hukum ketika penegakan hukum mandeg karena vonis bebas yang termaktub dalam Pasal 244 KUHAP tidak boleh diupayakan hukum lagi. Sehingga ketentuan bebas dalam Pasal 244 KUHAP memberikan ekses, antara lain :

  1. jika diputus bebas dan tidak dapat diupayakan hukum lagi, lalu siapa yang harus bertanggungjawab? padahal ada korban dalam pembunuhan, ada kerugian negara dalam kasus korupsi. terlampau riskan justru memberikan keleluasaan yang tidak terbatas bagi pengadilan tingkat pertama sehubungan dengan putusan bebas, yakni menimbulkan celah korupsi dan suap di tubuh hakim yang notabene juga manusia biasa, sebut saja kasus suap hakim Syarifuddin Umar oleh koleganya Puguh Wirawan.
  2. penegak hukum harus mengulang proses penyelidikan, penyidikan lagi sebagai akibat dari vonis bebas, untuk mencari pelakunya sehingga korban juga harus mengulang kembali proses dari awal, membuka kembali cerita kelamnya yang membuat lukanya semakin menganga. Contohnya, dalam kasus pembunuhan Munir. Pollycarpus divonis bebas pada pengadilan tingkat pertama, padahal dia adalah orang yang paling dicurigai dan berpeluang untuk melakukan pembunuhan untuk membunuh Munir. Berdasarkan bahan hukum yang penulis peroleh, Pollycarpus tidak mempunyai ijin terbang pada saat itu, dalam rumahnya juga ditemukan denah tempat duduk yang ditempati oleh Munir di pesawat. Sehingga, apabila merunut ketentuan dalam Pasal 244 KUHAP, maka pada waktu itu juga kasus Munir ‘mandeg’ karena vonis bebas terhadap Pollycarpus telah dijatuhkan dan tidak dapat diupayakan hukum lagi. Tetapi, dengan konsep ‘bebas tidak murni’ yang diimplementasikan, maka perkara tersebut dapat diajukan kasasi, dan finalnya Pollycarpus diganjar hukuman 20 tahun penjara karena terbukti terlibat dalam kasus pembunuhan Munir. Dalam kacamata hukum progresif, konsep bebas tidak murni mampu menerobos Pasal 244 KUHAP yang membuat law enforcement tidak stagnan dan dapat berjalan kembali. Sehingga, konsep bebas tidak murni tidak melihat hukum sebagai suatu produk final, melainkan yang secara terus menerus masih harus dibangun (law in the making).

2. Konsepsi bebas tidak murni mengusung hukum itu bersifat humanis sedangkan Pasal 244 KUHAP mengususng hukum bersifat teknologis teknologis

Mengkaji mengenai konten atau substansi model pengkajian peradilan dalam penegakan hukum di Indonesia, pandangan Satjipto rahardjo yang mengilhami pembelajaran hukum selayaknya tidak hanya melulu mengajarkan aspek teknologisnya, namun perlu memahami pula dari segi humanismenya. Berkaitan dengan pembelajaran peradilan yang diimplementasikan dalam pembelajaran hukum progresif, ajaran relativisme Gustav Radbruch, khusunya mengenai antinomi-antinomi ide hukum (antinomies of the idea of law)[24] adalah substansi yang kali pertama akan disapa. Sedangkan mengenai kajian yang selanjutnya disapa dalam substansi pengkajian peradilan yaitu, korelasi antara hukum dan hakim yang tampak dalam praktik hukum. Kajian korelasi hakim dan hukum ini dimaksudkan untuk mengetahui cara hukum digunakan dan dimaknai di depan pengadilan[25]. Dalam hal ini mengapa hakim yang dikaji dengan hukum karena dalam penentuan suatu putusan bebas tidak murni ataukah bebas murni dilaksanakan oleh hakim. Mencermati, hukum dan penegakan hukum dalam era reformasi tidak dapat dipisahkan dari perilaku politik elit penguasa[26]. Maka, terlalu rawan memberikan hakim tingkat pertama untuk memutus bebas tanpa adanya upaya hukum lain setelahnya. Sekali lagi, hal tersebut memunculkan potensi adanya korupsi dan suap di kalangan die lit penguasa terhadap hukum. Sehingga hukum hanya untuk orang yang berduit saja, bukan untuk orang yang tidak punya. Masih lekat di ingatan, kasus Prita Mulya Sari, Mbah Minah, Kasus Janda Pejuang. Praktik penegakan hukum bukan merupakan sesuatu yang terjadi seketika terjadi, melainkan sebagai hasil interaksi dari proses sebab akibat dalam perspektif yang lebih luas. Pasal 244 mencerminkan penegakan hukum yang hanya mengandalkan prosedur formal, tanpa mengaitkannya secara langsung dengan spirit yang melatarbelakangi lahirnya kaidah-kaidah hukum, sehigga hukum bersifat teknologis yang hanya menerapkan bagaimana cara hukum tersebut diberlakukan. Berbeda halnya dengan konseps bebas tidak murni. konsep tersebut mampu menerobos peraturan yang ada, dimana peraturan tersebut tidak lagi relevan karena hanya menekankan pada kepastian hukumnya saja dan mengesampingkan aspek lain yang juga penting. Sehingga konsep bebas tidak murni bersifat humanis, karena sejatinya hukum itu untuk melayani penderitaan masyarakat dan pengadilan itu tempat untuk mencari keadilan.

Menurut Gustav Radbruch suatu hukum yang ideal, hendaknya mencakup tiga elemen yaitu keadilan (justice), kegunaan atau kemanfaatan (expediency) dan kepastian hukum (legal certainty)[27]. Hukum tidak hanya melulu terpaku pada kepastian hukumnya saja, akan tetapi juga harus memperhatikan aspek keadilan dan kemanfaatan. Lalu bagaimana penerapan hukumnya, apabila terjadi kontradiksi pengaturan hukum, Mengingat konsepsi bebas tidak murni merupakan produk dari yurisprudensi sedangkan Pasal 244 merupakan produk Undang-Undang yang notabene hasil dari badan legislatif. Theo Huijbers membagi ajaran hukum menjadi empat, yaitu : legisme (indeenjurisprudenz), ajaran hukum bebas (freirechtsiehre), interessenjurisprudenz, dan idealisme hukum baru (new legal idealism)[28]. Penjelasan selanjutnya dapat dilihat dalam skema bagan berikut.


><

Gambar 2 Bebas Tidak Murni vs KUHAP

Berdasarkan kajian pustaka yang dilakukan, diketahui bahwa pandangan yang legistis memandang praktik di pengadilan tidak lain sebagai penerapan peraturan perundangan dalam perkara-perkara konkret secara rasional belaka. Dalam hal ini hakim melulu mengapresiasikan Pasal 244 KUHAP. Hukum dipandang sebagai suatu sistem logis yang berlaku bagi semua perkara karena bersifat rasional. Teori rasionalitas sistem hukum pada abad ke-19 ditunjuk dengan istilah ideenjurisprudenz. Sedangkan ajaran hukum bebas yang dikemukakan oleh mazhab realisme Hukum Amerika membela kebebasan yang besar bagi sang hakim. Seorang hakim dapat menentukan putusannya denagn tidak terikat pada peraturan perundang-undangan dalam hal ini hakim dapat menggali dari kultur masyarakatnya. Dengan demikian ajaran ini merupakan suatu antitesis ideenjurisprudenz.

Sementara itu, konsep yang ke-3 yaitu interessenjurisprudenz tetap mempertahankan norma-norma hukum sebagai penentu dalam proses di pengadilan, walaupun situasi konkret diperhitungkan juga sepenuhnya. Dalam hal ini hakim tetap menggunakan undang-undang tetapi juga tidak lupa untuk melihat situasi kasus, apakah suatu kasus butuh pengkajian atau tidak. Dan dalam teori ini tidak membatasi kreativitas hakim dalam memutus suatu perkara. Teori ini dikualifikasi sebagai penemuan hukum (rechtsvinding), artinya hakim mencari dan menemukan keadilan dalam batas norma-norma yang telah ditentukan dengan menerapkannya secara kreatif pada tiap-tiap perkara konkret.

Konsep progresif menurut penulis terdapat dalam pertentangan antara konsep pertama dan ketiga. Konsep pertama mewakili positivistik sedangkan konsep ketiga mewakili progresif. Sedangkan di pihak lain, dalam idealisme hukum baru, undang-undang memiliki bobot normatif bagi penerapan hukum, sebab undang-undang mencerminkan cita-cita hidup yang dituju dalam membentuk suatu tata hukum. Dalam hal ini konsep positivistik tercermin dalam Pasal 244 sedangkan konsep progresif tercermin dalam bebas tidak murni.

Bebas tidak murni merupakan intrepretasi hukum yang bersifat humanis. Dengan kata lain, hukum tidak hanya memperhatikan kepastian hukumnya saja, akan tetapi juga mempertimbangkan aspek keadilan dan kemanfaatannya. Sedangkan, Pasal 244 KUHAP jika dipaksakan diimplementasikan secara kaku, maka hukum hanya menekankan aspek kepastian hukumnya saja dan mengesampingkan aspek lainnya yang juga penting. Dalam penegakan hukum, jika penegak hukum bersifat progresif, maka penegak hukum seharusnya memakai konsep bebas tidak murni sebagai pisau analisis untuk membedah kasuistis yang dihadapi. Tetapi apabila penegak hukum yang hanya berpikir positivistik, maka hukum hanya digunakan sebagai cara menggunakan hukum itu sendiri, dan hal tersebut akan menjadi bencana besar dalam praktek peradilan pidana di Indonesia. Karena, hukum hanya untuk hukum dan hukum bukan untuk manusia. Hukum bersifat teknologis bukan hukum bersifat humanis. Hukum hanya memperhatikan aspek kepastian hukumnya saja dan mengesampingkan aspek kemanfaatan dan keadilan bagi manusia.

Berbeda halnya dengan ketentuan Pasal 244 KUHAP, Konsep bebas tidak murni memberikan sebuah pencerahan dalam praktek peradilan pidana di Indonesia.

1. ada hukum yang berjalan kembali, sehingga hukum untuk manusia bukan hukum hanya untuk hukum. Dengan demikian, dapat menciptakan keadilan baik untuk pelaku maupun untuk korban yang dirugikan. Sehingga konsep bebas tidak murni dapat membongkar hukum yang stagnan dan dapat mengupayakan hukum kembali berjalan.

2. ada pengkajian terhadap judge made law sehingga tidak hanya kepastian hukum saja yang menjadi tolok ukurnya, akan tetapi keadilan dan kemanfaatan juga menjadi bahan pertimbangan setiap hakim untuk memutuskan di pengadilan. Kasus putusan bebas yang dimohonkan kasasi oleh Penuntut Umum yang mempunyai nilai historis yuridis dalam dunia peradilan pidana kita yakni putusan Mahkamah Agung tanggal 15 Desember 1983 Regno: 275 K/Pid/1983 dalam perkara Raden Sonson Natalegawa oleh karena merupakan yurisprudensi pertama terhadap putusan bebas era berlakunya KUHAP. Putusan Mahkamah Agung ini merupakan suatu terobosan yang terjadi dalam masa peralihan berlakunya KUHAP yang selanjutnya dijadikan pedoman dalam melakukan permohonan kasasi terhadap putusan bebas yang telah membaku ke dalam yurisprudensi konstan (tetap) bahwa terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri, Jaksa secara langsung dapat mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung tanpa melalui upaya hukum banding terlebih dahulu.

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya dapat diketengahkan simpulan sebagai berikut. Konsepsi bebas tidak murni ternyata memenuhi beberapa kriteria pemikiran progresif yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo yaitu hukum yang bersifat humanis dan untuk manusia. Dikatakan humanis karena bebas tidak murni memberikan kesempatan bagi korban maupun bagi penegak hukum untuk mencari siapa pelaku sesungguhnya dalam suatu tindak pidana yang notabene tertutup dengan adanya Pasal 244 KUHAP. Dengan terbukanya kepastian Pasal 244 KUHAP tentang kasasi ini maka memberikan sebuah peluang untuk dicapainya keadilan, kemanfaatan hukum dalam sebuah penegakan hukum dalam penanganan kasus di peradilan. Sehingga dengan terpenuhinya hukum yang humanis dan bukan hukum yang teknologis atau hukum untuk manusia dan bukan untuk hukum itu sendiri maka dapat dikatakan bahwa konsepsi bebas tidak murni ini memenuhi seluruh kriteria dari hukum progresif. Hal yang berkebalikan ditunjukkan oleh Pasal 244 KUHAP yang menutup seluruh kemungkinan upaya hukum, dalam hal ini kasasi, mencirikan Pasal 244 KUHAP sebagai hukum yang sangat teknologis dan hanya berfungsi untuk kepastian hukum itu sendiri.

B. Saran

Sebagai rekomendasi atas kajian tersebut, berikut merupakan saran-saran yang dapat dipetik.

1. Diperlukan sebuah pengkajian lebih mendalam mengenai ketentuan Pasal 244 KUHAP bahkan tidak menutup kemungkinan adaya amandemen atau perbaikan dalam hal tidak dibukanya kran kasasi sesuai dengan Pasal 244 dimaksud, karena tidak memberikan keseimbangan posisi antara saksi, korban, dan terdakwa di sisi yang lain. Padahal seharusnya KUHAP tidak hanya melulu melindungi hak asasi dari si pelaku tapi juga seharusnya melindungi hak asasi dari si korban.

2. Diperlukan sosialisasi yang masiv dalam gelar perkara, diskursus ilmiah, kajian-kajian disenting opinion terhadap putusan-putusan pengadilan yang menggunakan konsepsi bebas tidak murni sehingga seluruh hakim dapat mempertimbangkan dengan penuh keyakinan dan dengan alat bukti yang ada mengenai kasus-kasus yang membutuhkan penalaran hukum yang lebih bebas atau penalaran hukum yang lebih progresif terkait dengan kemanfaatan konsepsi bebas tidak murni dalam penegakan hukum.



[1] Lihat Jawa Pos. Rabu, 8 Juni 2011.

[2] Yahya Harahap2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang

Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali. Jakarta : Sinar Grafika. h. 400.

[3] Ibid. h.523.

[4] Satjipto Raharjo, 2009. Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta : Genta

Publishing. h. 2.

[5] Romli Atmasasmita, 2001. Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum.

Bandung : Mandar Maju. h. 54.

[6] Bambang Sutiyoso, 2006. Metode Penemuan Hukum (Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti

dan Berkeadilan). Yogyakarta: UII Press. h. 15.

[7] Kurt Wilk(1950) dalam Hari Purwadi. 2007. Nilai Dasar dan Pendekatan Hukum dalam Pembentukan Putusan Pengadilab. FH UNS-KY.

[8] Igm Nurdjana, 2010. Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi ”Perspektif Tegaknya

Keadilan Melawan Mafia Hukum”. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. h. 179.

[9] Muhammad Rustamaji dan Dewi Gunawati. 2011.Membedah Peradilan Pidana dalam Kelas Pendidikan Hukum Progresif. Surakarta : Mefi Caraka. h. 61.

[10] Otje Salman dan Anton F. Susanto, 2004. Teori Hukum (Mengingat,Mengumpulkan dan

Membuka Kembali). Bandung : Refika Aditama. h. 79.

[11] Ibid. h. 80.

[12]Muhammad Rustamaji dan Dewi Gunawati, Op. Cit. h. 62.

[13] Sudijono Sastroatmodjo. 2005. Hukum Konfigurasi Hukum Progresif. Program Studi Ilmu

Hukum Fakultas Ilmu-ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, Volume 8.

[14] Satjipto Rahardjo ,Op. Cit. h. 141.

[15] Muhammad Rustamaji dan Dewi Gunawati , Op. Cit. h. 39.

[16] Satjipto Rahardjo. 1981. Manfaat Telaah Ilmu Sosial terhadap Hukum. Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan sebagai Guru Besar Tetap dalam Mata Kuliah Sosiologi Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. 13 Desember 1980. dalam Beberapa Guru Besar Berbicara tentang Hukum dan Pendidikan Hukum (Kumpulan Pidato-Pidato Pengukuhan). Bandung:Alumni. h. 169. Lihat pula Khudzaifah Dimyati. h. 210.

[17] Muhammad Rustamaji dan Dewi Gunawati, Op Cit. h. 46.

[18] Satjipto Rahardjo. 2009. Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia. Yogyakarta :

Genta Publishing. h. 66.

[19] Peter Mahmud Marzuki, 2010. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana Media Group. h. 93.

[20] Ibid. h.95.

[21] Ibid. h. 141.

[22] Ibid. h. 47.

[23] Ibid. h.523.

[24] Kurt Wilk(1950) dalam Hari Purwadi. 2007. Nilai Dasar dan Pendekatan Hukum dalam Pembentukan Putusan Pengadilab. FH UNS-KY.

[25] Muhammad Rustamaji dan Dewi Gunawati, Loc Cit.

[26] Romli Atmasasmita, Loc Cit.

[27] Igm Nurdjana, Loc Cit.

[28] Otje Salman dan Anton F. Susanto, Loc Cit.

Tidak ada komentar

Hai, terima kasih sudah berkunjung dan membaca! Let's drop your comments ya. Insya Allah akan berkunjung balik :)