Featured Slider

Siapa yang belajar pada siapa

Momen-momen seperti ini yang membuatku tak pernah jauh dari kamera

"Bulik main yuk", sambil mengulurkan tangan mungilnya. "Bulik terima kasih", selepas aku memberikan sesuatu. "Bulik, ini apa? itu apa?", aku menjawab bla-bla-bla dan kalian menyeringai.

Bukan kalian yang belajar dariku, tapi sejatinya, akulah yang belajar banyak dari kalian

...dan itu lebih dari cukup, karena kalian mengajarkanku banyak hal yg sebelumnya aku abaikan... "sholih/sholihah ya sayang", aku membisikkannya sebelum tidur.
Read More »

Kalau aku kangen kamu, aku harus ngapain?

“Kalau aku kangen sama kamu, aku harus ngapain?”, pertanyaan ini mengambang di langit-langit kamar, disaksikan suara kipas tua yang mendesing dan buku-buku berserakan yang beberapa hari ini merasa nyaman bertumpuk tidur denganku.

“Lalu pertanyaan itu untuk siapa?”, aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal, tidak ada jawaban.

Hoi, ini malam minggu, ada pasar malem di sebelah kompleks. Ombak air yang berdesir, kemidi putar, arum manis. Mungkin aku akan tetap menjadi penggemar pasar malam. Bukan karena keramaiannya, tapi kadang-kadang, aku ingin menjadi anak kecil lagi, yang bebas memilih permainan tanpa aturan.

Sadar ini pukul 22.25 akhirnya aku memutuskan untuk mengunci kamarku tanpa memberekan buku-buku itu di ranjangku. 

Dan sebelum tidur, aku masih belum menemukan jawaban atas pertanyaanku. Kalau aku kangen sama kamu, aku harus ngapain? Dan aku tidak tau itu untuk siapa. adios
Read More »

Sepuasnya atau secukupnya?


“Yang benar itu, makan sepuasnya atau makan secukupnya?”

Ah, kadang-kadang statement satu dengan yang lain itu beda-beda tipis. Tapi menggelitik sekali kalo dirunut lebih jauh. Dalam hal ini, saya cenderung menyukai statement kedua, meskipun kadang-kadang, hanya KADANG menyukai statement pertama.

Sepuasnya berimbas pada suka-suka kita, parameter untuk berhentinya adalah saat perut kenyang, sudah cukup.

Secukupnya lebih pada kendali kita agar kita berhenti sebelum rasa kenyang itu sendiri. Trus parameternya apa? Pastinya, masing-masing pribadi tau tanpa harus menerima penjelasan.

Tiba-tiba ingin menulis ini, karena ingin mendapatkan penjelasan “apakah kamu sudah merasa cukup, sayang?” 

“Kalo jawabannya belum, kamu masih bisa belajar, tapi kalo TIDAK merasa cukup, BERBUATLAH SESUKAMU KALO TIDAK MALU!”, dan tiba-tiba bulu kudukku merinding.

Bye jam makan siang.
Read More »

Talk to Myself #1

"Saat kita memutuskan untuk memaafkan dan tidak membalas (meskipun sangat bisa) orang yang menyakiti kita, detik itulah kita telah menang atas diri kita sendiri"

Saya menggigitnya lekat dan erat.
Read More »

Bibir Gincu


Aku mematut-matut di depan cermin. Mengatup-ngatupkan bibirku agar lipstiknya kelihatan rata.

Hari ini berbeda. Aku merasakan nyeri di perut beberapa hari ini. Saat kambuh bisa sakit luar biasa.

“Jangan-jangan lu lagi PMS, Sha. Minum kunir asem sana”, kata Mbak Ell.

“Ini masih tanggal 10, Aisha period nya 27-an, Mbak”, jawabku sambil memegang-megang perut.

Obrolan itu sudah 3 hari berlalu, berarti sudah 4 hari ini aku sudah bersahabat dengan rasa nyeri itu.

Seringkali menepuk-nepuk perutku, berasa perutku ada bayinya (tapi tidak). “jangan rewel ya, saying”, gumamku saat mau naik kereta. 1 jam dengan posisi berdiri mengelus-elus perutku.

Bibir Gincu

Pagi ini pucat, bibir pecah-pecah. Aku mengambil salah satu lipstick di dompet. Aku punya 3 warna lipstick Revlon med (aku gak tau tulisannya gimana, tapi lipstick itu bisa tahan sampe semalaman). Biasanya aku memakai warna bibir atau lipglos, tapi hari ini berbeda, aku mengambil warna merah menyala.

Aku mematut-matut di depan cermin. Mengatup-ngatupkan bibirku agar lipstiknya kelihatan rata.

“Hiyah, bibir kamu habis jatuh dari mana, Sha, kok merah banget”, Roppongi mengejek, aku senyum.

“Aishaaaaaaaaaaaaaaaaaa, tumben pake merah-merah”, Diyara mencubitku, aku senyum.

“Aish, ada yang beda hari ini ya? Tapi apa?”, Pak Supri tersenyum dan aku juga senyum.

“Aisha, kamu cantik pake gincu itu”, dia bilang begitu, aku senyum dan berlalu.

Hari ini memang berbeda. Semua berkomentar sesuka mereka, tapi apa mereka tau? Perutku 5 hari ini melilit? Membuat mukaku pucat pasi, sementara deadline-deadline  itu menari-nari tak memberiku jeda waktu.
**

“Eh, Sha. Kok tumben gak pake gincu lagi?” Roppongi meledek lagi.

“Ah, elu mah, pake gincu salah, gak pake ditanyain”, Aku meninjunya kecil sambil tertawa, dan dia tertawa puas.

Kita tidak bisa memaksa orang lain untuk berkomentar tentang kita. Tetapi, kita bisa memanage diri kita untuk menanggapinya, tanpa harus terganggu karenanya.
Read More »

Gadis itu bernama Indi



Buku yang selesai kubaca sekali duduk

Hari ini aku memutuskan ke toko buku, hanya sekedar membeli map kuning dan beberapa alat tulis kantor. Tetapi, di jalan aku tersenyum-senyum sendiri, bukan karena hal yang “wah”, melainkan karena aku memprediksikan niatku. Di toko buku banyak release buku baru, ada yang berlabel “recommended”, “best seller”, aku hampir dan kebyakan tergiur mengambil dan memasukkan ke tas belanjaan untuk dibayar di kasir. 
Hari ini berbeda, ada yang sedang launching buku baru. Hari ini memang berbeda. Aku yang biasanya melewatkan acara itu, pengecualian untu Tere Liye (:p), tapi kali ini aku menanyakan pada penjaga barang karena tertarik dengan suaranya. Yah, wanita.
Aku : “Ada acara ya, Mas?”
Masnya : “Iya Mbak, penulis Mikha, Mikha gitu” *sambil tersenyum khas.
Aku : “Makasih Mas”, *sambil meminta nomer yang biasanya langsung aku kalungkan di leher.
Aku mendekat acara launching buku dan melihat-lihat ada beberapa buku yang di pajang di dekat gadis yang sedang berbicara dengan MC, mungkin menceritakan tentang bukunya, tebakku.
Waktu aku sama Mikha judul buku terdahulunya dan gadis itu bernama Indi Sugar. Suaranya lembut, roknya mekar dan aku suka pembawaannya. Tanya jawab, cerita tentang kenapa dia suka menulis, siapa yang menginspirasinya, banyak dan aku menyimak.
aku menulis karena aku suka bukan karena terpaksa. Sejak 7 tahun, aku sudah memulai menulis diary. Seperti melepaskan rasa, refleksi”, katanya.
Sebelumnya, aku penasaran dengan isi buku Indy, karena secara barisan yang ada di depan hafal dengan setiap kata, bagian yang ada dalam buku waktu aku sama Mikha bahkan ada juga yang niat bawa semua koleksi buku dan DVD untuk ditandatangani.
Singkatnya, aku dapet buku Mikha, karena aku menjadi salah satu penanya.
Sebelum pulang, aku menyempatkan beli buku yang sudah kuniatkan dan memang benar, alat tulis tidak terbeli karena kuputuskan untuk membelinya di tempat fotocopy langgananku. Menengok harga buku Mikha, sekitar 22rb. Buku itu seperti buku saku, menuruutku. Berisi kumpulan puisi, cerita nyata tentang Indy dan Mikha. 
Read More »

Nostalgia Berandaku

Setengah harian aku mencoba membuka berandaku. Sepi tulisan bahkan gambar. 3 bulanan ini memang aku lebih aktif sebagai pembaca daripada menulis, sebagai pengamat dan sesekali mengkritik. Ada beberapa tulisan yang hanya kujadikan draft tanpa ku publish.
Menanyakan kembali apakah “menulis” masih layak dijadikan hobby, padahal 3 bulan terakhir ini hanya sempat menulis beberapa bait, itupun sebuah quote untuk reminder diri. Berharap bisa sering membuka beranda ini, mengunjunginya, sehingga menjadikannya refleksi diri saat lupa.
Ah, saat semua orang sudah mulai merangkai masa depan, ternyata aku masih saja merapikan masa lalu. Nostalgia Berandaku.

Read More »