Featured Slider

Anekdot tentang hati dan pikiran

Alkisah di tempat bencana tsunami sedang terjadi kelangkaan bahan pangan. Ada seorang korban yang pada saat itu sedang kelaparan dan dia melihat sebongkah barang pipih yang menyerupai tai kuda tapi di sisi lain menyerupai roti. Dia menggunakan indra penciumannya untuk sesekali memeriksa dan mencoba memastikan bahwa itu roti, karena dia memang lapar. Tetapi hatinya mengatakan bahwa itu roti, “please, jangan dimakan”. Ibarat mahasiswa yang menghitung kancing bajunya untuk menjawab pertanyaan yang jawabannya ambigu. Tai-roti-tai-roti-roti-tai-roti-roti-roti-roti-tai-tai-tai-roti-roti-roti, ah dia akhirnya memakan sebongkah benda itu dan mengunyahnya perlahan-lahan. “byuuuuuuueh”, ludahnya memencar kemana-mana bercampur dengan sebongkah makanan yang dia yakini sebagai roti.
***
Cerita itu anekdot yang saya dapatkan Sabtu kemarin dari seorang praktisi hukum. Entah mengapa saya tidak bosan-bosan mendengarkan pembicaraannya. ini salah satu anekdotnya yang dikaitkan dengan pekerjaannya, lawyer.
“Saat hati dan pikiranmu bertentangan, maka tanyakanlah pada hatimu, hatimu, hatimu dan baru pikiranmu”
Saya memutar-mutar pulpen, berhenti menulis, mendengarkan penjelasannya, mengapa demikian? Mengapa harus hati? Bukankah pikiran juga rasional saat berpikir? Logis dalam memberikan masukan kepada hati untuk memilih? Lalu saya memutuskan untuk khusuk mendengarkan tanpa memutar-mutar pulpen.
“Karena sampai kapanpun, hati kita tidak akan pernah berbohong untuk menjawab”, saya menyimpulkan dari jawaban Beliau.
“Iya, coba kalian perhatikan”, pakai hati kan?
hati-hati di jalan ya, Nak”, bukan pikir-pikir di jalan kan, Nak?
“perhatian-perhatian, bagi para penumpang.............”, mengapa tidak pikirkan-pikirkan, bagi para penumpang........
“Karena hati tidak akan membohongimu sekuat apapun pikiranmu hendak berasumsi apa”
***

Read More »

Karena aku peduli


Hampir genap setengah tahun aku memakai transportasi kereta, banyak pelajaran di dalamnya. Sabar, syukur dan kreatif mencari-cari kesibukan untuk mengisi kekosongan 1 jam di dalamnya. Kebanyakan menjadi emosional dan tidak terkontrol akibat kebijakan pemerintah yang menghapus KRL Ekonomi.

Desak-desakan pasti, serobot antrian sana-sini, sikut menyikut pun tidak dapat dihindari dan kemarahan dijadikan hobby. Saat empati dan simpati sudah enyah, padahal di tempat duduk itu jelas-jelas tertulis bahwa “kursi khusus ibu hamil, lansia dan anak kecil”, namun realitanya tidak seperti peraturannya. Banyak yang cemberut saat tempat duduknya digeser oleh ibu hamil, bahkan sempat ada gerutuan (meski tidak semua).

Sekali aku pernah marah, aku ingat betul di hari pertama puasa ramadhan saat tiket progresif diberlakukan. Ada wanita yang mungkin sebayaku menyerobot antrian. Aku mencoba mengingatkan, tetapi dia tidak terima. Sambil menggerutu dia membalas peringatanku tanda protes kalau dia tidak suka, beruntung aku diingatkan penumpang lainnya, “Ingat puasa, Mbak”, mereka mengusap-usap pundakku. Aku langsung beristighfar berkali-kali. Sepulang itu, aku merenung panjang di  jalan, menangis sejadi-jadinya karena hampir saja aku terpancing marah dan merusak puasaku.

Sejak kejadian itu, aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak memancing dan tidak terpancing untuk marah. Sungguh Gusti Pangeranku, aku tidak akan melakukannya. Meskipun berkali-kali aku hampir terpancing, tetapi aku selalu ingat janjiku!

Di kereta 1 jam, aku ngapain? Biasanya aku melakukan ini nih

Pertama, Membaca buku. Ada pengalaman menarik waktu aku membaca buku di kereta. Ada ibu-ibu yang sewot melihatku membaca di tengah sempitnya space di dalam kereta. Dia selang 3-4 orang jaraknya. Berbisik-bisik, melirik tajam ke arahku tanda tidak terima aku membaca buku. Aku tidak mengindahkannya, tidak memedulikannya karena membaca buku seperti halnya orang lain memainkan hp/gadget yang merek miliki. Di sisi lain, aku tidak merasa merugikannya, karena orang di kanan-kiri-depan-belakangku tidak merasa keberatan aku menghabiskan waktu dengan bukuku.

Kedua, Menghafal hafalan suratku. Ini sangat efektif menghafal kembali surat-suratku.

Ketiga, Mengajak ngobrol penumpang lain, setidaknya menanyakan mau turun dimana, menganggap mereka ada, karena aku juga ingin diperlakukan demikian.

Keempat, Main gadget. Ini solusi paling akhir yang kulakukan setelah ketiga hal di atas sudah tidak memungkinkan untuk kulakukan

Kamu berkuasa penuh atas dirimu sayangku, saat orang lain tidak peduli, tidak lagi bersimpati, tidak lagi berempati, kamu dapat melakukan sebaliknya.
“Jangan dorong-dorong dong Buk!”, aku lebih memilih diam atau kalau lagi mood bagus, minta maaf adalah pamungkas yang membuat suasana mejadi adem.
“Saya juga di dorong dari belakang, kalo gak mau didorong-dorong naik taksi atau gerobak sonoh”, jawaban ini sering kudengar dan miris.
“Bunting-bunting kenapa naik kereta sih”, ini statement terbodoh yang pernah saya dengar. Kalau yang hamil kita gimana, coba? Aku menyeringai sebal/
“Jam-jam begini harusnya gak usah bawa anak kecil naik kereta dong Buk”, gileee, kan gak ada larangan membawa anak kecil naik kereta. Aduh aduh aduh, aku prihatin.

Lalu apa salahnya mereka yang hamil, yang juga ingin naik kereta ke kantornya? Lalu apa salahnya yang membawa anak kecil naik kereta di jam-jam kantor? Ah, aku menyeringai, kebas dengan keadaan.
Tapi setidaknya masih ada yang mau menyisihkan space untuk mereka dengan tulus tanpa harus mengumpat. Setidaknya masih ada yang menahan amarahnya, karena kita sama-sama merasakannya. 

…dan aku ingin menjadi salah satu diantaranya yang peduli, yang berempati dan bersimpati, sungguh Gusti Pangeran, saat mereka kebanyakan begitu, jadikan aku golongan yang peduli yang mempersilakan bumil dan lansia duduk di tempat dudukku, yang mengulurkan tangan bagi mereka yang hendak ikut masuk ke kereta. Because I care of them.





Read More »