Featured Slider

Jawaban atas Pertanyaan

Ini adalah cerita lanjutan dari yang sebelumnya, bisa di klik disini.
Sepulang kantor, aku tidak langsung ke kamar. Menemani anak-anak bermain sampai mereka beranjak tidur. Sekitar jam 9 malam, ada 2 miscalled yang dulu pernah menanyakan tentang hal-hal yang berbau dengan wanita.
Setelah mandi dan Isya aku menghubunginya. Sebenarnya aku sudah bisa menebak isi pembicaraan yang akan kami bahas.
30 menit berlalu, dia tidak mengarah ke topik pembicaraan yang aku tebak sebelumnya. Aku mengira bahwa aku salah menerka, cuma feeling ku jarang sekali meleset (pede banget,ahaha).
Dia akhirnya bilang “Bu Aya, tolong doain yang baik-baik ya. Insya Allah besok pagi aku akad nikah”.
Aku tertawa renyah mendengarnya.
“Dengan wanita yang kemarin kita bicarakan”, tanyaku.
“Iya. Doane jangan lupa”, balasnya di radius entah berapa, karena sinyalnya putus-putus.
“Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah, warahmah ya Mas, salam buat calon istri”
“Iya, semoga kamu juga disegerakan”
Beberapa obrolan kami masih berlanjut, hingga akhirnya ia undur diri karena sinyalnya naik turun.
Jawaban atas pertanyaan yang pernah menjadi teka-teki, akhirnya terpecahkan. Allah memberikan jalan bagi hamba pilihan—yang mendekat memohon petunjukNya.

Allah, karuniakanlah kami hati yang cantik, yang senantiasa mengharapkan Ridho-Mu. 
Read More »

Membuat NPWP secara Online--Menyederhanakan yang rumit

Sudah dari beberapa lama, saya ingin membuat NPWP. Menanyakan pada bagian accounting, ada beberapa syarat yang njlimet, dan ruwet. Kebetulan pada waktu itu, ada anak baru dan dia menyarankan saya untuk membuat secara online. Prosesnya gak sampai 30 menit dan hasilnya gak lebih dari 1 minggu langsung dikirimkan ke rumah. Oh my God, kenapa gak daridulu? Padahal hanya sesederhana ini.
Langkah dan Cara
1.    Harus punya niat kuat, karena beberapa kali saya berniat, baru kesampaian 1 tahunan lebih
2.    Komputer atau laptop, boleh pinjem atau punya sendiri lebih baik. Jangan lupa connect sama internet ya.
3.    Baca Bismillah
4.    Klik web ini
Email dari Admin
5.    Daftar baru pake email buat masuk pendaftaran
6.    Ada perintah aktivasi via email, ikuti panduannya dengan baik
7.    Suruh ngisi nama beserta printilan tanggalan lahir (Data pribadi biasa)
8.    Dan tarraaa, akan ada email balasan lagi, kalo kartu tersebut akan dikirimkan ke domisili setempat (7 hari kalo gak salah)
Kurang lebih 7 hari, NPWP dikirimkan ke alamat domisili
9.    Alhamdulillah saya udah punya NPWP


Kadang-kadang hal yang rumit bisa menjadi sederhana saat kita mau mencari tau ilmunya.
Read More »

Elegi sore hari


Wahai hati, bagaimana bisa kamu beroposisi dengan pikiran?

Ingin sekali bersinergi, mengapa sulit sekali?

Jangan mendongak. Jangan pernah. Eh, bolehlah sesekali. Tetapi jangan terlalu lama, karena hatimu itu seperti kapas putih. Dan hal-hal yang di atasmu, yang menyilaukanmu itu seperti angin. Bisa jadi, angin itu bisa menyapu hatimu. Bersyukurlah masih memiliki pikiran yang setidaknya membantumu untuk tidak tergopoh-gopoh.

Hatimu ingin berlari dengan kecepatan prima, tetapi pikiranmu mendeteksi bahwa ada beberapa black hole yang harus kamu waspadai agar saat berlari kamu tidak terjatuh.

Kamu tau? Bahwa seringkali hati dan pikiran tidak menyatu. Manusiawi. Karena Tuhan menciptakan kita dengan akal yang sempurna untuk menyingkronkan. Hei, banyak orang yang tidak memiliki pilihan. Sehingga hati dan pikiran mereka senantiasa dipaksa untuk menerima. Mereka bisa melalui. Bagaimana dengan kamu yang keenakan memiliki pilihan di setiap sisinya. Hatimu punya pilihan sendiri. Sedangkan pikiranmu juga punya pilihan sendiri.

Camkan baik-baik ya, sebenarnya, bayangan yang kamu ciptakan itu tidak seseram kenyataannya. Jalani saja.

Aku yakin kamu tau tentang itu. Selamat sore.

 
Read More »

Aku Lulus Remidi Kedua


Beberapa waktu yang lalu, aku mengikuti Remidi Ujian. Remidi pertama lost, sedangkan remidi kedua alhamdulillah LOLOS. Perasaan itu menyibak lagi, bahkan semakin deras. Di permulaan Desember, yang aku tau banyak menawarkan hal baru, kekuatan baru, harapan baru. Karena sebulan lagi tahun pun bergulir. 2 remidi tahun ini, aku lulus di bagian kedua dan masih gagal di bab yang pertama. Hambar seketika, kemana syukurmu, huh? Kemana keyakinanmu?




Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui (Al-Baqarah: 216)



Aku kembali tergugu. Pemahamanku kurang sekali dan remidi berkali-kali tentang ayat tersebut. Butuh kelapangan, belajar lagi, lebih cerdas lagi. Sesekali aku berpikir bagaimana kalau aku tidak lulus pada semuanya? Aku memotong cabang prasangka tersebut.

 

Hello world, i don’t know what happen tomorrow is. I will struggle to fight everytime. Keep me on your way, my Almighty
Read More »

Membaca harus teliti?

Aku salah dalam membaca, hingga aku latah untuk banyak bertanya.
Aku tidak teliti dalam mengamati, hingga akhirnya aku salah dalam membuat strategi.
Ah, aku memang harus rajin membaca dan teliti.


NB : Aku tidak senam, tidak jogging, tidak bersepeda karena aku tidak membaca dengan teliti sebuah undangan yang harus aku hadiri pagi ini
Read More »

Terima kasih untuk lelaki yang baik hati


Ada di satu titik, dimana seseorang merasa tidak punya daya sama sekali. Rasa percaya diri yang berkobar mendadak menguap. Keyakinan yang kental dengan perjuangan entah mengapa juga sirna sekejap.

Saat jalan di depan begitu pekat gelapnya, hingga tidak secercah cahaya pun terlihat untuk menyinari, asa itu masih terpilin rapi. IMAN. Meski rasa percaya diri, kepercayaan dan keyakinan tidak lagi melekat. IMAN merintih sedemikian rupa memuntun kembali. Kemana? Iya, kamu tau jawabannya.

“Udah makan siang? My application was rejected”, tanganku bergetar menulis pesan itu, dan lega telah mengirimkan padanya.

“Nangis gak tadi?”, aku benci kenapa dia selalu tau kalau aku lagi nangis.

“Iya”, aku menahan mati-matian laju lelehan bening hangat di pipiku. Sesekali mendongak ke atas, menutup muka dengan tisu. Tapi tetap saja tanganku basah.

Seakan dunia berhenti berputar, tapi aku masih berdiri di tengah keramaian.


“Masih nangis?”, Aku yakin dia pasti tau kalau aku sedang menangis hebat. Dan hebatnya, dia selalu ada, meskipun seluruh dunia pergi.

Aku malas membalasnya.

“Kamu nangis karena marah sama pembuat nasib, kecewa saja atau pengen belajar lagi? Atau mungkin punya alasan nangis yang lain?”, pesan terakhir membuatku tertegun, menyeka air mata yang belum juga mau berhenti mengalir.

“Pertanyaanku susah ya? Masih galau? Kok diem”, Lelaki itu bahkan tau sebelum aku menjawabnya. Iya, kali ini tangisku deras karena terharu perhatiannya sampai detik ini.

“Cuma pengen nangis aja, gak ada alasan untuk marah atau kecewa. Tapi kadang nagis gak butuh alasan kan?”, aku menjawab pesannya.

“Allah itu baik ya, Mas

“Terkadang aku itu kalau punya keinginan, untuk membawa sajadah sholat dan meminta saja khawatir. Karena aku selalu yakin kalau Allah punya rencana terbaik, walaupun kenyataan tidak sesuai keinginan . tetapi aku yakin kenyataan itu yang kubutuhkan, entah untuk kebaikanku atau untuk menempa keyakinanku untuk selalu bersandar kepadaNya”, mendadak aku tertegun membaca pesannya yang agak panjang.

Air itu deras mengalir tanpa terbendung lagi. Lelaki itu tetap sama seperti dulu. Perangainya yang santun. Tutur katanya yang selalu meneduhkan.

Saat seluruh dunia pergi, ia selalu disini menenamani. Dan saat semua orang tak percaya, ia selalu mendengar, memeluk. Dulu, sekarang dan nanti. Tetap sama.

Terima kasih telah menemaniku, mendengarkanku, memercayaiku dan mencintaiku. Itu lebih dari cukup.
Read More »

Pilihan Rasa


Angin semilir sore bercampur tebaran debu tak menyurutkan langkah kaki Dinda yang sore itu entah mengapa terlihat berbeda—sering malamun dan menghela nafas panjang. Melani yang sejak tadi berdiri di sampingnya dan menceritakan banyak hal merasakan keganjilan itu. Saat langkahnya diam di tempat, Dinda terus saja melaju tanpa menyadari Melani tidak berjalan bersisian di sampingnya.

“Hey”, Melani menepuk bahu Dinda dengan keras sambil terengah-engah karena berlari mengejar sahabat karibnya itu.

Dinda kaget bukan kepalang, karena dirinya tidak sepenuhnya memegang kendali pikirannya.

“Apaan sih?”, Dinda manyun.

Kepalaku bertaburan bintang-bintang, dan salah satunya adalah kamu. Pikiran dan perasaan Dinda sedang tidak berkoneksi dengan baik.

Tidak berapa lama, keduanya sampai di food court kesukaan Dinda. Melani memesan burger dan ice cream sementara Dinda memesan mocca float yang menurut Dinda merupakan minuman yang membuatnya lebih rileks.

Dinda langusng meraih Mocca Float dan menghirup aroma mocca yang khas, membuatnya lebih rileks. Meski ada banyak rasa baru, lidahnya belum sekalipun mengganti menu minuman favoritnya itu. 

“Kemarin aku ketemu sama Firaz”, Dinda masih menikmati mocca float nya.

Melani hampir saja tersedak. Ia hampir saja mengumpat sahabat karibnya tetapi urung dilakukannya karena rasa kepo yang bertubi-tubi muncul.

“Kalian berdua..?”

“Enggak Mel..”, Dinda menjawab pertanyaan Melani sebelum ia menyelesaikan kalimatnya.

Suasana hening. Keduanya menikmati minuman dan French fries yang masih hangat. Melani setengah mati menahan rasa ingin tahunya, takut menyinggung perasaan karibnya.

Hampir setahun Dinda diam tentang putusnya jalinan kasihnya dengan Firaz. Saat ditanya mengapa? Senyum khas Dinda seakan-akan jawaban ampuh bahwa Dinda tidak ingin membagi ceritanya. Belum mau membagi tepatnya.

Meskipun banyak lelaki yang ingin mendekati Dinda, tidak sedikit yang harus kecewa karena Dinda menolak request in relationship dari mereka. Meskipun slebor dan cerewet, untuk masalah Firaz, Melani menjaga mulutnya, tidak bertanya macam-macam kecuali Dinda yang berinisiatif untuk cerita. Dinda royal sekali untuk cerita banyak hal, itu sebabnya banyak teman-teman yang seperti tersihir saat Dinda sedang menceritakan suatu hal. Tetapi untuk urusan Firas, semua pun bertanya-tanya, kenapa mereka sampai putus.

“Din…”, kalimat Melani terkesan hati-hati.

“Hmmm”, Dinda menoleh kearah karibnya.

Agak lama Dinda menunggu kalimat dari Melani.

“Eh, gak jadi..hehe”, Melani tersenyum canggung.

Suasana hening lagi. Mocca float Dinda  tidak bersisa, hanya tinggal es batu berbentuk semprong yang nantinya akan habis dilahapnya. 

“Kita temenan Mel, gak balikan. Kemarin hanya kebetulan aja”, Dinda menjawab pertanyaan yang mandeg di pikiran Melani.

“Balikan juga gak apa-apa kok Din. Firaz kan baik. Aku masih bingung kenapa kalian putus”, Melani mulai mencari celah pertanyaan yang tidak menyinggung Dinda.

“Justru karena Firaz baik, mending kita temenan”

Melani salah tingkah sendiri. Banyak pertanyaan tapi mencari kalimat yang pas untuk mengutarakan. Mulutnya hampir bertanya tapi kelu. Sifat kepo yang diidapnya seringkali menyiksa batinnya kalo gak keturutan.

“Din.....”, Melani bertanya takut-takut.

“Hmmm”, Dinda masih mengaduk-aduk es batu yang lumer bercampur sisa float.

“Kamu masih cinta kan sebenernya sama Firaz?”, Melani mendadak lega mengeluarkan pertanyaan yang mengendap di mulutnya sejak tadi.

Jangankan menjawab, Dinda hanya menatap kosong gelas plastik dan memain-mainkan sedotan. Melani tau kalau mungkin pertanyaannya tidak berjawab, tetapi setidaknya ia tidak mati penasaran hanya karena menahan keingintahuannya.

“Pulang yuk?”, Dinda mulai beranjak dari tempat duduknya.

Melani membuntuti dari belakang.

“Mel, kemarin dapet titipan salam dari Firaz”, keduanya berjalin di trotoar menuju halte.

“Hah? Serius Din?”, Dinda hampir terkejut menyaksikan reaksi dari Melani yang sangat excited.

“Biasa aja keleus, Mel”

“Eh, iya.  Sorry sorry. Emang kalian ngobrolin apa aja sampe aku juga jadi obyek sasaran kalian”

“Banyak”, Dinda menjawab cekak.

“Udah gitu doang? Banyak aja? Gak ada rinciannya?”, Melani mulai merengut karena gemas.

hahaha, lagian jadi orang kepo banget sama urusan orang”

“Kamu itu sahabatku ya Din, makanya aku peduli”, Melani mulai merajuk.

Dinda meneruskan langkahnya sambil senyum-senyum, tidak menghiraukan rajukan sahabatnya itu.

Melani kehabisan energi mengorek informasi tentang pertemuan Dinda dengan Firaz. Padahal Melani mengira bahwa Dinda sudah tidak bertemu lagi dengan Firaz, karena akhir-akhir ini Dinda lagi gencar didekati Adhit. Tabiat Dinda memang unik. Ia bisa bersikap wajar terhadap pria yang menyukainya atau sedang ingin mendekatinya. Bahkan terhadap pria yang ditolaknya pun Dinda masih tetap dapat menjaga hubungan baiknya. 

Dinda dan Melani memutuskan berhenti di halte Bintara, mereka duduk berdampingan tetapi masih tetap membisu satu sama lain. Dinda memainkan kukunya dan masih seringkali menghela nafas panjangnya sedangkan Melani masih manyun sambil mengayun-ayunkan kakinya.

“Firaz pun juga kaget waktu dulu aku ngajak putus, Mel”, meskipun suasananya ramai, Melani masih dapat mendengarkan sayup-sayup suara Dinda.

Melani menoleh ke arah Dinda dan berharap Dinda akan meneruskan ceritanya.

“Alasannya simple. Aku gak mau pacaran. Titik”, Dinda menghela nafasnya lagi.

“Mungkin dulu aku pernah berpikir kalau pacaran itu ruang penjajakan sebelum menikah. Tapi semakin kesini ternyata aku keliru. Akhirnya aku melawan arus hatiku sendiri untuk memutuskan itu....”

“Lalu kalian berdua musuhan? Hampir setahun gak ada contact sama sekali. Kamu tiap ditanya soal dia terkesan enggan”, Melani mulai leluasa melontarkan pertanyaannya.

“Mungkin kami sama-sama tidak ingin saling menyakiti. Termasuk aku tidak ingin sakit”

“Kamu aneh Din, kamu yang mutusin tapi sakit hati sendiri. Harusnya Firaz yang lebih sakit hati karena diputusin sama kamu”

“Dia juga bilang begitu. Aku aneh”

“Pilihan rasamu memang ribet?”, Melani tidak mengerti dengan karibnnya.

Panas siang itu menyengat, tapi keduanya tenggelam dalam obrolan yang sudah menemukan ritmenya. Tanya jawab yang lebih terbuka, seperti simbiosis mutualisme. Melani terpenuhi rasa kepo nya, Dinda lega akan isi hati yang mungkin setahun terakhir ini ia pendam sendiri.

“Aku seperti mengunci rapat-rapat diriku, membuang jauh gemboknya. Kalau esok bertakdir sama Firaz, ia akan datang membawa kunci itu”, Dinda lebih nyaman bercerita.

“Kalau Firaz nggak dateng?...”, Melani menyahut.

“Akan ada yang lebih baik. Aku percaya”, Dinda yakin dengan jawabannya.

“Yakin Din?”, Melani menatap tajam Dinda menelisik sesuatu.

“Bangeet. Aku belum pernah seyakin ini. Modal percaya aja sama keyakinan itu. Bukankah Tuhan juga menjanjikan? Kalau lelaki yang baik untuk wanita yang baik? Tugasku cuma untuk menjadi baik dan selalu memperbaiki diri. Untuk masalah jodoh, Tuhan menyiapkan skenario terbaikNya. Yang jelas bukan dengan pacaran”, Dinda menjelaskan panjang lebar.

“Aku kayak lagi ngasih soal filsafat sama kamu, Din”, Melani masih bingung dengan sikap Dinda.

“Itu juga alasan kenapa kamu menjadi penyebab patah hati banyak pria di sekitar kamu, Din?”

“Mereka mintanya pacaran bukan ngajak nikah sih”, Dinda terkekeh.

“Jadi kalau Firaz ngajak nikah, kamu mau?”

Hening tak ada jawaban.

“Jawab dulu ah, sekarang masih cinta gak sama Firaz? Trus kalo Firaz dating ngajak nikah, bakalan mau?”, Melani mencubit Dinda beberapa detik.

“Aaau, rahasiaaaa”, Dinda menyeringai dan kali ini bibir Melani merengut.

Kopaja yang ke sekian kali menghampiri mereka berdua dan kali ini keduanya memutuskan naik dan seperti biasa, Dinda memilih tempat duduk paling depan karena takut mual.

“Din, ada yang berubah gak dari Firaz kemarin?”, Melani nyeletuk masih dihantui rasa penasaran.

“Ada”

“Apaan?”

“Motornyaaa. Dulu warnanya merah, sekarang hijau”, tertawa Dinda pecah dan kali ini Melanin melancarkan cubitannya lagi yang lebih sakit dari sebelumnya.

***
Cinta sejati diuji oleh waktu, bukan luapan kata i love you yang membuih karena ikatan yang belum tentu muaranya. Beruntunglah bagi yang memahami hakikatnya.

Nulis ini sambil nemenin Dio nonton Ultraman lho :p


Read More »

Remidi Ujian

Bulan ini saya mendapat jadwal remidi ujian. Remidi? Iya karena sifatnya mengulang. Mungkin 2 bulan terakhir ini saya sudah mulai membawa revisi UUD 1945 terbaru sebagai selingan mushaf untuk setoran harian. Dan untuk hafalan lain adalah hafalan kompetensi hukum. Duh, saya mendadak kangen sekali untuk sekolah lagi.

Amandemen ke-3 kapan? Pasal yang diamandemen apa saja? Wkwkw, entahlah saya sampai hafal semua isi-isinya dan malangnya materi UUD 1945 tidak ada yang keluar satu pun. Haha. Yasudahlah. Saya saja geli sendiri.

Bolehlah di note ini berterimakasih sama seseorang yang ngasih materi dan bimbingan, Duo STAN—Kiki dan Triwik, yang keduanya mencapai nilai gila-gilaan, 390 sekian. Dengan nilai itupun mereka tetap slowly alias rendah hati dengan bilang “Cuma 390an Kak”. Merasa bersyukur memiliki mereka karena informasi yang saya dapatkan sangat memadai. Mendadak merasa saya baru keluar dari goa gelap dan menemukan matahari yang sinarnya menembus rindangnya dedaunan hutan lebat (ahaha, ini lebay sumpah).

Dan kebetulan remidi tersebut dilakukan beruntun harinya, gak ada bonus untuk bernafas. Awalnya merasa sedikit beban, tetapi seterusnya merupakan challenge yang harus ditaklukan. Remidi pertama pada hari Jumat jam 15.00-17.00 dan Remidi Kedua di hari Sabtu jam 09.00-13.00. Sorenya langsung ke Purwokerto, wedding tour ke tempat Menik. Energi Minggu ini memang benar-benar ekstra terkuras—lahir batin.

REMIDI PERTAMA, 26 Sept 2014

Tahun lalu, di stasiun itu saya terduduk mengusap lelehan cengeng yang entah kenapa mendadak menjadi lega. Jam 3 dari kantor sampai tempat pengambilan kartu ternyata lebih 10 menit. Setali tiga uang, security tidak mengijinkan masuk. Gagal sebelum perang. Kemarin ada yang bernasib sama seperti saya, beruntungnya security engan baik hati mempersilahkan masuk—padahal telatnya udah kebangetan. Sempat bingung, perasaan iri itu menyembul tanpa permisi, eh kenapa itu bisa masuk tapi tahun lalu saya 10 menit saja gak boleh? Dengan sigap bibir ini beristighfar beberapa kali. Karena memang jalannya harus begitu.

Sore itu lumayan lancar. Ke lokasi naik KRL dan nyambung bis kota. Banyak peserta yang serius memegang buku sambil berkomat-kamit, ada juga yang menghitung jemarinya sambil berpikir keras. Saya melihat papan memastikan nama, nomor dan ruangan ujian. Belum deg-degan, memang oasenya tahun ini lebih terasa, mengingat ini Remidi yang ketiga, kekekeke.

Sambutan panitia, udah. Check peserta, udah. Doa juga udah. Remidi dimulai. Soal 1-10 mengkerut, karena soalnya Subhanallah soal cerita yang puanjang-puanjang. Soal Bahasa Indonesia tentang gagasan utama, deduksi, induksi. Fyuh. Masih aman. Mencari-cari pasal UUD 1945 sama sekali gak keluar, saya menyeringai sendiri :D. Kerajaan kuno? Perjanjian-perjanjian? Pancasila dari pemikiran Muh Yamin, Soepomo sampai Soekarno? GAK KELUAR JUGA. Ahaha, mengusap kening.

Pertama aman meskipun sudah mulai pening. Mulai matematika, intensitas pening mulai ajeg. Hitungan yang sejak SD merupakan kelemahan namun 2 bulan terakhir sudah menghafal rumus dan berlatih, sisanya waktu perang ini saya pasrah. Banyak nomor yang saya skip dan lebih memilih ke bagian yang ketiga tentang kepribadian. Dan menurut saya jawaban tersebut besifat teoritis, jadi untuk menjawabnya pun seringkali saya tidak membaca soalnya dan hanya memilih jawaban yang mendekati diri saya.

Waktu tersisa, saya kembali ke bagian kedua yang hitung-hitungan ma syaa Allah benar-benar membuat saya senyum-senyum, deg-degan itu mulai, perasaan was-was muncul. Waktu kurang 5 menit masih 10 nomor lagi. Otomatis, saya harus mengerjakan 2 kali lebih cepat dari soalnya. 6 soal dapat terjawab karena dapat ilham—saya menghitung dengan rumus dan menemukan jawabannya. Dan 4 soal lainnya buntu tak menemukan jawaban meskipun coretan kertas itu penuh. 4 soal dengan sisa waktu 1 menit. Saya menjawab pilihan B dan C secara bergantian. Sebelum saya close, saya sudah hopeless. Klik. Mata saya terbelalak dan air mata saya bening hangat di pipi. Kok bisa? Apa ini yang dinamakan tawakal?

Tidak bagus memang, Cuma untuk seukuran saya yang sore ini ada beberapa soal yang saya skip dan lainnya gambling, saya lega.
Hamba tau, sangat tau persis, di balik kegagalan hamba sebelum-sebelumnya ada maksud. Meskipun hamba belum mengetahui, tapi keyakinan ini tidak berkurang sedikitpun bahwa Kau memilihkan yang terbaik. Untuk saat ini dan nanti. Semoga pada purnama 21, ada kabar baik untuk hamba. AMin
REMIDI KEDUA, 27 Sept 2014

Di tahun ini saya ikut tes ini, merasa jumawa sekali akan lolos karena merasa bisa, berkali-kali istighfar. Dan Allah memberikan pelajaran yang sangat berharga, ternyata saya tidak lulus. Pas pengumuman memang sukses membuat seharian bad mood, uring-uringan gak jelas. Bilang aku rapopo sama orang-orang padahal kondisinya adalah berbanding terbalik. Setiap pertanyaan mengapa saya memberikan segudang alasan bla bla bla.

Saya sudah belajar, latihan dan saya bisa mengerjakan. Lalu apa? Ternyata saya lupa, ada yang lebih berhak menentukan. Saya berkali-kali menepis, mengajari diri saya sendiri untuk luruh. Sampai saat beranjak tidur rasa gelisah itu tetap saja merangsek tidak terima. Akhirnya saya mengerti kenapa.
Kamu tidak melulu mendapatkan keberhasilan setelah usahamu, karena mungkin kegagalan adalah hasil terbaik yang kamu dapatkan. Kalau kamu tidak tau alasannnya, cukuplah menerima dan mencoba lagi.
Saya mencoba lagi. Pagi-pagi sudah wangi dengan parfum itu, memakai dresscode hitam putih, dan in syaa Allah siap dengan remidi dan hasil lengkapnya. Bapak menelepon hanya untuk menanyakan ujian dimulai jam berapa. Duh, doa-doa indah itu pasti akan terlantun merdu.

Essay tidak seperti soal terdahulu, karena lebih simple. 3 jam cukup membuat pening kepala, 5 Minggu semoga mendapatkan hasil yang terbaik.

Yay, sorenya ada wedding tour ke Purwokerto :)
Saat kamu sudah melakukan tugasmu berikan kunci sepenuhnya pada Tuhanmu. Percayalah, Nak. Dia tidak pernah salah menakar kadarnya. Cukup kamu memercayainya.
Read More »

Inagurasi yang menuntut konsistensi

Pramuda 18 (berasa kayak Power Ranger :p)
Menurut definisi yang saya baca dari beberapa referensi, saya dapat merangkum kata inagurasi adalah “peresmian”. Dengan kata lain, dalam tema yang akan saya tulis ini adalah inagurasi FLP Pramuda-18, berarti peresmian kami menjadi bagian kecil dari kelompok yang berkecimpung dalam dunia penulisan. Saya merasa excited sekali, di setiap pertemuan kami—2 minggu sekali, ada narasumber yang memompa semangat kami dalam menulis dan dalam 2 kali kesempatan tersebut saya mendapat buku karena melontarkan pertanyaan, in syaa Allah nanti akan saya upload review nya di Rumah Baca Deandra. Buku tersebut diberikan oleh Mbak Rahmadianti Rusdi dan Mas Boim Lebon (masih ingat serial Lupus? Nah beliau penulisnya).

With Boim Lebon
Mendapat keluarga baru yang in syaa Allah saling memberikan semangat dalam kepenulisan, bukankah berjamaah lebih diutamakan daripada munfarid? (iya karena pahalanya 27x lipat), ahaha mulai gak nyambung deh. Back to the topic. Dalam siang inagurasi tersebut, Mas Boim Lebon menceritakan tentang pengalaman-pengalaman menulisnya dimana seorang penulis dapat menemukan sense atau gaya menulisnya, misalnya beliau dikenal sebagai penulis yang memiliki humor tinggi. Bener banget sih, dari awal samapi akhir sharing nya, beliau berhasil membuat kami betah duduk takzim mendengarkan kelakarnya, berkali-kali tertawa menyeringai dengan obrolan yang sebenarnya sederhana tetapi dikemas menjadi lucu.

Inagurasi ini merupakan awal sebenarnya. Awal kami untuk menunjukkan konsistensi kami dalam menulis. Dan ini nih saya yang dulu termasuk berling—kober lan nek eling. Tapi sekarang udah berangsur tobat kok. Swear. Konsistensi? IYA. Karena sebenarnya menulis itu adalah sebuah proses itu sendiri. Apabila menanyakan tips-tipsnya menjadi penulis, kebanyakan dan hampir semua penulis akan mengatakan try—try—try. Just do it. Lama kelamaan akan terbiasa sendiri, menemukan feel dan gaya menulis.

Flashback pada materi pertemuan sebelumnya yang diisi oleh Kang Taufan E. Prast, beliau mengatakan bahwa sebagai penulis pemula, kita harus detail menjadi pengamat, berlatih dan bisa berkiblat kepada salah satu gaya bahasa penulis tapi tidak melupakan orisinalitas cerita kita. Beliau juga menambahkan bahwa kebiasaan dalam menulis akan membentuk gaya bercerita sendiri. Dari penuturan beliau dapat saya simpulkan bahwa kebiasaan dan latihan tersebut membutuhkan konsistensi yang berkesinambungan. Lupakan apa itu kalimat moody.

Dan inagurasi ini telah menuntut kami untuk menjaga konsistensi itu. Apabila sebelum dan sesudah inagarusi tersebut tidak ada bedanya, berarti inagurasi tersebut hanyalah sebagai seremonial belaka.


Keep reading, Keep writing, Keep trying
Read More »

September, mari berdamai



Selamat datang September, mari kita berteman ya, jangan musuhan lagi. Serius capek musuhan sama kamu. Banyak luka yang menganga karenamu, beruntun. Aku berdamai. Cukup.

Kamu tau di akhir Agustus aku menegaskan sesuatu? Karena aku ingin September tidak seperti yang sebelumnya. Entah sugesti atau apa, tapi kenapa kebanyakan di bulan September? Ah lupakan, tolong approve perjanjian perdamaianku ya, Sept.

Ingat Film Juli bulan Juni? Gadis cantik bernama Juli yang diperankan Sissy Priscillia selalu sial di bulan Juni, salah satunya ditinggal minggat kekasih yang dicintainya menikah dengan wanita lain. Terasa menyakitkan bagi Juli yang memberikan sugesti pada dirinya untuk memusuhi bulan Juni. Satu lagi, Juli juga tidak bisa membaca—entah aku lupa nama penyakit apa.

Udah ya permusuhan diantara kita berakhir disini ya, Sept. please.

Apa kalian juga punya perasaan sepertiku? Bermusuhan dengan salah satu bulan diantara jumlah 12 di setiap tahun? Kalo tidak, bersyukurlah. Kalo iya, kalian wajib berdamai. Serius gak enak musuhan lama-lama. Sssstt, aku musuhan sama September udah hampir 5 tahun, dan aku terlambat untuk berdamai. Tapi aku masih beruntung, karena aku melakukannya sekarang. Bukankah lebih baik terlambat daripada tidak melakukannya sama sekali. Adios
Read More »

Quote - 3

"Saat aku jatuh, aku punya berjuta alasan untuk berdiri, berjalan dan lari lagi"
Please go on!

Time cannot stop although a minutes are…

You must faith to your dream in your path

I don’t know why sometimes I feel lonely

But, at the same time, I have belief that You hug me in all my side

Yeah, I realize that You really love me, and I really love You too…

I—me
You—my Lord


-Wednesday, at my office I recognize my mood booster-
Read More »

#Quote 2

Hanya orang pandir yang mau menggadaikan masa depannya untuk masa lalunya
Serius gw ketawa di kaca, kadang kita, eh sering banget malah gw menyeret nostalgia masa lalu. Banyak kenangan baik, tapi tidak sedikit juga kenangan yang saat melesat 3 detik saja, membuat hati merangsek bukan kepalang memperbaiki mood—kepayahan.

Harusnya gw pandai menata etalase masa lalu dengan baik. Mengijinkan yang baik untuk dapat diakses sebagai bahan nostalgia. Tetapi harus ketat memfilter yang menyesakkan hanya sebatas untuk pelajaran, cukup.

Dunia ini sempit, terlalu sempit untuk bercengkrama dengan masa lalu yang bisa jadi akan mengungkungmu menuju masa depan. Gw terseok-seok menatanya, kemudian mengacak-acaknya kembali karena system imun-iman yang kurang cukup menjadi antivirus.

Sebulan terakhir, gw memperbaiki imun-iman itu agar menjadi anti-virus yang mematikan bagi virus masa lalu yang tidak terfilter dengan baik. Gw mengolok-olok elo karena menjadi bagian dari si pandir. Tapi please jangan bawa-bawa gw untuk menjadi pandir yang bercumbu dengan masa lalu. Lu boleh mengeluarkan jurus paling ampuh dari Djiban, Sailormoon bahkan kame-hame nya Son Goo Ku. Cuma Lu harus menyadari, gw sudah khatam dengan tabiat Lu yang satu ini—datang hanya butuh teman bicara dan pergi saat sudah mampu berdiri.

Hello my memories, keep calm! I will bring an anti-virus to clean up the bad imagination.

Nb : Gw make sebutan Gw-Lu, yang sebenarnya tidak Gw  suka, agar lebih sarkastik. Catat baik-baik : masa lalu tidak akan pernah menang, dia akan selalu jadi roda belakang. Wish we have a bright future guys. Cheers!
Read More »

Tuh kan tentang pernikahan (lagi)

Sebenarnya 2 hari ini ingin melatih diri untuk mematikan whatsapp setelah di atas jam 20.00. Tapi hal itu urung karena ada seorang teman yang beberapa Minggu yang lalu mengirimkan sms seperti kode untuk bertanya sesuatu namun tidak jadi—sms 2 kali namun tidak ada respon lagi.

Malam ini dia menanyakan hal yang sebelumnya sudah berkeliaran dalam benakku. Iya, tentang PERNIKAHAN. Agustus-September ini memang banyak sekali wedding invitation, dan berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun ini setiap ada undangan seperti itu—apalagi sahabat sebaya. Ada ruang di hati yang mendesir perlahan, dua detik tertahan. Tetapi bukan tidak senang akan kabar itu, bukan sama sekali, bahkan aku sendiri tidak dapat menjabarkannya. Dan memang tahun ini sangat spesial, saat hatiku menangkap adanya perasaan (sedikit) marah, eh lebih tepatnya kesal terhadap orang-orang yang bertubi-tubi menanyakan “kapan menikah?” dan sampai saat ini aku masih sadar bahwa apapun pertanyaan orang lain, hak jawab yang santun tetap ada pada kita.

Back to the topic. Ada teman kuliah yang menanyakan tentang konsep ta’aruf. Mendadak roaming. Ehehe

Dia kenal wanita itu seminggu yang lalu dan tidak mau pacaran—langsung nikah (aku mendukung, go go go man! Jangan jadi lelaki cemen). Aku membaca sharingnya dengan takzim, sesekali mengeryitkan kening—karena aku sama sekali belum melewati tahap ini. You know, jangankan mematikan whatsapp, aku malah membuat kopi agar mataku awet malam ini.

“Aku bingung harus ngasih jawaban apa ke keluarganya”, kurang lebih tulisnya demikian—ehm, mungkin nanti yang jadi obyek cerita juga baca ini, jadi gak terlalu vulgar lah :p

“Lha kenapa bingung?”, aku masih santai menjawab.

“Aku masih ragu. Kalau menurutmu menikahi wanita itu karena apa?”, lanjutnya.

“Eh, aku belum melewati fase ini lho, kenapa kamu nanya sama aku coba :DD”, aku terkekeh—menyeringai, pertanyaannya masih standart dan jawabannya pun masih enteng.

“Karena kamu wanita, mungkin tau jawabannya”, tulisnya.

Gleeek.... udah mulai masuk ke pertanyaan-pertanyaan yang membuatku mengeryitkan dahi.
“Mmm, boleh gak sih kalo aku juga memasukkan penilaian fisik ke daftar untuk pertimbangan menikah”, #tanya 1

“Gak masalah sih, manusiawi, tapi jangan jadikan itu patokan utama”, #jawabku1

“Trus menurutmu apa yang utama”, #tanya 2

“Kalo aku sih agama—tapi beda-beda pertimbangan tiap orang (ini gak ikut ditulis lho :p), trus bukannya menikah juga ada pertimbangan-pertimbangan lainnya, ex : keturunan, kecantikan, kekayaan cs. Tapi memang agama landasan dan pondasi utama”, #jawabku 2

“Oh iya Bu Ayaaa (ini nih, panggilan khas kalo tulisannya digabung, bisa-bisa menjadi garang seperti buaya :p), dia masih ada Mbakyu yang belum menikah dan aku pekewuh kalo melangkahinya. Aku bingung”, #tanya 3

“......(pertanyaan ini rada mikir, agak teoritis sih, karena aku paling enggan ngasih komentar terhadap hal-hal yang belum aku alami sebelumnya).... Kamu coba tanyakan hatimu niat kamu mau nikah itu apa? Kalo udah nemu jawabnya, tinggal kamu luruskan niatmu—apalagi kalo niatnya untuk ibadah. Trus terkait Mbakyunya yang belum menikah, kamu komunikasikan sama calonmu terkait hal itu. Kalo Mbakyunya gak masalah dan calonmu oke, apa masih berkutat dengan pekewuh?”,#jawabku 4 yang asli teoritis, kalo aku yang menjadi artis/pelakunya mungkin juga kayak kamu kali T-T

“Oh gitu yaa, mau aku kasih alamat fb-nya? Wajahnya kayak kamu lho”, #bukan tanya

“ahahaha, nanti aku lihat ya”, #bukan jawab

“Ini alamat FB-nya”, #bukan tanya

“Oooh, cantik, iya sama kayak aku pake kacamata :p”, #bukan jawab

“Btw, kamu udah istikharah tentang ini Mas?”, #tanyaku 1

“Belum iii”, #jawabnya 1—aku langsung mbatin, pantes kowe bingung :DD

“Kamu masih punya waktu berapa hari lagi untuk mengkonfirmasi ke keluarga mereka?”, #tanyaku2

“Yaaah sekitar 4-5 hari lagi Bu Aya”, #jawabmu 2

“Oh yaudah, gunain 5 hari itu, istikharah jangan bolong ya, minta petunjuk jawaban atas kebingunganmu”—ini aku yang nulis

“Kalo istikharah sama kayak tahajud?”—dia yang nulis

“Beda, istikharah lebih ke meminya petunjuk tentang suatu pilihan. Googling aja yaaa”—timpalku

“Siaaaaaap!”, jawabmu mantap.

Dan semoga 5 hari ke depan ada jawaban terbaik.

Aduh duh duh, paling demen mbahas tentang pernikahan. Pertanyaan-pertanyaan temanku membuatku berfikir. Bagaimana kalau aku yang menjadi artisnya?

Apa niatmu menikah, Ay?

Tik..tok..tik..tok

Karena ingin melengkapkan separuh dien. Iya karena ingin beribadah dan mengabdi pada-Nya. Tetapi kadang-kadang aku sendiri menjadi hipokrit, jawaban itu kadang menguap dan kadang juga menguat tergantung ruhiyah. Kalo ruhiyah lagi awut-awutan ditanyain tentang kapan mau nikah aja kayak bensin dikasih api..ahaha

Daaan, kemenangan bagi para lajang adalah dapat menjawab pertanyaan “kapan menikah” secara bertubi-tubi” dengan ramah tanpa amarah. Cheers!


Note : kalo yang menjadi obyek cerita ini baca potongan tulisan ini, aku mendoakan kamu membacanya sambil tersenyum, atau bahkan sambil menggenggam bidadari cantik yang bermata jelly. Semoga dilancarkan ibadahnya ya...:)
Read More »

Aku pengen nangis di bahumu, Mas


“Mas, pinjem bahunya boleh”, suaraku mengiba.

“Buat apaan?”, jawabmu polos.

“Nangis”, ucapku melemah.

Kamu merengkuh tanpa menjawab dan tangisku pecah. Isakanku membanjiri kemeja garis-garis biru yang kau kenakan malam itu. Dan aku hidungku kedat karena tangisan. Bau parfummu seakan menguap dengan aroma air mata yang tumpah ruah. Tapi kamu abaikan dan tetap memelukku. ERAT.

Beberapa menit hening. Berlalu. Kamu tidak bergeming, makin mengeratkan pelukanmu. Aku seperti anak kecil yang kau tenangkan agar menghentikan tangisan. Sejenak ingin menghentikan waktu. Aku rela menangis tersedu asalkan kau memeluk mendekapku.

Tapi ternyata waktu tidak pernah berhenti meski hanya sedetik. Pelukanmu berangsur merenggang. Aku menunduk, kau menatapku masih dalam hening.

“Udah?”, tatapanmu tegas namun teduh.

“Huuuh”, aku mulai mengangkat kepala membalas tatapanmu. Aku tidak sembunyi-sembunyi lagi melihat sorot tajam yang terkadang menyebalkan.

“Udah nangisnya? Atau mau dipeluk lagi? Sini kalau mau lagi”, bibirmu mengembang dan kamu juara memenangkan senyumku.

“Udah, yuk pulang”, kamu menggamitku, mengacak-acak rambutku yang kusut.

Ps : woy, cerita fiktif woy. Cerita menye-menye yang imajinatif dari jomblowati yang (in sya Allah) shalihah. Makanya disitu dia gak pake head scarft, karena Mas-Mas itu guling halalnya. Ahahaha

Ps (lagi) : cerita ini hanya rekaan di waktu makan siang setelah puas memaki-maki Ruby Tham. “You must give us full information regarding to this matter earlier since your information will influence to our legal opinion…. Piye to Bu Bu, kamu yang memaki-maki malah kamu yang salah informasiiiiii.. cased close, yuk ngerjain Searching ;p


Read More »

DEPRESI--Tingkatan, Penyebab, Gejala

Salah satu tema talk show Sarah Sechan di Net TV malam ini tentang DEPRESI. Merujuk pada realita banyaknya artis-artis Hollywood yang tenar dengan kepiawaiannya berakting, mendapatkan berbagai penghargaan atas perannya. Namun ironisnya, sebagaian dari mereka memilih bunuh diri karena momok  yang bernama depresi.

Bintang tamu yang dihadirkan semalam adalah Psikolog Poppy Amalia. Meskipun hanya sebentar scene tersebut, namun penyampaian beliau telah memberikan pemahaman secara umum terkait depresi. Atau jangan-jangan kita juga pernah mengalaminya dengan tingkatan yang berbeda.

1.      Tingkatan Depresi
Ada yang ringan, sedang, akuuuuut.

Tingkatan yang ringan masih bisa diatasi misal dengan refreshing, relaksasi, curhat.

Tingkatan sedang butuh ke psikiater. Haduh berarti dulu aku juga pernah dong di tahap ini #ups. Colek Ririn Gagarin, thanks for your bighug. Muah.

Tingkatan akut, orang depresi yang berada di tingkatan ini sudah berhalusinasi tentang khayalan yang dibuatnya sendiri. selain butuh ke psikiater juga butuh mengkonsumsi obat.

Ps : ini hasil resume saya lho, menerjemahkan ulasan di Net TV

2.      Penyebab Depresi
Ada macem-macem sih, yang bisa bikin kalian BT, manyun, muring mungkin juga bisa tuh digolongkan ke klasifikasi ini. Lagi-lagi nih, ternyata aku juga pernah mengalami depresi yang mungkin aku tidak menyadarinya. Karena memang orang depresi tidak mengetahui sumber masalah yang dialaminya dan tidak tau bagaimana cara pemecahannya (problem solving). Berikut saya kutipkan beberapa penyebab depresi dari berbagai sumber, check it out :
a.  Merokok, hello ladies and gentleman, jangan ngrokok ah. Dan ini kenapa saya juga memasukkan criteria calon suami yang akan mendampingi saya #ups.. tolong jangan ngrokok ya, Mas (:p)
b.      Konflik, saya yakin sih tiap orang memiliki masalah. Dan saat kombinasi konflik berkombinasi untuk menyerang kekuatan imunitas iman dan kesabaran kita, ternyata bisa juga menjadi depresi (bilang aja—dengan kekuatan bulan, akan menghukummu!)..ahaha
c.      Banyak make media social. Hayo ngaku yang sehari-hari suka mantengin med-sos? Twitter, facebukiyah, instagram cs jadi teman sehari-hari. Bahkan waktu sama keluarga dan teman, mereka lebih mendominasi waktu dan perhatian? Ayo ngaku! (hiks, sayaaaa)
d.     Domisili, saya membaca berulangkali ulasan tentang domisili ini, karena survey membuktikan penduduk yang tinggal di kote 39% lebih
e.      Obat-obatan, no comment
f.     Banyak pilihan dan terlalu perfect, hal ini membuat orang yadi banyak tekanan dan tuntutan pada diri sendiri

3.      Gejala Depresi
a.   Malas melakukan hal-hal baru, kalau di Net TV semalam disebutkan bahwa orang yang terkena depresi cenderung malas mandi.. ahaha, aku kadang juga gitu, apalagi weekend.
b.  Perasaan labil, menangis sendiri, ketawa sendiri. Emosinya cenderung labil tidak bisa diprediksi
c.    Lebih sering tidur, emang duluuuuuu banget kalo aku lagi ada masalah cara penyelesaiannya adalah tiduuuuuuur. Itu dulu, sekarang enggak :D
d.      Kehilangan minat pada kehidupan, it means they did not have a confident?
e.      Mudah marah

4.      Harus ngapain?
Dan ternyata kecerdasan intelektual dan emosional juga harus diimbangi dengan kecerdasan spiritual (mengutip Ary Gymnastiar). Just my opinion to solve this matter :
a.   Allah is the best creator, bahkan kita ini debu di hadapanNya. Bukankah jelas, di setiap kesulitan ada dua kemudahan? Selalu yakin bahwa Dia adalah penyusun scenario terhebat, inget yaaaa terhebat…
b.  Support keluarga, serius deh keluarga merupakan benteng pertahanan dan kenyamanan saat semua orang meninggalkan. Trust them. Saya pernah dalam posisi lebih mempercayai orang lain daripada keluarga. Mendadak hati saya gerimis mengingat hal itu, inginmemeluk mereka satu per satu. Dan saya yakin dengan pepatah “seorang ayah tidak akan menjerumuskan putrinyaa”, aduh duh menulis ini mata saya meleleh
c.      Lingkungan yang kondusif, pilih teman-teman yang baik. Bulshit kalo kita dilarang milih-milih teman, karena dalam ajaran Islam pun sudah dianjurkan jelas “Bertemanlah dengan orang-orang sholeh-shalihah”, setidaknya mereka akan memberikan saran yang baik-baik.
d.      Nah bagi yang sudah terlanjur depresi, psikiarter bisa membantu.



Ps : ini hanya opini saya, bukan rujukan baku, ambil manfaatnya buang sepahnya..ehehe

Mari hidup sehat, positive thinking. Muah
Read More »