Featured Slider

Remidi Ujian

Bulan ini saya mendapat jadwal remidi ujian. Remidi? Iya karena sifatnya mengulang. Mungkin 2 bulan terakhir ini saya sudah mulai membawa revisi UUD 1945 terbaru sebagai selingan mushaf untuk setoran harian. Dan untuk hafalan lain adalah hafalan kompetensi hukum. Duh, saya mendadak kangen sekali untuk sekolah lagi.

Amandemen ke-3 kapan? Pasal yang diamandemen apa saja? Wkwkw, entahlah saya sampai hafal semua isi-isinya dan malangnya materi UUD 1945 tidak ada yang keluar satu pun. Haha. Yasudahlah. Saya saja geli sendiri.

Bolehlah di note ini berterimakasih sama seseorang yang ngasih materi dan bimbingan, Duo STAN—Kiki dan Triwik, yang keduanya mencapai nilai gila-gilaan, 390 sekian. Dengan nilai itupun mereka tetap slowly alias rendah hati dengan bilang “Cuma 390an Kak”. Merasa bersyukur memiliki mereka karena informasi yang saya dapatkan sangat memadai. Mendadak merasa saya baru keluar dari goa gelap dan menemukan matahari yang sinarnya menembus rindangnya dedaunan hutan lebat (ahaha, ini lebay sumpah).

Dan kebetulan remidi tersebut dilakukan beruntun harinya, gak ada bonus untuk bernafas. Awalnya merasa sedikit beban, tetapi seterusnya merupakan challenge yang harus ditaklukan. Remidi pertama pada hari Jumat jam 15.00-17.00 dan Remidi Kedua di hari Sabtu jam 09.00-13.00. Sorenya langsung ke Purwokerto, wedding tour ke tempat Menik. Energi Minggu ini memang benar-benar ekstra terkuras—lahir batin.

REMIDI PERTAMA, 26 Sept 2014

Tahun lalu, di stasiun itu saya terduduk mengusap lelehan cengeng yang entah kenapa mendadak menjadi lega. Jam 3 dari kantor sampai tempat pengambilan kartu ternyata lebih 10 menit. Setali tiga uang, security tidak mengijinkan masuk. Gagal sebelum perang. Kemarin ada yang bernasib sama seperti saya, beruntungnya security engan baik hati mempersilahkan masuk—padahal telatnya udah kebangetan. Sempat bingung, perasaan iri itu menyembul tanpa permisi, eh kenapa itu bisa masuk tapi tahun lalu saya 10 menit saja gak boleh? Dengan sigap bibir ini beristighfar beberapa kali. Karena memang jalannya harus begitu.

Sore itu lumayan lancar. Ke lokasi naik KRL dan nyambung bis kota. Banyak peserta yang serius memegang buku sambil berkomat-kamit, ada juga yang menghitung jemarinya sambil berpikir keras. Saya melihat papan memastikan nama, nomor dan ruangan ujian. Belum deg-degan, memang oasenya tahun ini lebih terasa, mengingat ini Remidi yang ketiga, kekekeke.

Sambutan panitia, udah. Check peserta, udah. Doa juga udah. Remidi dimulai. Soal 1-10 mengkerut, karena soalnya Subhanallah soal cerita yang puanjang-puanjang. Soal Bahasa Indonesia tentang gagasan utama, deduksi, induksi. Fyuh. Masih aman. Mencari-cari pasal UUD 1945 sama sekali gak keluar, saya menyeringai sendiri :D. Kerajaan kuno? Perjanjian-perjanjian? Pancasila dari pemikiran Muh Yamin, Soepomo sampai Soekarno? GAK KELUAR JUGA. Ahaha, mengusap kening.

Pertama aman meskipun sudah mulai pening. Mulai matematika, intensitas pening mulai ajeg. Hitungan yang sejak SD merupakan kelemahan namun 2 bulan terakhir sudah menghafal rumus dan berlatih, sisanya waktu perang ini saya pasrah. Banyak nomor yang saya skip dan lebih memilih ke bagian yang ketiga tentang kepribadian. Dan menurut saya jawaban tersebut besifat teoritis, jadi untuk menjawabnya pun seringkali saya tidak membaca soalnya dan hanya memilih jawaban yang mendekati diri saya.

Waktu tersisa, saya kembali ke bagian kedua yang hitung-hitungan ma syaa Allah benar-benar membuat saya senyum-senyum, deg-degan itu mulai, perasaan was-was muncul. Waktu kurang 5 menit masih 10 nomor lagi. Otomatis, saya harus mengerjakan 2 kali lebih cepat dari soalnya. 6 soal dapat terjawab karena dapat ilham—saya menghitung dengan rumus dan menemukan jawabannya. Dan 4 soal lainnya buntu tak menemukan jawaban meskipun coretan kertas itu penuh. 4 soal dengan sisa waktu 1 menit. Saya menjawab pilihan B dan C secara bergantian. Sebelum saya close, saya sudah hopeless. Klik. Mata saya terbelalak dan air mata saya bening hangat di pipi. Kok bisa? Apa ini yang dinamakan tawakal?

Tidak bagus memang, Cuma untuk seukuran saya yang sore ini ada beberapa soal yang saya skip dan lainnya gambling, saya lega.
Hamba tau, sangat tau persis, di balik kegagalan hamba sebelum-sebelumnya ada maksud. Meskipun hamba belum mengetahui, tapi keyakinan ini tidak berkurang sedikitpun bahwa Kau memilihkan yang terbaik. Untuk saat ini dan nanti. Semoga pada purnama 21, ada kabar baik untuk hamba. AMin
REMIDI KEDUA, 27 Sept 2014

Di tahun ini saya ikut tes ini, merasa jumawa sekali akan lolos karena merasa bisa, berkali-kali istighfar. Dan Allah memberikan pelajaran yang sangat berharga, ternyata saya tidak lulus. Pas pengumuman memang sukses membuat seharian bad mood, uring-uringan gak jelas. Bilang aku rapopo sama orang-orang padahal kondisinya adalah berbanding terbalik. Setiap pertanyaan mengapa saya memberikan segudang alasan bla bla bla.

Saya sudah belajar, latihan dan saya bisa mengerjakan. Lalu apa? Ternyata saya lupa, ada yang lebih berhak menentukan. Saya berkali-kali menepis, mengajari diri saya sendiri untuk luruh. Sampai saat beranjak tidur rasa gelisah itu tetap saja merangsek tidak terima. Akhirnya saya mengerti kenapa.
Kamu tidak melulu mendapatkan keberhasilan setelah usahamu, karena mungkin kegagalan adalah hasil terbaik yang kamu dapatkan. Kalau kamu tidak tau alasannnya, cukuplah menerima dan mencoba lagi.
Saya mencoba lagi. Pagi-pagi sudah wangi dengan parfum itu, memakai dresscode hitam putih, dan in syaa Allah siap dengan remidi dan hasil lengkapnya. Bapak menelepon hanya untuk menanyakan ujian dimulai jam berapa. Duh, doa-doa indah itu pasti akan terlantun merdu.

Essay tidak seperti soal terdahulu, karena lebih simple. 3 jam cukup membuat pening kepala, 5 Minggu semoga mendapatkan hasil yang terbaik.

Yay, sorenya ada wedding tour ke Purwokerto :)
Saat kamu sudah melakukan tugasmu berikan kunci sepenuhnya pada Tuhanmu. Percayalah, Nak. Dia tidak pernah salah menakar kadarnya. Cukup kamu memercayainya.
Read More »

Inagurasi yang menuntut konsistensi

Pramuda 18 (berasa kayak Power Ranger :p)
Menurut definisi yang saya baca dari beberapa referensi, saya dapat merangkum kata inagurasi adalah “peresmian”. Dengan kata lain, dalam tema yang akan saya tulis ini adalah inagurasi FLP Pramuda-18, berarti peresmian kami menjadi bagian kecil dari kelompok yang berkecimpung dalam dunia penulisan. Saya merasa excited sekali, di setiap pertemuan kami—2 minggu sekali, ada narasumber yang memompa semangat kami dalam menulis dan dalam 2 kali kesempatan tersebut saya mendapat buku karena melontarkan pertanyaan, in syaa Allah nanti akan saya upload review nya di Rumah Baca Deandra. Buku tersebut diberikan oleh Mbak Rahmadianti Rusdi dan Mas Boim Lebon (masih ingat serial Lupus? Nah beliau penulisnya).

With Boim Lebon
Mendapat keluarga baru yang in syaa Allah saling memberikan semangat dalam kepenulisan, bukankah berjamaah lebih diutamakan daripada munfarid? (iya karena pahalanya 27x lipat), ahaha mulai gak nyambung deh. Back to the topic. Dalam siang inagurasi tersebut, Mas Boim Lebon menceritakan tentang pengalaman-pengalaman menulisnya dimana seorang penulis dapat menemukan sense atau gaya menulisnya, misalnya beliau dikenal sebagai penulis yang memiliki humor tinggi. Bener banget sih, dari awal samapi akhir sharing nya, beliau berhasil membuat kami betah duduk takzim mendengarkan kelakarnya, berkali-kali tertawa menyeringai dengan obrolan yang sebenarnya sederhana tetapi dikemas menjadi lucu.

Inagurasi ini merupakan awal sebenarnya. Awal kami untuk menunjukkan konsistensi kami dalam menulis. Dan ini nih saya yang dulu termasuk berling—kober lan nek eling. Tapi sekarang udah berangsur tobat kok. Swear. Konsistensi? IYA. Karena sebenarnya menulis itu adalah sebuah proses itu sendiri. Apabila menanyakan tips-tipsnya menjadi penulis, kebanyakan dan hampir semua penulis akan mengatakan try—try—try. Just do it. Lama kelamaan akan terbiasa sendiri, menemukan feel dan gaya menulis.

Flashback pada materi pertemuan sebelumnya yang diisi oleh Kang Taufan E. Prast, beliau mengatakan bahwa sebagai penulis pemula, kita harus detail menjadi pengamat, berlatih dan bisa berkiblat kepada salah satu gaya bahasa penulis tapi tidak melupakan orisinalitas cerita kita. Beliau juga menambahkan bahwa kebiasaan dalam menulis akan membentuk gaya bercerita sendiri. Dari penuturan beliau dapat saya simpulkan bahwa kebiasaan dan latihan tersebut membutuhkan konsistensi yang berkesinambungan. Lupakan apa itu kalimat moody.

Dan inagurasi ini telah menuntut kami untuk menjaga konsistensi itu. Apabila sebelum dan sesudah inagarusi tersebut tidak ada bedanya, berarti inagurasi tersebut hanyalah sebagai seremonial belaka.


Keep reading, Keep writing, Keep trying
Read More »

September, mari berdamai



Selamat datang September, mari kita berteman ya, jangan musuhan lagi. Serius capek musuhan sama kamu. Banyak luka yang menganga karenamu, beruntun. Aku berdamai. Cukup.

Kamu tau di akhir Agustus aku menegaskan sesuatu? Karena aku ingin September tidak seperti yang sebelumnya. Entah sugesti atau apa, tapi kenapa kebanyakan di bulan September? Ah lupakan, tolong approve perjanjian perdamaianku ya, Sept.

Ingat Film Juli bulan Juni? Gadis cantik bernama Juli yang diperankan Sissy Priscillia selalu sial di bulan Juni, salah satunya ditinggal minggat kekasih yang dicintainya menikah dengan wanita lain. Terasa menyakitkan bagi Juli yang memberikan sugesti pada dirinya untuk memusuhi bulan Juni. Satu lagi, Juli juga tidak bisa membaca—entah aku lupa nama penyakit apa.

Udah ya permusuhan diantara kita berakhir disini ya, Sept. please.

Apa kalian juga punya perasaan sepertiku? Bermusuhan dengan salah satu bulan diantara jumlah 12 di setiap tahun? Kalo tidak, bersyukurlah. Kalo iya, kalian wajib berdamai. Serius gak enak musuhan lama-lama. Sssstt, aku musuhan sama September udah hampir 5 tahun, dan aku terlambat untuk berdamai. Tapi aku masih beruntung, karena aku melakukannya sekarang. Bukankah lebih baik terlambat daripada tidak melakukannya sama sekali. Adios
Read More »