Featured Slider

Membaca harus teliti?

Aku salah dalam membaca, hingga aku latah untuk banyak bertanya.
Aku tidak teliti dalam mengamati, hingga akhirnya aku salah dalam membuat strategi.
Ah, aku memang harus rajin membaca dan teliti.


NB : Aku tidak senam, tidak jogging, tidak bersepeda karena aku tidak membaca dengan teliti sebuah undangan yang harus aku hadiri pagi ini
Read More »

Terima kasih untuk lelaki yang baik hati


Ada di satu titik, dimana seseorang merasa tidak punya daya sama sekali. Rasa percaya diri yang berkobar mendadak menguap. Keyakinan yang kental dengan perjuangan entah mengapa juga sirna sekejap.

Saat jalan di depan begitu pekat gelapnya, hingga tidak secercah cahaya pun terlihat untuk menyinari, asa itu masih terpilin rapi. IMAN. Meski rasa percaya diri, kepercayaan dan keyakinan tidak lagi melekat. IMAN merintih sedemikian rupa memuntun kembali. Kemana? Iya, kamu tau jawabannya.

“Udah makan siang? My application was rejected”, tanganku bergetar menulis pesan itu, dan lega telah mengirimkan padanya.

“Nangis gak tadi?”, aku benci kenapa dia selalu tau kalau aku lagi nangis.

“Iya”, aku menahan mati-matian laju lelehan bening hangat di pipiku. Sesekali mendongak ke atas, menutup muka dengan tisu. Tapi tetap saja tanganku basah.

Seakan dunia berhenti berputar, tapi aku masih berdiri di tengah keramaian.


“Masih nangis?”, Aku yakin dia pasti tau kalau aku sedang menangis hebat. Dan hebatnya, dia selalu ada, meskipun seluruh dunia pergi.

Aku malas membalasnya.

“Kamu nangis karena marah sama pembuat nasib, kecewa saja atau pengen belajar lagi? Atau mungkin punya alasan nangis yang lain?”, pesan terakhir membuatku tertegun, menyeka air mata yang belum juga mau berhenti mengalir.

“Pertanyaanku susah ya? Masih galau? Kok diem”, Lelaki itu bahkan tau sebelum aku menjawabnya. Iya, kali ini tangisku deras karena terharu perhatiannya sampai detik ini.

“Cuma pengen nangis aja, gak ada alasan untuk marah atau kecewa. Tapi kadang nagis gak butuh alasan kan?”, aku menjawab pesannya.

“Allah itu baik ya, Mas

“Terkadang aku itu kalau punya keinginan, untuk membawa sajadah sholat dan meminta saja khawatir. Karena aku selalu yakin kalau Allah punya rencana terbaik, walaupun kenyataan tidak sesuai keinginan . tetapi aku yakin kenyataan itu yang kubutuhkan, entah untuk kebaikanku atau untuk menempa keyakinanku untuk selalu bersandar kepadaNya”, mendadak aku tertegun membaca pesannya yang agak panjang.

Air itu deras mengalir tanpa terbendung lagi. Lelaki itu tetap sama seperti dulu. Perangainya yang santun. Tutur katanya yang selalu meneduhkan.

Saat seluruh dunia pergi, ia selalu disini menenamani. Dan saat semua orang tak percaya, ia selalu mendengar, memeluk. Dulu, sekarang dan nanti. Tetap sama.

Terima kasih telah menemaniku, mendengarkanku, memercayaiku dan mencintaiku. Itu lebih dari cukup.
Read More »

Pilihan Rasa


Angin semilir sore bercampur tebaran debu tak menyurutkan langkah kaki Dinda yang sore itu entah mengapa terlihat berbeda—sering malamun dan menghela nafas panjang. Melani yang sejak tadi berdiri di sampingnya dan menceritakan banyak hal merasakan keganjilan itu. Saat langkahnya diam di tempat, Dinda terus saja melaju tanpa menyadari Melani tidak berjalan bersisian di sampingnya.

“Hey”, Melani menepuk bahu Dinda dengan keras sambil terengah-engah karena berlari mengejar sahabat karibnya itu.

Dinda kaget bukan kepalang, karena dirinya tidak sepenuhnya memegang kendali pikirannya.

“Apaan sih?”, Dinda manyun.

Kepalaku bertaburan bintang-bintang, dan salah satunya adalah kamu. Pikiran dan perasaan Dinda sedang tidak berkoneksi dengan baik.

Tidak berapa lama, keduanya sampai di food court kesukaan Dinda. Melani memesan burger dan ice cream sementara Dinda memesan mocca float yang menurut Dinda merupakan minuman yang membuatnya lebih rileks.

Dinda langusng meraih Mocca Float dan menghirup aroma mocca yang khas, membuatnya lebih rileks. Meski ada banyak rasa baru, lidahnya belum sekalipun mengganti menu minuman favoritnya itu. 

“Kemarin aku ketemu sama Firaz”, Dinda masih menikmati mocca float nya.

Melani hampir saja tersedak. Ia hampir saja mengumpat sahabat karibnya tetapi urung dilakukannya karena rasa kepo yang bertubi-tubi muncul.

“Kalian berdua..?”

“Enggak Mel..”, Dinda menjawab pertanyaan Melani sebelum ia menyelesaikan kalimatnya.

Suasana hening. Keduanya menikmati minuman dan French fries yang masih hangat. Melani setengah mati menahan rasa ingin tahunya, takut menyinggung perasaan karibnya.

Hampir setahun Dinda diam tentang putusnya jalinan kasihnya dengan Firaz. Saat ditanya mengapa? Senyum khas Dinda seakan-akan jawaban ampuh bahwa Dinda tidak ingin membagi ceritanya. Belum mau membagi tepatnya.

Meskipun banyak lelaki yang ingin mendekati Dinda, tidak sedikit yang harus kecewa karena Dinda menolak request in relationship dari mereka. Meskipun slebor dan cerewet, untuk masalah Firaz, Melani menjaga mulutnya, tidak bertanya macam-macam kecuali Dinda yang berinisiatif untuk cerita. Dinda royal sekali untuk cerita banyak hal, itu sebabnya banyak teman-teman yang seperti tersihir saat Dinda sedang menceritakan suatu hal. Tetapi untuk urusan Firas, semua pun bertanya-tanya, kenapa mereka sampai putus.

“Din…”, kalimat Melani terkesan hati-hati.

“Hmmm”, Dinda menoleh kearah karibnya.

Agak lama Dinda menunggu kalimat dari Melani.

“Eh, gak jadi..hehe”, Melani tersenyum canggung.

Suasana hening lagi. Mocca float Dinda  tidak bersisa, hanya tinggal es batu berbentuk semprong yang nantinya akan habis dilahapnya. 

“Kita temenan Mel, gak balikan. Kemarin hanya kebetulan aja”, Dinda menjawab pertanyaan yang mandeg di pikiran Melani.

“Balikan juga gak apa-apa kok Din. Firaz kan baik. Aku masih bingung kenapa kalian putus”, Melani mulai mencari celah pertanyaan yang tidak menyinggung Dinda.

“Justru karena Firaz baik, mending kita temenan”

Melani salah tingkah sendiri. Banyak pertanyaan tapi mencari kalimat yang pas untuk mengutarakan. Mulutnya hampir bertanya tapi kelu. Sifat kepo yang diidapnya seringkali menyiksa batinnya kalo gak keturutan.

“Din.....”, Melani bertanya takut-takut.

“Hmmm”, Dinda masih mengaduk-aduk es batu yang lumer bercampur sisa float.

“Kamu masih cinta kan sebenernya sama Firaz?”, Melani mendadak lega mengeluarkan pertanyaan yang mengendap di mulutnya sejak tadi.

Jangankan menjawab, Dinda hanya menatap kosong gelas plastik dan memain-mainkan sedotan. Melani tau kalau mungkin pertanyaannya tidak berjawab, tetapi setidaknya ia tidak mati penasaran hanya karena menahan keingintahuannya.

“Pulang yuk?”, Dinda mulai beranjak dari tempat duduknya.

Melani membuntuti dari belakang.

“Mel, kemarin dapet titipan salam dari Firaz”, keduanya berjalin di trotoar menuju halte.

“Hah? Serius Din?”, Dinda hampir terkejut menyaksikan reaksi dari Melani yang sangat excited.

“Biasa aja keleus, Mel”

“Eh, iya.  Sorry sorry. Emang kalian ngobrolin apa aja sampe aku juga jadi obyek sasaran kalian”

“Banyak”, Dinda menjawab cekak.

“Udah gitu doang? Banyak aja? Gak ada rinciannya?”, Melani mulai merengut karena gemas.

hahaha, lagian jadi orang kepo banget sama urusan orang”

“Kamu itu sahabatku ya Din, makanya aku peduli”, Melani mulai merajuk.

Dinda meneruskan langkahnya sambil senyum-senyum, tidak menghiraukan rajukan sahabatnya itu.

Melani kehabisan energi mengorek informasi tentang pertemuan Dinda dengan Firaz. Padahal Melani mengira bahwa Dinda sudah tidak bertemu lagi dengan Firaz, karena akhir-akhir ini Dinda lagi gencar didekati Adhit. Tabiat Dinda memang unik. Ia bisa bersikap wajar terhadap pria yang menyukainya atau sedang ingin mendekatinya. Bahkan terhadap pria yang ditolaknya pun Dinda masih tetap dapat menjaga hubungan baiknya. 

Dinda dan Melani memutuskan berhenti di halte Bintara, mereka duduk berdampingan tetapi masih tetap membisu satu sama lain. Dinda memainkan kukunya dan masih seringkali menghela nafas panjangnya sedangkan Melani masih manyun sambil mengayun-ayunkan kakinya.

“Firaz pun juga kaget waktu dulu aku ngajak putus, Mel”, meskipun suasananya ramai, Melani masih dapat mendengarkan sayup-sayup suara Dinda.

Melani menoleh ke arah Dinda dan berharap Dinda akan meneruskan ceritanya.

“Alasannya simple. Aku gak mau pacaran. Titik”, Dinda menghela nafasnya lagi.

“Mungkin dulu aku pernah berpikir kalau pacaran itu ruang penjajakan sebelum menikah. Tapi semakin kesini ternyata aku keliru. Akhirnya aku melawan arus hatiku sendiri untuk memutuskan itu....”

“Lalu kalian berdua musuhan? Hampir setahun gak ada contact sama sekali. Kamu tiap ditanya soal dia terkesan enggan”, Melani mulai leluasa melontarkan pertanyaannya.

“Mungkin kami sama-sama tidak ingin saling menyakiti. Termasuk aku tidak ingin sakit”

“Kamu aneh Din, kamu yang mutusin tapi sakit hati sendiri. Harusnya Firaz yang lebih sakit hati karena diputusin sama kamu”

“Dia juga bilang begitu. Aku aneh”

“Pilihan rasamu memang ribet?”, Melani tidak mengerti dengan karibnnya.

Panas siang itu menyengat, tapi keduanya tenggelam dalam obrolan yang sudah menemukan ritmenya. Tanya jawab yang lebih terbuka, seperti simbiosis mutualisme. Melani terpenuhi rasa kepo nya, Dinda lega akan isi hati yang mungkin setahun terakhir ini ia pendam sendiri.

“Aku seperti mengunci rapat-rapat diriku, membuang jauh gemboknya. Kalau esok bertakdir sama Firaz, ia akan datang membawa kunci itu”, Dinda lebih nyaman bercerita.

“Kalau Firaz nggak dateng?...”, Melani menyahut.

“Akan ada yang lebih baik. Aku percaya”, Dinda yakin dengan jawabannya.

“Yakin Din?”, Melani menatap tajam Dinda menelisik sesuatu.

“Bangeet. Aku belum pernah seyakin ini. Modal percaya aja sama keyakinan itu. Bukankah Tuhan juga menjanjikan? Kalau lelaki yang baik untuk wanita yang baik? Tugasku cuma untuk menjadi baik dan selalu memperbaiki diri. Untuk masalah jodoh, Tuhan menyiapkan skenario terbaikNya. Yang jelas bukan dengan pacaran”, Dinda menjelaskan panjang lebar.

“Aku kayak lagi ngasih soal filsafat sama kamu, Din”, Melani masih bingung dengan sikap Dinda.

“Itu juga alasan kenapa kamu menjadi penyebab patah hati banyak pria di sekitar kamu, Din?”

“Mereka mintanya pacaran bukan ngajak nikah sih”, Dinda terkekeh.

“Jadi kalau Firaz ngajak nikah, kamu mau?”

Hening tak ada jawaban.

“Jawab dulu ah, sekarang masih cinta gak sama Firaz? Trus kalo Firaz dating ngajak nikah, bakalan mau?”, Melani mencubit Dinda beberapa detik.

“Aaau, rahasiaaaa”, Dinda menyeringai dan kali ini bibir Melani merengut.

Kopaja yang ke sekian kali menghampiri mereka berdua dan kali ini keduanya memutuskan naik dan seperti biasa, Dinda memilih tempat duduk paling depan karena takut mual.

“Din, ada yang berubah gak dari Firaz kemarin?”, Melani nyeletuk masih dihantui rasa penasaran.

“Ada”

“Apaan?”

“Motornyaaa. Dulu warnanya merah, sekarang hijau”, tertawa Dinda pecah dan kali ini Melanin melancarkan cubitannya lagi yang lebih sakit dari sebelumnya.

***
Cinta sejati diuji oleh waktu, bukan luapan kata i love you yang membuih karena ikatan yang belum tentu muaranya. Beruntunglah bagi yang memahami hakikatnya.

Nulis ini sambil nemenin Dio nonton Ultraman lho :p


Read More »