Featured Slider

Hakikat Hikmah

Menurutku, hikmah adalah pesan dari suatu peristiwa yang terjadi. Apapun yang telah terlalu pasti menyimpan hikmah untuk pelajaran kita (saya). Entah sadar atau tidak, mau atau tidak dalam menghayatinya.

Seminggu ini khadimat kami yang nyuci-gosok di rumah sedang sakit. Biasanya hanya masuk angin, jadi Cuma sehari atau paling banter dua hari gak masuk. Tetapi kali ini lain, Bu Ani—kami memanggilnya demikian, sudah sakit beberapa hari. 2 hari kemarin tidak datang ke rumah. Cucian numpuk. Mamanya Dio berinisiatif untuk mencuci sendiri memakai mesin cuci.
Uniknya disini dan saya mungkin agak terlambat menyadari. Hampir 2 tahun memiliki mesin cuci tetapi saya belum bisa menggunakannya. Biasanya saya mencuci pakai tangan secara tradisional. Haha

Saya berusaha mencari tau cara penggunaannya, membaca petunjuk bukunya, nanya-nanya teman, sampai mereka cekikikan. Dan terakhir, mamanya Dio yang mengajari cukup 2 menit penjelasan dan saya tau. Padahal 3 hari ini saya membawa buku petunjuk penggunaan mesin cuci itu kemana-mana. Di kereta, busway atau selang istirahat kadang membukanya. Saya agak lelet membaca, karena saya membacanya sambil memahami gambar dan fungsinya.

Mungkin hikmahnya ini ya saat Bu Ani tidak masuk. Saya jadi bisa mencuci pakai mesin cuci, berbagi tugas kerja dengan Mama Dio dan terakhir weekend ini jadwal nyetrika. Haha

Cepat sembuh Bu Ani. Terima kasih untuk pelajaran ini. 
Kadang sesuatu itu sebenarnya simple, cara pandang kita yang membuatnya jadi rumit. 
Good night.
Read More »

Saat marah memuncak, bersabarlah!


Tolong jangan mendendam saat orang lain mengkritik—entah dengan santun atau kasar. Biarkan saja hatimu bening seperti itu. Dengarkan dengan penuh penghargaan, sepahit apapun itu. Bukankah brutowali juga pahit, tetapi menyehatkan di badan kan? Kamu hanya cukup melapangkan sedikit saja dadamu yang berkobar karena amarah. Atau justru kobaran amarah itu menunjukkan bahwa kritikan itu benar adanya?

Duh, jangan-jangan kita juga menjadi pengkritik yang demikian? Tidak membawakannya dengan santun sehingga menghilangkan esensi dari kritikan itu? Ya Rabbi, bagaimana hati kami berbolak-balik, Engkaulah yang menetapkannya.

Saat amarah itu seperti kobaran api yang siap menelan siapapun, jadikanlah kami sebagai air yang menyegarkan bukan seperti bensin yang menambah sulutan. Duhai Dzat yang tiada duanya, pada hakikatnya kami tidak memiliki, maka jangan biarkan kekecawaan itu bertahta saat kami gagal dalam meraih impian yang kami inginkan.

Kami lupa, bahwa surga juga dianjikan untuk insan yang menahan amarahnya. Duh duh duh, menangkupan hati, iya lagi-lagi hati. Tentu saja, menahan amarah sampai menangis pun bisa dihadiahkan surga kan? *curhat.

Peluklah sabar. Karena eh karena itu sahabat yang paling menenangkan. Dan Allah pun menyebutnya berkali-kali dalam FirmanNya. Yuk, tahan amarah, jangan mendendam!
Read More »

Idealisme & Realisme


Sebulan yang lalu, saya tertegun dengan statement salah satu pegawai di institusi pemerintahan. Awalnya saya kesal dan setelah mendengar statement beliau, saya lalu berpikir.

 

“Bu, ini kan hanya aromatic biasa. Dulu kami sudah pernah mendapatkan ijinnya, dan ini hanya permohonan ijin ganti kemasan. Kenapa dipersulit Bu?”, tanya saya gemas.

 

“Begini Bu, saya hanya mematuhi prosedur. Jadi semakin cepat Ibu memasukkan dokumen akan cepat juga kami dalam memprosesnya”, Jawabnya santun dan tegas. Guratan senyum dalam rekahan bibirnya menandakan bahwa beliau tidak seseram yang saya bayangkan sebelumnya.

 

“Apa tidak bisa percepatan untuk hal ini, Bu. Marketing saya akan segera launching. Mohon kerjasamanya, Bu?”, saya bernegosiasi.

 

“Orang yang datang kepada saya, alasannya adalah percepatan untuk kepentingan marketing, Bu. Semua ingin cepat, tapi tetap harus mematuhi prosedur”, Pungkasnya.

 

“Iya Bu, tetapi ini kan hanya ganti kemasan, bukan daftar baru. Kemarin juga ada tambahan dokumen uji stabilitas, padahal dulu saya tidak seribet ini”, saya dengan wajah memelas.

 

“Memang benar Bu, karena prosedurnya begitu. Uji stabilitas itu diminta untuk menge-chek terkait zat-zat yang terkandung dalam obat yang ada pada produk Ibu. Saya mempertanggungjawabkannya kepada konsumen dan kepada Tuhan tentunya”, statement yang membuat benar-benar berkata sudah, manut.

 

Bertanggung jawab pada Tuhan. Aduh saya malu. Saat idealisme seseorang ditentang oleh tuntutan sistem pada kenyataannya. Masihkah ada yang menautkan Tuhannya pada pekerjaannya? Masih. Tentu saa masih. Dan saya berharap saya termasuk dalam golongannya. Saya ikut golongan itu ya Allah, turutkanlah hamba pada golongan itu. Ingatkan selalu idealisme itu.

 

Meskipun orang lain tidak melihat, Allah Maha Melihat tindak tandukmu. Semoga sehat selalu ya, Bu. Iya, Tanggung jawab Ibu sangat mulia. Tanggungjawab terhadap konsumen dan Tuhan.


*Iya benar, saya dipanggil Bu. Padahal menikah saja belum.
Read More »

Menunggu

Aku menunggumu di ujung senja yang nampak semburat oranye. Setia beberapa waktu saat beberapa orang berlalu lalang melaluiku. Ah, sudah terlewat tahun baru. Saat tidur nyenyakku agak terganggu dengan dentuman petasan yang seakan merepresentasikan kebahagiaan euforia mereka. Duh, apa mereka sebahagia itu? Gumamku. Aku iri. Hush.

Aku memainkan kakiku untuk menghalau rasa bosan karena menunggumu. Bagaimana mungkin kamu setega ini menyuruhku menunggu selama ini. Atau aku yang salah jalur? Atau salah memilih karena mengiyakan menunggu? Ini rumit sekali. 20 menit mungkin adzan magrib akan menggema, langit oranye itu sudah berubah menjadi sedikit gelap.

Aku baru merasakan bahasa gaul “galau” sore ini. Rasa yang sebelumnya juga pernah aku reguk, namun dengan kadar biasa saja, tidak seperti sore ini. Kamu sekarang sedang dimana? Kenapa lama sekali? Atau mungkin kamu lupa bahwa kamu pernah menyuruhku untuk menunggu, disini? Menunggu untuk apa? Jangan-jangan, menunggu hanya untuk mengetahui bahwa pilihanku salah.

Begitu nelangsanya menunggu saat aku sendiri tidak menikmatinya. Biasanya aku tidak segelisah ini dalam menunggu. Ditemani kopi atau buku. Iya, tidak se-nelangsa ini.

Tiba-tiba ada seorang yang kukenal sebelumnya, menyapaku dengan senyum khasnya.

“Hallo gadis, sedang apa disini? Sudah hampir maghrib?”

“Menunggu”, jawabku pendek.

“Siapa? Ini sudah hampir maghrib. Mau ikut ke surau untuk mengambil wudhu?”, ajakannya membuat niatku goyah.

Benar, 20 menit berlalu dan adzan mulai bersahut-sahutan.

***

Selepas maghrib, aku masih gamang. Apakah akan kembali kesana untuk menunggumu atau beringsut pulang. Mengapa aku mendadak membencimu? Membenci karena kamu membiarkan aku menunggu. Membenci karena kamu tidak datang seperti yang kamu janjikan. Aku sendiri bingung, jika kamu benar-benar datang apa yang aku ucapkan.

“Eh, kamu mau pulang juga?”, tiba-tiba lelaki itu menyapa lagi.

Aku diam sejenak tidak menjawab.

“Mau bareng?”, dia menawarkan.

“Baiklah”, aku menyudahi masa tungguku. Cukup.

Jangan pernah menyesal, saat aku tidak lagi di tempat yang sama untuk sekedar menunggu, kamu. Dan kamu akan tau bagaimana rasanya menunggu, tetapi apa yang kamu tunggu telah berlalu melampauimu. Maaf, aku tidak bisa memaafkanmu untuk ini.


*tidak semua yang saya tulis adalah apa yang saya rasa, mungkin ini hanya sekedar menghabiskan waktu di sela saya pulang berhimpit di kereta
Read More »