Bau tanah pagi ini
sangat khas. Hujan semalam mengguyur seluruh pelosok desa. Tidak begitu deras,
namun gerimisnya ajeg selepas isya
hingga shubuh. Kondisi tanah yang sebagain tidak beraspal membuat suasana
semakin dingin. Gorengan yang dibelikan Ibu tadi pagi menjadi kombinasi yang
pas dengan seduhan teh hangat manis. Tidak terlalu manis, tapi pas di lidah.
Berbeda dengan Bapak yang lebih menyukai teh tanpa gula.
“Widi temanmu SD
kemarin melahirkan anak kedua, wuk”, Ibu
menata gorengan di piringan.
“Ah iya Buk?”, aku
menoleh.
Ada arah pembicaraan
yang mungkin akhir-akhir ini membuatku sedikit sentimentil, tetapi begitu
baiknya wanita yang kusebut sebagai ibu di depanku. Ia tidak pernah memaksakan
saat arah pembicaraannya tidak bersambut dengan tanggapan dariku. Ibu kembali
ke belakang untuk mengerjakan pekerjaan yang lain. Aku masih memegangi jarum
dan menghentikan jahitanku. Nafasku melenguh pelan.
“Bapak udah
mendingan?”, pandanganku beralih pada sosok lelaki yang baru keluar dari kamar
yang lantainya tidak dikeramik. Padahal seluruh rumah telah rapi dipasang
keramik berwarna putih agar nampak lebih rapi. Berbeda dengan kamar Bapak,
hanya beralas semen saja dan tidak mau dipasang keramik. Bapak dan Ibuk sudah
cukup dengan alas seperti itu agar tidak terlalu nyaman untuk tidak bangun
salat malam, jawaban Bapak klise.