Featured Slider

Rumor


Bau tanah pagi ini sangat khas. Hujan semalam mengguyur seluruh pelosok desa. Tidak begitu deras, namun gerimisnya ajeg selepas isya hingga shubuh. Kondisi tanah yang sebagain tidak beraspal membuat suasana semakin dingin. Gorengan yang dibelikan Ibu tadi pagi menjadi kombinasi yang pas dengan seduhan teh hangat manis. Tidak terlalu manis, tapi pas di lidah. Berbeda dengan Bapak yang lebih menyukai teh tanpa gula.

“Widi temanmu SD kemarin melahirkan anak kedua, wuk”, Ibu menata gorengan di piringan.

“Ah iya Buk?”, aku menoleh.

Ada arah pembicaraan yang mungkin akhir-akhir ini membuatku sedikit sentimentil, tetapi begitu baiknya wanita yang kusebut sebagai ibu di depanku. Ia tidak pernah memaksakan saat arah pembicaraannya tidak bersambut dengan tanggapan dariku. Ibu kembali ke belakang untuk mengerjakan pekerjaan yang lain. Aku masih memegangi jarum dan menghentikan jahitanku. Nafasku melenguh pelan.

“Bapak udah mendingan?”, pandanganku beralih pada sosok lelaki yang baru keluar dari kamar yang lantainya tidak dikeramik. Padahal seluruh rumah telah rapi dipasang keramik berwarna putih agar nampak lebih rapi. Berbeda dengan kamar Bapak, hanya beralas semen saja dan tidak mau dipasang keramik. Bapak dan Ibuk sudah cukup dengan alas seperti itu agar tidak terlalu nyaman untuk tidak bangun salat malam, jawaban Bapak klise.


“Sudah, wuk”, Bapak menggeser kursi lalu duduk. Suara nafasnya tidak beraturan seperti merasakan dadanya yang tidak enak.

“Nanti sore ke dokter ya, Pak?”

“Gak usah wuk,  bentar lagi juga sembuh”, jawaban Bapak sudah bisa kuterka. Keras kepala. Sifat itu yang menurun padaku. Justru hal itu yang membuat kami berdua saling memahami satu sama lain. Di beberapa kesempatan, aku memahami kemauan Bapak tanpa harus diucapkannya, begitu juga sebaliknya.

Aku mengamati Bapak seksama. Ada yang ganjil dalam raut wajahnya, semacam kegelisahan tetapi aku tidak bisa menebak apa yang di pikirannya. Dalam situasi ini aku berharap Bapak memiliki facebook dan menuangkan uneg-uneg nya disana. Pasti komentarnya banyak sekali dari para warganya. Ah iya, Bapak adalah Ketua RW di kampungku. Dan entah mengapa Bapak selalu bisa memberikan jalan keluar saat warganya datang dengan segudang masalahnya.

“Bapak memikirkan apa?”

Bapak menyunggingkan senyum tipisnya ke arahku. Kerut wajahnya sudah kelihatan kentara. Kulitnya yang coklat karena sengatan panas matahari saat menggarap sawah juga tidak luput dari perhatianku. Aku detail sekali mengamati Bapak yang mencoba menyembunyikan sesuatu yang mungkin saja mengganggu pikirannya akhir-akhir ini.

“Kok bisa mengira Bapak punya masalah, wuk?”, Bapak menyeruput teh manis hangat yang dibuatkan Ibu sejak tadi.

Kula mboten sanjang menawi Bapak gadhah masalah lho”

Aku memasukkan jarum dan benang ke kotak dan meletakkannya di atas meja. Bapak nampak kaget dengan jawabanku. Bapak terkekeh pelan. Aku juga ikut tersenyum lebar. 

“Semakin Bapak bilang  gak ada apa-apa, gak memikirkan sesuatu, itu berarti hal yang sebaliknya”

Bapak menghela nafas, dadanya mulai kembang kempis seirama. Mencoba serileks mungkin untuk mengobrol denganku. Aku semakin penasaran dengan apa yang sedang dipikirkan Bapak.

Kring...kring...kring.....”

Aku langsung menghambur keluar membawa dompet kecil. Budhe Darmi penjual gaplek dan thiwul membunyikan bel sepadanya. Beberapa tetangga sudah berkerumun memilih dagangan Budhe Darmi. Tanpa menayakan Bapak, aku sudah tahu apa yang dipesannya. Bapak suka sekali dengan thiwul dan kentang kelici. Kentang kecil-kecil, rasanya sedikit gurih, saat dimakan memberikan rasa dingin di perut—ini testimoni dari Bapak.

Ibu memilih gethuk lindri dicampur dengan gathot yang ditaburi parutan kelapa di atasnya. Untuk Ibu, aku juga tidak perlu menanyakan lagi. Saat Ibu yang membeli di Budhe Darmi pun, ia tidak menanyakan pesananku mau beli jajanan atau kudapan apa, karena Ibu hafal betul apa yang hendak aku beli, jenang grendhul dan klepon.

Saat aku sudah dekat ke arah sepeda Budhe Darmi, mendadak Ibu-Ibu saling berbisik dan mengganti topik pembicaraan secara tiba-tiba. Terasa sekali saat kehadiranku sangat mengusik mereka.

“Eh cah ayu, liburan kuliah? Kok baru kelihatan?,” Budhe Darmi mencubit lengan Lik Karti, saat aku benar-benar sampai di keranjang jajanan yang didagangkan.

“Iya Budhe. Ada jajanan apa saja?,” Aku berusaha tersenyum senormal mungkin, meskipun ada perasaan ganjil yang menyergap.

“Masih lengkap Ndhuk, karemanmu juga masih ada”, Budhe Darmi menunjukkan jajanan kesukaanku.

“Wah Mbak Nur bentar lagi lulus, bisa jadi pengacara  ya,” Ada perasaan tidak nyaman saat Lik Karti mengungkapkan hal itu.

Aku hanya tersenyum. Persepsi lulusan Sarjana Hukum bagi kebanyakan orang adalah menjadi pengacara, hakim, jaksa. Padahal tidak sesempit itu. Aku tidak menanggapi terlalu mendalam karena aku yakin Lik Karti hanya basa-basi.

Tidak semua hal harus kita jelaskan, karena tidak semua orang akan mendengarkan dan menerima penjelasan kita.

“Wah, bisa jadi pengacara perceraian juga ya kayak artis-artis di TV. Tapi kalau tetangga sendiri gratis kan?,” Mbak Rita ikut menimpali sambil tertawa diikuti ibu-ibu lainnya tertawa sambil saling pandang. Mbak Rita yang 2 tahun di atasku, nampak lebih dewasa dari usianya. Saat ini usianya sudah 24 tahun dan memiliki anak 3.

“Kamu kapan nikahnya Nur, jangan lama-lama. Yang dicari apalagi sih, mbok ya  jangan terlalu memilih,” Mbak Atun yang juga sebaya Mbak Rita, semakin sinis komentarnya.

“Lha kan harus milih Mbak. Suami kan nantinya yang akan jadi imam di dunia dan kunci surga juga, masa iya mau milih yang asal-asalan,”, Aku berkelakar. Mbak Rita dan Mbak Atun manyun setelah mendengar jawabanku.

“Masa kalah sama Ayu, sepupu mu itu sih, dia kan udah.....” Kali ini Budhe Darmi mendaratkan cubitannya ke Mbak Atun sampai ia mengaduh.

“Ndhuk, ini sudah tak plastik ya jajanannya,” Budhe Darmi menyerahkan kantong plastik berisi barang belanjaanku. Aku memberikan uang selembar lima puluh ribuan. Setalah mendapat uang kembalian, aku pamit pulang. Belum ada beberapa langkah menuju rumah, mereka meneruskan bisik-bisik mereka. Aku yang tidak memedulikan isi gunjingan mereka, memilih langsung pulang. Tidak mau ikut memakan bangkai dengan tetangga tadi. Ibu selalu berpesan untuk tidak menggosip, meskipun sekali-duakali aku kadang-kadang khilaf melakukannya atas dasar ingin tahu.

Bapak masih duduk di ruang tamu dengan gelas teh manis yang tinggal seperempat lagi. aku mengeluarkan kudapan dan bergegas ke dapur untuk mengambil piring. Sebelum beranjak ke dapur, Bapak mencegahku dan menyuruhku duduk menemaninya.

“Duduklah, Wuk,” Kata Bapak dengan intonasi halus tetapi tegas.

Aku membuka daun gethuk, tidak beberapa lama Ibu bergabung dengan kami. Ibu menyiapkan kentang kelinci di depan Bapak dan membuka daun yang membungkus thiwul agar Bapak bisa langsung menikmatinya.

“Mungkin sebentar lagi, Ayu akan menikah, Wuk” Bapak membuka percakapan.

Oalah, jadi yang dibilang Mbak Atun tadi bukan gosip. Ya Alhamdulillah dong, Pak. Ayu sudah ketemu jodohnya. Tapi, Bapak gak buru-buru minta mantu kan?,” Aku terkekeh. Bapak hampir tersedak thiwul, Ibu dengan sigap menuangkan teh tawar ke gelas Bapak. Kekehanku memudar saat Bapak tidak menyukai jawabanku.

“Jadi kamu sudah tahu kalau....” Ibu agak ragu menyelesaikan kalimatnya.

“Tadi sih Mbak atun gak secara gamblang bilang, Bu. Tadi mereka lagi bisik-bisik, Cuma pas aku datang, jadi aneh suasananya,” Aku nyerocos.



“Ayu....ha...mil”, Ibu terbata menyelesaikan kalimatnya. Ibu keluar masuk dapur hanya untuk menyembunyikan kesedihannya. 3 hari di rumah, hanya meraba-raba kegelisahan Bapak dan Ibu. Pernyataan Ibu membuatku lemas dan kelu untuk menanggapi.

Ayu seperti adikku sendiri. Ia adalah anak semata wayang Lik Raji, adik kedua Bapak. Dari kecil hingga remaja kita hampir selalu sama-sama, TK hingga SMA kami di sekolah yang sama. Bedanya, saat ujian SPMB, ia memilih di Jogja sedangkan aku di Solo. Meskipun usia kami sama, tetapi berdasarkan silsilah keluarga, dia memanggilku Mbak Nur.

Tidak terasa, pipiku hangat dengan anakan air yang sejak tadi kutahan.

“Dandi yang sejak dulu menyukai Ayu bersedia menikahinya, tapi ia menolak,” Bapak akhirnya bicara.

“Dandi yang.....?” Aku mengusap hidungku yang kedat, belum mampu berkata lagi.

Bapak menggeleng, seakan tahu kalimat pertanyaanku selanjutnya.

Dadaku tergores lagi, perih. Aku membayangkan wajah Ayu sekarang ini yang memikul beban itu. Bukan gunjingan orang, tetapi rasa bersalah yang mendalam.

“Dia diperkosa saat pulang dari kampus menuju kost. Lelaki itu entah kemana. Dari sebulan yang lalu Ayu merasa trauma ditambah ada benih di rahimnya, dia semakin terpuruk. Ayu menolak dinikahi Dandi” Ibu menjelaskan dan aku masih sesenggukan. “Mungkin kamu bisa menghiburnya,” tambah Ibu.

***

Ayu tertidur berselimut kain beludru. Kata Lik Raji, ia mengurung diri di kamar. Kabar kehamilannya melesat di seluruh kampung. Menjadi topik hangat, apalagi Lik Raji termasuk salah satu tokoh terpandang. Anak nakal, salah pergaulan, narkoba, isu macam-macam yang membuat hati Ayu semakin perih.

Ayu memelukku saat tahu kedatanganku. Erat. Tangannya mencengkeram seakan dia ingin memberitahuku bahwa ia sudah tak sanggup menanggung beban itu sendiri.


“Istighfar, Ay” Aku menguatkannya sambil menahan agar aku tidak menangis di depannya.

“Aku kotor, Mbak. Gusti Allah pasti marah sama aku,” Ayu semakin erat.

“Sssst, gak boleh begitu. Ini musibah. Kamu gak sendirian.” Aku mencoba merenggangkan pelukan.

“Kata Mbak Atun, aku cewek gatel, geleman sama lelaki. Padahal aku diperkosa.” Ayu mendengar Mbak Atun menggosip di tempat Yu Jum, juragan beras yang rumahnya 100 meter dari rumah Ayu.

“Kuat Ay, kuat. Tidak semua orang tahu kebenarannya. Dan semua orang nggak ada yang mau kejadian ini.” Aku menguatkan Ayu dan menguatkan hatiku untuk tidak melabrak Mbak Atun yang

***

Usia kehamilan Ayu sudah 7 bulan. Setiap pulang dari Solo, aku menyempatkan untuk main ke rumahnya. Badai pasti berlalu. Ayu sangat tabah. Rumor yang beredar mengenai Ayu sudah tidak sekencang beberapa bulan yang lalu. Masih ada yang menggunjing, tetapi lebih banyak yang simpati.

“Ayuuu, kamu tahu nggak yang nyinyirin tentang kamu ternyata lagi di sidang sama Pak Lurah tadi siang di Kelurahan,” Danik menggebu-gebu bercerita.

“Eh siapa yang kamu maksud, Dan?” Aku penasaran.

“Itu tuh, Mbak Atun, si tukang gosip. Digerebek warga gara-gara ke-gep selingkuh sama Pak Rama,” Danik bersemangat. Rumor kedekatan mereka berdua memang santer terdengar satu bulan terakhir, tetapi baru terbukti tadi siang saat Pak Rama bertandang ke rumahnya dan para tetangga mengendus gelagatnya yang tidak beres.

“Ganti topik ah, yang enak didengar, musik paling hits atau resep masakan paling enak apa gitu. Ngomongin orang gak akan ada habisnya. Pahalanya bisa memuai.” Ayu enggan berkomentar. Tangannya lembut mengelus perutnya. Dia tidak mau membahas topik yang sedang hangat di kampung kami.

**END**

 



Tidak ada komentar

Hai, terima kasih sudah berkunjung dan membaca! Let's drop your comments ya. Insya Allah akan berkunjung balik :)