Featured Slider

Pria Pencuri Hati Itu...#LoveStory5-END


Note :


Silakan baca cerita lengkap dari #LoveStory seri 1 – 4 dulu ya. Dan ini adalah cerita penutup versi Aya. Karena perannya nyomot nama saya juga (Maya sama Aya kan beda-beda tipis :p), mau nggak mau saya ngutak atik alur, plot sama settingnya, baca sampai selesai yaaaa :D.

Pria Pembawa Gitar Itu... #LoveStory1
Pertemuan di Angkot Itu...#LoveStory2
Pertemuan Tak Sengaja Kembali...#LoveStory3



Selamat menikmati ya :* (cium buat pembaca female doang :p)



Pria Pencuri Hati Itu...


Terdengan suara langkah Papa turun dari tangga dengan Mama menuju teras. Jantung saya nggak tau kenapa seperti mau copot, berharap papa tidak bertanya macam-macam.


“Darimana Ay?”


“Ini tadi nengok papinya temen, Pah” jantung saya masih berdegup kencang menunggu reaksi Papa, karena saya belum pernah mengajak teman pria datang ke rumah. Bahkan teman kuliah pun juga belum pernah ada yang datang ke rumah, suka risih ditanya-tanya.


Saya melihat wajah pria itu masih tenang dengan sunggingan senyumnya. Belum sempat mengenalkan pria itu kepada papa sama mama tetapi papa langsung menyapanya duluan.


“Lho, ada urusan apa sampai ke rumah, Her?” saya bingung sekali melihat papa bertanya kepada pria itu. Eh, tapi papa tau darimana kalau nama pria itu adalah Her? Saya malah memanggilnya dengan inisial H saja? Malah baru tahu saat di rumah sakit kalau nama pria itu adalah Her.


Papa menjabat erat tangan H, dan H pun juga membalasnya.


“Tidak Pak, saya hanya mengantar Maya pulang. Kebetulan rumah saya ada di kompleks Kenanga” H menjawab pertanyaan papa dan saya masih bingung dengan situasi ini. Mama akhirnya juga ikut bersalaman sembari mengingatkan papa untuk segera pergi dan mempersilakan H untuk duduk dan menyuruhku minum teh.


“Ooh, saya pikir ada dokumen yang harus saya tanda tangani” wajah papa tertawa meledek H.


“Pantang membawa kerjaan pulang, Pak” jawab H sambil tersenyum.


“Yasudah, silakan duduk. Biar Aya buatkan teh dulu. Saya mau menghadiri resepsi nikahan anaknya Pak Imam. Siapa tahu ketularan ngadain resepsi juga” H dan Mama tertawa mendengar kalimat Papa yang menyiratkan bahwa dia juga ingin segera mantu.


***

“Kok kenal sama papa saya sih?” saya menyodorkan teh kepada H.


“Dunia sempit ya, May” pria itu terkekeh setelah menyesap tehnya.


“Kok ketawa? Jawab dong pertanyaan saya. Kenal Papa saya dimana?”


“Pak Sutjipto Mansyur adalah direksi di perasahaanku bekerja. Beliau punya 2 putri kan? Namanya Fika Sutjipto dan Maya Sutjipto. Eh, tapi tadi kamu dipanggil Aya ya? Emang kalo di rumah dipanggil Aya, ya?”


“Jangan-jangan kamu intel ya, sampai kamu tahu juga sama nama Mbak Fika” wajah saya menatapnya curiga.


“Kalian berdua itu terkenal lho di kantor. Staff-staff di kantor saja pengen banget jadi menantunya Pak Tjipto. Hahaha. Cuma aku nggak ngeh kalau salah satunya itu kamu. Kalau aku tahu kamu anaknya Pak Sutjipto Mansyur, pasti aku juga ikut antri daftar melamar”


Saya diam membisu setelah mendengar jawaban H, membuat pipi saya panas. Iya, saya suka dengan jawabannya.


Setelah kedatangannya ke rumah seminggu yang lalu, saya  belum ketemu Mas Her lagi. Saya sudah tidak memanggil dengan inisial lagi, lebih nyaman memanggil namanya saja. Dan entah saya pun lupa kapan pertama kali saya memanggil namanya dengan sebutan “Mas Her”—Her Setyawan.


Awalnya saya gelisah menunggu sms atau telepon dari Mas Her karena seminggu tidak berkabar. Saya enggan untuk memulai telepon atau sekadar sms. Perasaan gelisah itu mulai terkikis saat saya disibukkan revisi skripsi. Toh dulu saat pertemuan pertama dan kedua kami, selangnya juga cukup lama. Menurut cerita Papa, Mas Her lulusan dari Universitas Groningen. Mungkin pertemuan pertama kami dulu saat dia pulang ke rumah. Dan jeda 2 tahun tidak bertemu, dia kembali melanjutkan masternya. Ini asumsi saya saja lho. Katanya kalau sedang jatuh cinta, semua bisa dihubung-hubungkan. Eh, memangnya saya jatuh cinta sama dia?


“Hallo Ay, sehat kan? Sorry nggak ngasih kabar. Keluar makan bakso yuk nanti jam 12? Aku jmpt di kampus y?”


Saat membaca sms di layar android, ada perasaan senang yang menyelimuti. Tetapi kenapa dia harus bilang sorry? Bukan suatu kewajiban kok untuk bertukar kabar? Siapa saya untuk dia? Dan yang paling membuat pipi saya memerah saat membaca panggilan “Ay”. Baru kali ini dia memanggil saya dengan panggilan itu, hanya Papa, Mama dan Mbak Fika yang selama ini memanggil saya dengan sebutan itu. Saya memasukkan android ke dalam tas setelah membalas smsnya.


Dia menjemput saya di kampus. Siang itu ia mengenakan kemeja biru bergaris dengan celana bahan hitam polos. Sepanjang perjalanan saya hanya diam karena bingung mau memulai percakapan.


“Kamu bawa berkas apa, Ay? Banyak banget” pertanyaan Mas Her memecah kebisuan kami.


“Oh ini, tadi habis njilid spiral skripsi. Minggu depan insya Allah saya sidang skripsi”


“Waaah, selamat ya. Semoga lancar sidangnya. Kalau nggak sibuk kerjaan kantor, aku dateng deh”


Jawabannya membuat saya kikuk, seperti pertama kali saat dia memandangi saya di angkot. Mobil terus melaju dan setelah menerobos macetnya ibukota, kami berdua sampai di tempat yang dipilih Mas Her.


Pengunjung tempat itu rame sekali. Entah karena makanannya yang enak atau karena kami datang pas makan siang. Saya memilih duduk di meja lesehan agar lebih santai. Mas Her menyusul dengan membawa buku menu. Saya memesan mie ayam bakso dengan sawi porsi banyak, hehe. Sedangkan Mas Heri memesan bakso kosongan, jadi hanya bakso kuah tanpa mie. Suasana agak canggung, tetapi saya mengacungi jempol empat untuk pria ini yang mampu mencairkan suasana dan obrolan menjadi lepas setelah beberapa hari tidak berkomunikasi.


Banyak yang kami obrolkan diselingi dengan tawa renyah Mas Her yang menceritakan kesibukannya akhir-akhir ini. Pesanan kami pun datang. Saya mencoba kuah mie baksonya. Sesaat saya melirik pria yang ada di depan saya sambil tersenyum.


“Enak kan?” dia bisa menebak apa yang ingin saya ucapkan. Bakso ini memang benar-benar lezat. Mie dan kuahnya juara. Mangkok kami berdua bersih tidak bersisa.


“Kapan-kapan kesini lagi yaaa” ungkap saya spontan. Mas Her menjawab dengan anggukan.


“Aaay” Mas Her menatap saya dan tiba-tiba jantung saya mau copot saat bola mata kami beradu. Tangan kanan saya memainkan sedotan, mengaduk es batu yang sudah hampir habis.


“Sejak bertemu di angkot 4 tahun yang lalu, saya sudah menaruh perasaan sama kamu. Saat kamu bilang rumah kamu di Jalan Akasia dan berkrei, saya mencari setengah mati dan berharap bertemu kamu. Sampai saat liburan saya habis dan harus berangkat ke Belanda untuk kuliah, saya masih berharap bisa bertemu sama kamu lagi. Dan ternyata benar, saya diberi kesempatan untuk bertemu kamu lagi. Saya nggak tahu perasaan macam apa yang saya rasakan waktu itu, tetapi saya tidak bisa menutupinya lagi”


Saya bingung, jantung saya berdegup kencang sekali. Suara ramai pengunjung tidak membuat saya tuli dengan suara Mas Her dan saya mendengarnya dengan jelas tiap kalimatnya. mendadak saya benci kenapa Mas Her menyebut dirinya dengan “saya” bukan “aku” seperti biasanya. Saya hanya tercekat mendengarkan tanpa tahu harus membalasnya apa. Yang saya ketahui dalam hati, pria itu sedang berbicara serius.


“Maya Sutjipto, maukah kamu menjadi istri saya? Saya tidak bisa berjanji untuk menjadi suami yang baik. Tetapi saya berjanji akan membahagiakanmu sepanjang hayat saya”


Saya hampir tersedak. Mata Mas Her masih lekat menatap saya. Saya pikir, minggu ini saya tidak bisa tidur karena memikirkan sidang skripsi. Tetapi sepertinya saya salah, ucapan Mas Her ini mungkin yang akan menghantui saya di minggu ini.


“Saya belum bisa menikah, Mas”


“Kamu sudah punya pacar?”


“Bukan.. Maksud saya bukan itu. Saya tidak bisa melangkahi Mbak Fika. Kalau saya menikah duluan, apa kata orang nanti. Saya juga menghargai perasaan Mbak Fika”


“Kamu masih punya waktu, Ay. Saya tunggu di 4 September ya. Tidak perlu buru-buru menjawabnya. Kalaupun kamu bilang tidak, saya akan tetap menghargai. Mungkin sebulan ini saya akan sibuk sekali karena ada beberapa proyek yang harus saya selesaikan di luar kota. Jadi, semangat ya untuk sidang Minggu depan. Doa saya insya Allah sampai. Saya berharap bisa datang, tetapi kalaupun tidak di kampus, nanti saya main ke rumah ya”


Jujur, perasaan saya campur aduk setelah makan siang itu. Dan ternyata menggunakan kata “saya” itu sangat keki sekali kedengarannya. Meskipun saya sering melakukannya. Tetapi  untuk Mas Her, dia tidak cocok menggunakannya. Mending kata “aku” atau “gue” sekalian yang terkesan santai.


***


Euforia sidang skripsi masih terasa. Saya akhirnya lulus dengan nilai A. Malam setelah sidang skripsi, Papa, Mama dan Mbak Fika sengaja makan malam bersama di rumah. Mama masak spesial kesukaan kami. Papa mengucapkan selamat, Mama dan Mbak Fika pun tidak ketinggalan.


Setelah makan malam, kami berempat gegoleran di ruang keluarga. Mbak Fika yang hari ini tidak ada jadwal visit di Rumah Sakit, sedari sore menghabiskan waktu di rumah membantu Mama masak-masak. Kalau saya? Dari siang setelah sidang, saya sibuk ketemu dengan teman-teman kampus, mereka minta makan-makan di Serba Sambal. Saya masih memakai dress code hitam-putih kayak seragam PNS :D. Selepas magrib baru sampai rumah dengan perasaan lega setelah melewati hari ini yang sebelumnya saya bayangkan mencekam.


“Ay, tadi sore ada cowok ganteng maen ke rumah”


“Siapa Mbak Fik?”


“Her”


“Tadi ngasih berkas ke Papa sih, cuma dia juga ngasih bingkisan buat kamu. Cie cie cie, sekarang Aya udah mulai lope-lope an sama cowok”


Ada perasaan tidak nyaman menyelusup. Perasaan yang saya jaga seminggu ini agar tidak mengganggu sidang skripsi ternyata sedikit berhasil. Duh, kenapa cuma sedikit? Karena sebenarnya saya melakukannya dengan perjuangan. Malam-malam saya seperti mimpi buruk karena ingat tanggal 4 September. Saya ingin sekali menikah, tetapi tidak tega melangkahi Mbak Fika. Melihat wajah Mama dan Papa yang nantinya akan malu dengan perkataan orang-orang, saat putri bungsunya melangkahi kakaknya.


Dada saya mendadak sakit sekali membayangkannya. Akhirnya saya memilih ke kamar. Saya membenamkan wajah saya ke dalam bantal dan menangis sepuasnya. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar. Saya bergegas mengusap air mata yang beranak-pinak dan segera membuka pintu.


“Ini nggak mau dibuka, Ay?” Mama membawakan bingisan berpita pink. Saya mencoba tersenyum. “Kamu habis nangis ya?” Saya mencoba mengelak tapi insting Mama lebih peka. Saya tidak menjawab malah mencoba mengalihkan perhatian dengan pura-pura membuka bingkisan yang dibawa Mama. Bukan membaik, tetapi hati saya tambah sakit melihat bingkisan berupa kotak musik yang berisi bride & groom yang berputar-putar. Saya membaca pesannya juga “Semoga ilmunya bermanfaat ya, Ay J”. Membaca nama pengirimnnya membuat hati saya semakin sakit.




Tanpa diberi aba-aba saya menangis dan memeluk Mama. “Lho kok malah nangis. Ada apa?” tangisan saya tambah menjadi.


“Ssssttt... udah ah. Papamu bilang, Her anak yang baik dan pantas menjadi imam kamu, Nak. Jadi kamu jangan berpikir macam-macam untuk menundanya”

“Tapi Maaah...”


“Tidak ada ibadah yang saling mempersilakan” Mama memotong kalimatku. “Kamu paham tentang itu. Mbakyumu rela kalau kamu duluan menikah. Papa sama Mama juga tidak keberatan. Jadi kamu jangan berpikir macam-macam tentang bayangan yang kamu buat sendiri”


Pintu kamar saya berderit. Mbak Fika menghampiri saya. “Kamu apa-apaan sih, Ay. Kalau kamu cinta sama Her, yaudah nikah aja duluan gak apa-apa. Ikut sama Her ke Belanda bulan depan” pernyataan Mbak Fika membuat saya membelalakkan mata.


“Belanda?”


“Iya, Ay. Her dipromosikan untuk pengembangan perusahaan di Belanda. Makanya itu dia ngelamar langsung ke Papa dan minta ijin langsung ke Mbak Fika tadi sore. Tadinya mau ketemu kamu juga, tapi kamu belum pulang. HP-nya hilang, jadi nggak bisa ngehubungin kamu” saya memeluk Mbak Fika. Beban yang menggayut di hati saya seminggu ini seakan mencair.


***


“Saya nggak mimpi kan ya?”


“Kenapa emang?”


Pria yang mengenakan denim dan sepatu kets di samping saya tersenyum.


“Sebulan lalu saya dibuat tidak bisa tidur oleh pria yang tiba-tiba mengajak nikah, trus seenaknya pergi tanpa kabar. Saya menghadapi sidang skripsi dan jawaban lamaran itu dengan hati yang tidak enak sendirian. Tetapi kemarin bahagia saya dibayar lunas saat akad, sekarang ada di bandara menunggu boarding pesawat menuju Belanda.... Dan..”


Telunjuk Mas Her menutup bibir saya. “Udah ya, jangan banyak bicara lagi Ayaang. Terima kasih sudah mau menjadi istri Mas. Menemani Mas. Terima kasih...” Mas Her mencium kening saya lembut.


“Terima kasih juga karena Mas Her telah menggenapkan dien Aya ya” saya menggenggam tangannya erat. Dan menanggalkan kata “Saya” saat bercakap-cakap dengan pria yang pernah saya temui di angkot. Dan sekarang menjadi suami saya.


-END-


"Tulisan ini diikutkan dalam Giveaway Kisah Cinta Bunda 3F - #LoveStory"



29 komentar

  1. Sweet banget sihhhh... menikah tanpa pacaran itu keren.. dan gentle man versi sy krn langsung berani menghadap ke ortu. Hihihi

    BalasHapus
  2. Baru ini baca yg endingnya happy :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi, biar nggak melow galaaau Mbak Hana :D

      Hapus
  3. yah cuma sampai 5... dibuat juga donk yang versi The Series :D

    BalasHapus
  4. aaaa, banyak giveaway..pengen ikutan yg ini jugaa

    BalasHapus
  5. Wah cie cie ... fiksinya keren

    BalasHapus
  6. Hwaaaahhhh Melting uyyy ssma Her
    Hhheeee

    BalasHapus
  7. jodoh gak kemana. Dari ketemu di angkot akhirnya berjodoh :D

    BalasHapus
  8. Endingnyaa manisss.. kemarin baca punya orang versi sedihnya hehe
    skrng kayaknya uda biasa aja ya mba saling melangkahi tp kalo di jawa tetap ada adatnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Ay, di Jawa adatnya masih kental syekaliii, hehe

      Hapus
  9. kalau menurut agamam memang seperti inilah ya, meniah tanpa pacaran tapi taaruf. good luck ya. Maaf baru bisa mampir ke blognya

    BalasHapus
  10. sukses ya mbak GA nya, salut sama teman2 yang bisa nulis non fiksi dan fiksi

    BalasHapus
  11. kereenn,,, jadi ikutan tersapu.. eh tersipu ;;)

    BalasHapus

Hai, terima kasih sudah berkunjung dan membaca! Let's drop your comments ya. Insya Allah akan berkunjung balik :)