Featured Slider

8 Hari yang Mengesankan


Maha baik Allah yang telah merahasiakan kematian seseorang sebagai salah satu ujian keimanan. Ujian keimanan bagaimana maksudnya? Iya, saat seseorang tahu bahwa esok dirinya akan mati, pastilah ia akan mempersiapkan dengan sebaik-baik bekal untuk bertemu Rabbnya. Nah, saat menjadi rahasia, tidak semua orang bahkan aku pun belum tentu siap untuk bertemu sang Khalik karena merasa bekal yang dibawa masih jauh dari cukup. Padahal kematian itu sudah menjadi kepastian. Tidak dapat dimajukan dan tidak dapat juga dimundurkan.

Wahai Allah... Aku tak pantas di syurga-Mu. Namun hamba juga tak mampu jika ditempatkan di neraka-Mu...

Berbicara tentang kematian, awalnya aku sangat jerih, tetapi lama-kelamaan rasa jerih itu berubah menjadi kepasrahan berbalut doa agar dipertemukan dengan Allah dan Rasulullah dalam kondisi yang baik. Allah tidak menanyakan kesiapan kita. Oleh karena itu, kita sendiri yang harus sadar penuh bahwa hidup hanya seperti perhentian sejenak dan bersifat fana'. Maka tidak salah jika ada yang menyebutkan bahwa dunia adalah senyata-nyatanya ujian. Karena kebanyakan dari kita menambatkan hati kepadanya. Padahal ujung dari dunia adalah akhirat. Kehidupan yang sesungguhnya.

***
Aku pernah merasa takut kehilangan. Sangat takut. Saat Bapak kemarin mengalami kritis dan tiba-tiba mengeluh tidak kuat menghadapi TBC-nya. Beliau berpamitan dengan Ibu dan keluarga. Alhamdulillah, Allah masih menyayanginya. Dalam kondisi kritis, banyak yang sedih dan menangis merasa sangat keberatan jika Allah mengambilnya. Makanya, di setiap doaku selalu menyelipkan kesembuhan untuk Bapak dan memohon agar Allah mengijinkan Bapak menemaniku lebih lama lagi.

Melewati kondisi Bapak yang kritis, di Rumah Sakit aku berandai-andai. Bagaimana jika yang di posisi Bapak adalah aku. Yang mengalami kritis adalah aku sendiri. Apakah semuanya akan merasa sedih dan kehilangan? Ah, pengadaianku sangat konyol. Dan lebih konyol lagi saat aku berandai-andai kematian adalah alat untuk melihat apakah seseorang sangat menyayangi kita atau tidak. Pikiran-pikiran seperti itu berkelebat hebat dalam benakku. 

Pertanyaan liar yang beterbangan dalam pikiranku saat itu adalah "Jika aku mati, apakah masih ada yang mendoakanku? Masih ingat kalau aku pernah ada?". Tiba-tiba ada genangan hangat di pelupuk mataku. Takut jika pengandaianku tidak sesuai dengan harapanku. Dan yang pasti, aku masih takut menghadapi mati. Air yang jatuh di mataku semakin deras tanpa aku tahu itu air mata apa. Aku memandangi Bapakku dengan oksigen yang masih terpasang di hidungnya sejak bebera hari yang lalu. Aku menyadari bahwa Allah memberikan udara secara cuma-cuma selama 26 tahun ini. Tapi, seringkali aku lupa diri untuk sekadar mengucapkan "terima kasih" saat sehabis salat. 

Mataku bergantian memandang ke arah Ibuku yang tertidur di sofa ruang tunggu tidak jauh dari tempat dudukku. Wajah yang teduh sekali. Wanita yang berkali-kali menangis saat tahu suaminya divonis TBC dan melihat badan suaminya yang berangsur kurus. Dia merasa takut kehilangan suami yang telah ditemaninya lebih dari 40 tahun. 

Kepalaku berputar dan terasa sakit sekali. Aku mencoba memejamkan mata agar rasa pusingku mereda. Tapi ternyata aku salah, rasa sakit di kepalaku bertambah hebat. Ingin membuka mata tetapi terasa berat. Semakin mencoba membuka mata, semakin tidak bisa. Orang Jawa menyebutnya "tindihan". Posisi kita tidur dan ingin bangun, tetapi semakin memaksa bangun, badan kita rasanya kaku. Akhirnya aku tidak merasakan capek dan tidak berusaha untuk bangun. Meskipun rasa sakit di kepalaku sangat menyiksa. 

Pertanyaan nakal sebagai pertanyaan lanjutan atas pertanyaan-pertanyaanku tadi menambahku semakin pusing, tetapi aku tidak punya daya untuk bangun. "Kalau kamu diberi waktu 8 hari lagi untuk hidup, apa yang ingin kamu lakukan?" Dadaku rasanya ingin berhenti menafsirkan pertanyaan dari bayangan yang aku buat sendiri. Tetapi percuma jika melawan untuk bangun dan menghilangkan pertanyaan itu. Aku lebih memilih untuk lebih rileks.

Apa iya, cuma dikasih 8 hari untuk hidup? Kenapa gak sebulan atau setahun? Biar aku punya waktu untuk menyusun apa saja yang akan aku lakukan untuk menyiapkan semuanya. Dasar pertanyaan konyol. Dan lebih konyol lagi, aku menikmati pertanyaan itu. Bahkan aku sendiri yang membuat dan menciptakannya.

Oke, jika aku diberi hidup (hanya) 8 hari lagi, aku akan membuat sisa-sisa hariku menjadi mengesankan. Mengesankan dalam pandanganku lho ya, dan aku tidak akan memaksa orang lain untuk berkesan terhadapku. Karena sumpah itu hal yang membuat capek luar dalam. 8 hari itu kurang lebih akan aku isi dengan hal-hal berikut :

Pertama, merawat Bapak dan Ibuku. Aku ingin menghabiskan waktuku dengan mereka. Menemani Bapak pengobatan dan mengantar Ibu terapi tangannya yang pernah terkena stroke kecil. Selama 8 hari itu aku juga tak luput mendoakan kesehatan mereka berdua, agar di tahun 2017 bisa berkunjung ke Baitullah seperti cita-cita mereka berdua. Dulu aku pernah berjanji akan mengantarkan merek berdua saat haji. Tetapi aku yakin pasti mereka berdua juga akan selalu mendoakanku.

Kedua, memilih barang-barangku yang bisa disumbangkan ; baju, buku dan hal lain yang berguna. Semoga hal tersebut berguna dan menjadi jariyah bagiku setelah mati.

Ketiga, menginfakkan seluruh tabunganku. Karena aku yakin, kunci masuk surga bukan dengan uang. Sebelum mati, aku ingin menginvestasikan seluruh tabunganku ke masjid atau yayasan. Aku ingin investasi pahala jariyah yang nantinya bisa meringankan hisab dosaku.

Keempat, mengucapkan terima kasih dan minta maaf kepada teman, saudara dan orang tua. Bagaimanapun, mereka telah menemaniku dalam suka dan duka. Jadi ucapan terima kasih dan kata maaf bisa lebih meringankan aku.

Kelima, menerbitkan buku. Bukankah saat-saat terakhir adalah saat yang paling produktif? Menerbitkan buku adalah salah satu dari sekian impianku. Itu bukan ingin dikenang. Tetapi, dengan buku, semoga manfaat yang ada di dalamnya menjadi pahala jariyah yang menerangi di dalam kubur.

Keenam, dzikrullah dan taubat nasuha. Tidak ada hal yang lebih menyenangkan dan menenangkan selain mengingat Allah. Sebelum 8 hari berakhir, aku juga mau melakukan taubat nasuha atas segala dosa-dosaku yang pernah dilakukan.

Badanku gemetar dan menggigil. Ada tangan yang dingin menyentuh pipiku. Mataku terbelalak kaget dan senyum ibu hangat membangunkanku.

"Tahajud sik wuk. Kowe mimpi opo?" Ibu lalu mengambil mukenanya dan aku mengusap mukaku dengan kedua tanganku. Tangannya yang dingin tadi ternyata bekas air wudhu dan menyelamatkanku dari "kematian".

Mimpiku terlalu berat sehingga badanku basah kuyup keringat. Tetapi kalau memang pertanyaan itu nyata adanya, tentang 8 hari sisa hidupku. Jawabanku akan tetap sama dengan di mimpiku. Aku akan membuat 8 hari yang kupunya menjadi sangat mengesankan dengan hal-hal yang kusebutkan di mimpi. Iya, aku bermimpi tentang membangun pahala jariyah.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Dnamora Giveaway 

1 komentar

  1. Semoga ayahanda semakin sehat ya Mba.. Terimakasih tulisannya, Melimpah berkah segala urusannya,, aamiin

    BalasHapus

Hai, terima kasih sudah berkunjung dan membaca! Let's drop your comments ya. Insya Allah akan berkunjung balik :)