Featured Slider

Karena Kematian itu...... Dekat

Kepalaku masih tidak bisa berhenti memikirkan kejadian tadi pagi. Tidak biasanya aku ikut jalan-jalan selepas shubuh. Tetapi untuk menghilangkan rasa kantuk, aku ikut bergabung jalan-jalan Bapak, Ibu dan Mbak Endang. Sesampai di ujung gang, banyak teman-teman Bapak dan Ibu yang menunggu. Ritual jalan-jalan ini sudah berjalan sebulan sebelum puasa hingga sekarang. Muterin rute rumah warga 3x yang kemungkinan berjarak 2-3 kilometer sudah membuat Bapak dan Ibu keringetan.

"Bu, ternyata korban yang tabrak lari sudah ketemu" suara Mbah Amat terdengar sampai belakang. Aku dan Mbak Endang memperlambat langkah.

"Itu lho mantunya Pak X, suaminya si Fulan" telingaku tidak salah dengar kali ini tetapi demi memastikan kabar tersebut, aku bertanya kembali seperti halnya pertanyaan repetisi.

"Innalillahi, bukannya kemarin istrinya baru saja melahirkan, Mbah?" ulu hatiku seperti teriris. Mbak Endang juga merasakan hal yang sama. Jadi, semalam salah satu polisi di desaku dikabari oleh rekannya kalau ada korban tabrak lari di daerah Demak, Semarang. Mungkin saja beliau baru saja pindah domisili mengikuti istrinya, sehingga namanya tidak familiar. Ada 3 orang nama yang disebutkan tetapi setelah di cek satu per satu, ternyata yang namanya disebutkan sehat wal afiat. Dan entah bagaimana ceritanya, hingga nama korban yang dimaksud ditemukan, tidak lain adalah suami dari teman sebangkuku SD. 

Bayinya baru berusia 18hari, dan sekarang ia yatim. Untuk menuliskan ini, aku harus menyeka sudut mataku berkali-kali. Saat aku ke pasar, tetangga bilang kalau jenazah dimakamkan di rumahnya (Pekalongan-Red), bukan di Klaten. Lalu bagaimana dengan si Fulan? Trus anaknya? Tiba-tiba hatiku perih sekali lagi. Tetanggaku bilang kalau si Fulan tidak bisa kesana karena memang kondisinya masih nifas dan kurang sehat setelah melahirkan. Waktu buka puasa, katanya si Fulan masih sms-an dengan suaminya untuk mengingatkan buka. Dan ternyata komunikasi itu adalah yang terakhir kalinya.

Bukankah kematian itu sangat dekat?

Sampai di rumah, aku masih saja setengah tidak percaya. Semoga temanku dan bayinya kuat dan tabah melalui ini. Semoga juga suaminya diampunkan dosanya, dilapangkan kuburnya. Amin amin amin.

Dalam momentum Ramadhan ini, seperti diingatkan kembali "Bagaimana kalau ini adalah Ramadhan terakhirmu?". Mulutku sendiri kelu untuk menjawabnya. "Bekal terbaik apa yang kau jadikan andalan untuk bertemu Rabbmu?". Air mataku meleleh kali ini, bibirku bisu tergugu.

8 komentar

  1. duh ya Allah naudzubillah min dzalik, jangan sampai menjadi ramadhan terakhir, belum siap T_T

    BalasHapus
  2. innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Ya Allah ceritanya sedih...Semoga keluarga yg ditinggal tabah...

    BalasHapus
  3. Hiks...iya eung belum siap? Tapi kapan kita siapnya yak? Aduuuh. Terima kasih sudah diingatkan.

    BalasHapus
  4. kematian memang tidak tertuga, tulisannya inspiratif semoga bisa menjadi inspiratif bagi yang lain. ini catatan sebagai pengingat diriku sendiri, semoga yang ditinggalkan diberi ketabahan, aamiin. Al-Fathihah

    BalasHapus
  5. Innalillahi wainailaihi rojiun, sedih banget Mba :'(

    BalasHapus
  6. Innalillahi wa inna ilaihi roji'un, reminder bgt tulisannya mba :)

    BalasHapus
  7. Sama seperti yang saya alami jelang Ramadhan.. Dengar kabar meninggalnya salah satu sahabat :(

    BalasHapus
  8. Ya Allah, anugerahkan kami husnul khotimah.... amin...

    Terimakasih udah ngingetin ya kak..
    Salam kenal.

    BalasHapus

Hai, terima kasih sudah berkunjung dan membaca! Let's drop your comments ya. Insya Allah akan berkunjung balik :)