Disclaimer :
[1] Ini draft tahun lalu yang belum sempat rampung diselesaikan. Konon karena penulisnya lagi galau.
[2] Frase "dulu" dan "lagi" jangan dibalik. Karena esensinya akan lain.
[3] Dan hari ini, saat saya flashback setahun yang lalu, dimana ada detik yang saya ragukan bahkan takutkan, pada nyatanya saya bisa melaluinya dengan (cukup) baik.
Pernah melihat salah satu iklan di televisi gak yang adegannya orang tua nanyain anak perempuannya "Hayoooo, mau kuliah lagi, apa menikah dulu". Awalnya saya mengabaikan iklan tersebut, tetapi lama-lama kok saya mau ngaca sambil bilang "Gue bangeeeet, siiih". Tetapi sayangnya, jawaban yang diberikan di akhir iklan kok kurang nampol untuk diaplikasikan di dunia nyata. Atau mungkin yang namanya iklan adalah seindah sinetron ya.
Berkiblat dari Kegagalan
Impian untuk kuliah lagi sebenarnya sudah saya tulis besar-besar di atas kertas kuarto dan saya tempel di dinding kamar saya. Jadi, saat saya bangun, biar harapan saya tetap terjaga. Tahun 2012 awal, saya mengisi form beasiswa pertama saya. Dari mulai pemberkasan hingga pengisian online saya baca satu per satu. Pada waktu itu, ada salah satu kakak tingkat saya yang juga apply beasiswa yang proyeksinya menjadi dosen. Dan dia LOLOS. Usut punya usut, saya punya harapan juga untuk bisa lolos mengikuti jejaknya. Daftar udah, tes masuk udah, melengkapi pemberkasan udah. Dan, eng ing eng, ternyata pas di tahun saya, jurusan yang dibuka hanya untuk tenaga kependidikan. Aplikasi saya ditolak.
Saya masih galau. Mau melanjutkan atau enggak. Tetiba, saya dapat sms dari Mas Joko, "Mending kerja dulu, Wuk". Nyes. Tidak lama kemudian, ada telepon dari rumah. Bapak Ibu menanyakan bergantian tentang kabar. Padahal cuma Solo-Klaten, tetapi mereka berdua excited sekali untuk tahu saya lagi ngapain, atau seharian ngapain aja. Dari percakapan itu saya udah tahu arahnya kemana, beliau cuma pengen bilang "Yaudah Wuk, kerja saja dulu" tetapi dengan diksi yang dikemas sedemikian rupa. Oh iya, pada waktu itu, keluarga gak tahu kalau saya mengisi beasiswa dan ditolak,hoho. Itu lebih baik daripada saya memberitahu sejak awal, dan endingnya gagal. Karena saya tipikal yang malas menjelaskan.
Beberapa hari kemudian, Mas Joko dan keluarganya pulang untuk liburan. "Boleh ikut ke Jakarta, Mas?" saat ada persetujuan, akhirnya saya ikut juga ke Jakarta--welcome to the jungle. Status mahasiswa saya yang sudah purna berganti menjadi job seeker,ahaha.
Saya nebeng mobil Mas Joko ke kantor jika ada jobfair-jobfair. Dia sempat takjub sama peserta yang bejibun nyari kerja, karena dulu dia langsung lulus langsung kerja dan gak pake galau-galau mau kuliah lagi apa kawin dulu, ahaha, how lucky he is. Kalau saya udah selesai applying job, saya nyamperin ke kantornya. Test yang dilakukan perusahaan BUMN kan emang puanjang masanya. Nyesek itu kalau udah sampai tahap akhir setelah berbulan-bulan test, eh ternyata gak lolos. Sekali, dua kali, tiga kali dan beberapa kali gagal membuat saya sedikit gak percaya diri.
Embel-embel yang disematkan orang lain kepada saya, yang sayapun gak minta lho, makin membuat saya introvert. Masa iya segampang itu gak bisa sih? Masa iya, mereka bisa, kamu gak bisa? Saya mulai melakukan perlawanan yang pelik. Maksudnya, dulu saya sering dapet ini-itu, tapi kayaknya nge-goal in buat kerja sesuai yang diidamkan kok ya rasanya butuh effort lahir batin. Atau jiwa saya masih tertinggal untuk sekolah lagi? *eh*
Mungkin sinyal keintrovert-an saya tertangkap sama Mas Joko. Dan di suatu sore, kami ngobrol santai, dia curhat tentang pekerjaannya, saya menggendong Deandra yang waktu itu masih usia 5 bulan. Di sela percakapan kami, dia pernah bilang dan saya ingat betul, "Zero mind, Nduk. Lupakan apa yang kamu raih kemarin2, untuk ke depan yaudah dikosongkan saja biar enteng" Pokoknya intinya begitu. Bahasanya memang sebelas duabelas kayak Bapak, agak njlimet tapi saya mudheng maksudnya. Dan memang dari ketiga kakak lelaki saya, Mas Joko yang nyambung luar dalem kalo ngomongin apapun. Mau mbahas dunia, hayuk, mau mbahas tentang akhirat yang ala-ala sufi, hayuk aja.
Saya mulai berdamai. Yang sebelumnya kalau ditolak, trus mewek di bus atau kereta pas pulang, setelah berulangkali gagal, makin tabah, ehehe. Tahun 2012 memang menggembleng saya banget nget nget pokoknya. Banyak pelajaran yang membuat saya mengerti bahwa bahagia terselip dalam bagaimana kita mensyukuri hal-hal sederhana. Saya mengira bahwa saya telah gagal, tapi ternyata saya mendapatkan banyak hal. Itu kenapa saya juga deket banget secara emosional dengan Deandra. Di sela saya jadi jobseeker tahun 2012, Deandra yang menemani keseharian saya bahkan memenuhi lembar diary saya. Dari bangun tidur sampai tidur lagi, saya megang bergantian dengan Mamanya dan pengasuhnya. Dari Deandra saya tahu bagaimana membuat MPASI, apa macam-macam imunisasi, bagaimana kalau balita demam dan bagaimana penanganannya.
Self Healing
Saya menulis untuk diri saya sendiri. Saya menceritakan daily saya di kertas, buku atau word dan waktu itu belum akrab dengan blog, meskipun punya. Di akhir 2012, saya mulai berani (lagi) membuat semacam impian-impian yang dituangkan dalam tulisan seperti tahun sebelumnya. Dan tahun 2013 seperti repetisi dari tahun 2012. Saya melakukan self healing agar tidak takut untuk bermimpi, salah satunya sekolah lagi. Self healing yang saya coba atas kegagalan-kegagalan di 2013 adalah :
- Gak membuat pembandingan-pembandingan yang bikin langkah jadi berat banget. Just the way i am.
- Berani bermimpi lagi dan mengakumulasikan kegagalan sebagai pembelajaran.
- Jadi volunteer. Nah, entah bagaimana saya suka banget sama dunia sosial. Jadi saat banyak penolakan atau mengalami kegagalan, saya butuh pelarian. Dan ikut volunteer kegiatan sosial menjadi jawabannya. Kebetulan, di Jabodetabek banyak banget.
- Curhat. Ini penting banget buat self healing biar agak lega. Curhat sama Allah, of course. Curhat sama orang yang bikin kita comfort, tidak menghakimi, atau setidaknya mau mendengarkan juga bisa. Asal jangan curhat di medsos,ehehe.
- Do what you love. Saya mencoba-coba hal baru, biar apa? Ya, biar percaya lagi sama impian-impian yang saya buat. Melakukan yang saya suka tanpa memedulikan penilaian siapapun. And it's work
- Membaca buku. Untuk mengisi waktu luang, saya menjadi gila buku. Buku apapun yang biasanya saya ogah-ogahan atau gak selera untuk membacanya, saya bisa membaca sampai selesai dan endingnya bilang "Ooooh, ternyata begitu ceritanya".
Waktu menjadi penyembuh. Ungkapan itu sepertinya bukan isapan jempol. Dan saat berdamai dengan waktu, saya membangun rasa percaya pada diri saya yang sebelumnya pernah menguap *fyuh*
Jangan Meremehkan Impianmu
Tahun 2013, saya mulai produktif menulis, tetapi masih berujung di folder laptop. Saat menulis, saya seperti bercerita pada diri saya sendiri. Apa yang saya pengen, apa yang orang lain ekspektasikan pada saya, apa yang saya suka, apa yang saya capai dan segalanya saya tuliskan sebelum tidur.Awal tahun 2013 saya mulai diterima kerja dan linier dengan ilmu saya. Belajar dari nol sih, karena dunia kerja beda banget sama kuliahan. Bagaimana cara handling Klien, bagaimana nyelesein deadline kerja yang waktunya mepet, bagaimana membaur dengan orang-orang kantor. Selama 2,5 tahun saya belajar dunia kantoran, kereta yang alamak padatnya, dan hal-hal baru lainnya yang sampai sekarang saya sebut sebagai "proses" untuk impian saya yang tertunda.
Tahun 2014, saya ikut aplikasi beasiswa lagi, dan lagi-lagi ditolak. Bedanya,kalau sebelumnya saya nangis-nangis, kali ini cuma nyengir dan bilang "yaaah, gagal lagi". Enggak kapok, saya mulai upgrade bahasa inggris. Kalo ditanyain orang, apa yang pengen dicapai tahun ini, saya mantep bilang "Pengen sekolah lagi". Kenapa sih getol pengen sekolah? Yang nyinyirin banyak, tapi ya biarin aja. Toh gak bayar buat mimpi sekolah lagi. Atau mimpi mau ke Prancis, Korea, Mekkah, gak bayar kan? ehehe.
Nikah apa Kuliah?
Tahun demi tahun, umur saya nambah dong. Realistis juga niat pengen nikah. Tapi belum punya calon yang waktu itu gagah berani ngajakin "Nikah yuk?",ahaha. Saya sama sekali gak meremehkan impian saya. Di tahun 2015 setelah pergulatan batin yang panjaaaang, saya nyobain aplikasi beasiswa lagi. Sejak beberapa aplikasi beasiswa saya ditolak sebelumnya, akhirnya saya juga mendaftar kuliah untuk biaya mandiri. Jadi saya mendaftar di 2 universitas, 1 di Jakarta untuk aplikasi beasiswa dan 1 lagi di Solo untuk biaya mandiri. Untuk tes masuk, saya sudah diterima di kedua universitas tersebut. Tetapi sayangnya aplikasi beasiswa saya ditolak lagi, lagi dan lagi.
Pertanyaannya udah bukan nikah apa kuliah lagi, tapi saya mantap (campur galau juga sih) buat kuliah lagi, setelah sampai akhir 2015 belum ada Bang Thoyib yang ngelamar ke rumah. Saya mulai pamit dengan supervisor, tapi belum di approve. Dia mengira kalau saya mau pindah kerja, padahal memang mau sekolah. Saya mulai sounding pamit sama Mas Joko dan Mbak Era. Yang paling berat adalah pamit sama anak-anak.
"Emang kalo udah S2, nanti pengen jadi apa, Nduk? Dosen?" Mas Joko nanya trus jawab sendiri. Saya cuma mengangguk waktu itu. Entah karena malas menjelaskan atau karena memang benar-benar jawabannya itu.
"Mau ngapain S2 lagi, di umur kita begini, gak pengen nikah dulu?", aku pengeeen nikah, tapi pegimane mempelainya aja belum ada.
"Kalo kuliah lagi, kamu gak takut dijauhi sama cemceman. Gelarnya gak ketinggian?" gue no commen sama pertanyaan macem ginian, tapi ini fakta ada yang nanyain.
"Ngapain sih kuliah tinggi-tinggi kalo ujung2nya di dapur", again, gue diem gak mau nanggepin komentar beginian.
Masih ada beberapa yang komentar sinis sih. Makanya, saya enggan bercerita kalau gak ditanya. Asli bikin lelah. Makanya sering excited sama yang memutuskan sekolah lagi dan bisa lulus dari pertanyaan ini-itu, ehehe. Atau cuma saya yang pake drama kumbara? Ah, setiap orang memiliki fase sendiri-sendiri. Gak bisa disamarata.
Saat saya menuliskan ini, saya mencoba flash back pelan-pelan. Merunut satu per satu. Dan benar-benar menyadari bahwa skenario Allah itu sangat luar biasa. Mungkin duluuuuu, saya sesekali bertanya "Kok Allah gini amat sih sama saya", tapi memang begitu caraNya mendewasakan. Sebagus apapun rencana saya, kalo Allah gak ridho, mau jungkir balik juga gak bakalan bisa. Eh tapi ternyata saya disuruh belajar hal lain dulu. Doa saya yang dulu memang gak serta merta dikabulkan, hanya ditunda.
Sekarang saya semester 2. Tidak seberat yang saya pikirkan sebelumnya, "jangan-jangan" yang sempat menghantui berubah menjadi "apa saja yang bisa saya lakukan sekarang?". Selain saya dapat kuliah lagi, saya bisa merawat bapak ibu saya, menemani mereka untuk berikhtiar sehat. Bapak Maret lalu divonis TB Paru. Dan itu juga yang membuat saya bersyukur tidak berjauhan lagi. Maka nikmat mana yang kamu dustakan?
Dan setelah itu, pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya sempat mengganjal menguap seiring dengan berjalannya waktu. Apakah masih meragukan impianmu? Ah iya, sejatinya masa depan kita tidak bergantung dari komentar mereka, karena mau melakukan atau hanya berdiam diri, nantinya akan ada komentar juga.
Libatkan Allah....
Saat kamu merasa ragu, libatkan Allah. Jika kamu merasa putus asa terhadap impianmu, libatkan Allah. Dan saat orang lain mengecilkanmu, libatkan Allah untuk selalu menguatkan. Pun saya demikian.
Mau nikah atau kuliah dulu, setiap orang memiliki pertimbangan sendiri. Dan kalau galaunya gak ketulungan, trus gak punya teman curhat, Allah selalu ready :)))). Dalam hal ini, saya memilih kuliah dulu dan insya Allah doa untuk nikah juga deras selaluuuuuuuuu......
Thank you for everything Paaaaals :* |
Teman-teman punya mimpi yang daridulu belum kesampean? Yuk tulis di komentar saling mengaminkan :)