Featured Slider

PROBLEMATIKA PENGATURAN HUKUM ELECTORAL TRESHOLD DAN PARLEMENTARY TRESHOLD DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2008

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara demokrasi. Dasar Konstitusional dan fundamentalnya adalah Alenia IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menegaskan bahwa salah satu dasar negara berbunyi,”...kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan ”. Selanjutnya pasal 1 ayat (2) UUD 1945 pasca amandemen menegaskan bahwa “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Menurut Moh. Mahfud MD dari dua unsur konstitusional dan fundamental tersebut jelaslah bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi tidak dapat dibantah. Kata “kerakyatan” dan “kedaulatan ditangan rakyat” itulah menunjukkan demokrasi, artinya kekuasaan sepenuhnya ditangan rakyat (Moh. Mahfud MD,1993 : 116 ). Ciri sebagai negara demokrasi diwujudkan dengan adanya pemilihan umum (pemilu) sebagai jalan bagi terbentuknya pemerintahan baru yang akan menjalankan amanat rakyat mewujudkan cita nasional, kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehingga diharapkan pemerintahan yang terbentuk adalah pemerintahan rakyat yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Partai politik menjadi sarana bagi rakyat untuk mewujudkan cita negara demokratis. Melalui mekanisme pembentukan partai politik rakyat dapat menyalurkan dan memperjuangkan aspirasinya dalam pemerintahan. Kondisi Bangsa Indonesia yang majemuk mendorong munculnya berbagai partai politik di Indonesia terlebih di era reformasi ini negara sungguh telah memberikan jaminan konstitusional kepada warga negara untuk berserikat dan berkumpul termasuk membentuk partai politik sebagaimana tertuang dalam pasal 28 UUD 1945.

Pemilihan Umum didaulat sebagai sarana demokratis untuk seleksi kepemimpinan Negara. Mekanisme pemilihan umum akan menentukan bagaimana nantinya pemerintahan negara terbentuk. Perdebatan menarik dalam kerangka nasional dewasa ini rentang waktu pasca reformasi di Indonesia menjelang suksesi pemilu 2009 adalah upaya merumuskan kembali agenda untuk melanjutkan reformasi dibidang hukum dan politik, khususnya sistem pemilu dan pemerintahan yang ditujukan untuk memperkuat stabilitas dan meningkatkan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dalam upaya mengimplementasikan kebijakan-kebijakan pemerintah.

Persoalan yang kemudian mengemuka adalah Indonesia menganut sistem presidensial sedangkan mekanisme kepartaian menggunakan sistem multipartai. Kondisi ini dinilai oleh beberapa ahli mengakibatkan lemahnya stabilitas dan efektifitas pemerintahan akibatnya dipandang bahwa kebijakan – kebijakan pemerintah tersendat untuk dilaksanakan dan akhirnya berjalan tidak efektif. Lambatnya pengambilan keputusan di Dewan Perwakilan Rakyat karena fragmentasi yang kompleks kekuatan politik di parlemen maupun minimnya dukungan terhadap kebijakan presiden adalah contoh riil dari kondisi diatas.

Setelah gerakan reformasi mampu menumbangkan rezim otoritarian orde baru tepatnya pasca amandemen ke tiga UUD 1945 rakyat Indonesia dalam pemilihan Umum 2004 dapat secara langsung memilih presiden dan wakilnya. Pemilihan Presiden secara langsung pada dasarnya ditujukan untuk mendapatkan kepala negara dan pemerintahan yang memiliki legitimasi yang kuat karena didukung oleh mayoritas rakyat Indonesia. Namun ternyata persoalan lain yang muncul adalah presiden yang terpilih Susilo Bambang Yudhoyono bukan berasal dari partai politik yang memperoleh suara mayoritas dilegislatif . Yang terjadi kemudian adalah pemerintahan yang terbentuk tidak efektif, kuat dan stabil karena seringkali kebijakan yang diambil oleh Presiden tidak memperoleh dukungan dari legislatif sehingga menghambat berjalannya pengambilan keputusan penting dalam pemerintahan. Kondisi di Indonesia senada dengan Belanda, Akibatnya Pemerintahan yang berjalan dinilai tidak efektif dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan publik. Jumlah partai yang terlalu banyak dapat menimbulkan persoalan dalam efektifitas penyelenggaraan pemerintahan. Kelemahan sistem Multipartai adalah kesulitan dalam proses pengambilan keputusan di Belanda dimana pemerintahannya dikendalikan oleh koalisi multipartai terkadang memerlukan waktu sekian bulan untuk mencapai mufakat sesudah pemilihan umum (Muhammad Effendy, 2008 : 103). Presidensialisme di bawah kepemimpinan presiden yang berasal dari partai minoritas, kecenderungan bagi terjadinya jalan buntu di antara eksekutf-legislatif terbuka dengan cukup lebar. Dari 73 negara demokrasi di dunia, dalam rentang waktu 1946-1996, terdapat 61,5 persen dari minority presidents yang terbentur situasi jalan buntu (deadlock situations) (http://www.pdiperjuangan-denpasar.org).

Sistem presidensial yang tidak ditopang dengan sistem kepartaian yang baik yang terjadi kemudian adalah lemahnya legitimasi kekuasaan eksekutif dalam menjalankan fungsi pemerintahan karena didalam legislatif terpilih cenderung terdapat fragmentasi kekuasaan yang besar, tentunya ini bertentangan dengan prinsip presidensial yang ideal diterapkan. Kondisi demikian memunculkan adegium yang mengatakan bahwa di Indonesia yang dianut adalah sistem presidensiil dengan cita rasa parlementer. Amandemen UUD 1945 untuk kemudian berusaha mengukuhkan kembali sistem presidensiil dengan menyempurnakannya sesuai dengan cirinya yang asli. Tentunya dengan rekayasa perubahan undang – undang untuk mewujudkan cita penyederhanaan partai politik di indonesia melalui mekanisme yang demokratis. Konsep Electoral Threshold (ET) atau dikenal dengan ambang batas syarat perolehan suara untuk bisa mengikuti pemilu berikutnya, muncul dan digunakan untuk mewujudkan penyederhanaan partai di Indonesia artinya berapapun kursi yang diperoleh diparlemen , untuk dapat turut kembali dalam pemilihan umum berikutnya haruslah memenuhi angka ET. Jadi partai politik yang gagal memperoleh batasan suara minimal berarti gagal untuk mengikuti pemilu berikutnya. Pada Pemilu tahun 1999 Undang –Undang No.3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum menerapkan 2 % dari suara sah nasional. Hasilnya dalam Pemilu 2004 Partai yang dapat mengikuti Pemilu hanya 24 Partai dari sebelumnya 48 Partai dalam Pemilu 1999. Namun sayangnya pada pemilu 2009 meskipun batas ET telah ditingkatkan menjadi 3% dalam UU No.12 Tahun 2003 jumlah partai peserta pemilu yang harapannya tereduksi justru bertambah secara signifikan yakni menjadi 44 Partai Partai. Hal ini terjadi setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan mengabulkan gugatan uji materiil parpol tidak lolos electoral threshold. Pasal 316d UU 10/2008 tentang Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Ada tiga alasan yang mendasari putusan majelis hakim MK. Pasal 316d UU 10/2008 tidak jelas rasio logis dan konsistensinya sebagai pengaturan masa transisi, tidak memberikan perlakuan yang sama, dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Dan bahwa sejatinya parpol dalam Pemilu 2009 baik yang memenuhi UU 10/2008 tentang Pemilu maupun .
sembilan parpol yang ia maksud adalah parpol yang tidak memenuhi ketentuan electoral threshold tapi bebas verifkasi KPU dan karenanya otomotis ikut Pemilu 2009. Yakni PNI Marhaenisme, PPDI, PDS, PBR, PBB, PKPB, PDK, Partai Pelopor dan PKPI.Persoalan yang kemudian muncul adalah putusan MK tersebut muncul satu hari setelah KPU mengumumkan daftar calon peserta pemilu yang dianggap sah. Yaitu ada 34 parpol ternasuk didalamnya 9 parpol yang mengikuti karena diuntungkan pasal 316 huruf d. Hal ini mendorong parpol penggugat pasal 316 huruf d untuk kembali melayangkan protes ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), untuk membatalkan keputusan KPU mengenai daftar peserta pemilu 2009 dikarenakan alasan putusan MK
Nomor 12/PUU-VI/2008. Akhirnya putusan PTUN memenangkan sembilan partai penggugat untuk kemudian membatalkan keputusan KPU mengenai jumlah partai dan nomor urut peserta pemilu 2008. Sikap berbeda pernah ditunjukkan KPU. Sebelumnya KPU juga kalah menghadapi gugatan empat partai yakni Partai Merdeka, Partai Syarikat Indonesia, Partai Buruh, dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia. KPU langsung menindaklanjuti putusan PTUN Jakarta dengan mengikutsertakan keempat partai sebagai peserta Pemilu 2009. Sebab, posisi keempat partai memang sangat kuat setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan keikutsertaan partai Pemilu 2004 untuk Pemilu 2009.

Kasus tersebut menjadi problematika pelik karena menghambat upaya penyederhanaan partai politik yang sedianya dilaksanakan bertahap. Sebenarnya dalam penyempurnaan UU Pemilu 2008 sebelum disahkan, ET mendapat kritikan karena tidak dikenal dinegara manapun, dan dinilai menimbulkan anomali hal ini disampaikan oleh Sutradara Gintings dan Ryas Rasyid dalam pembahasan UU tersebut (Agun Gunanjar Sudarso, 2008 : 10). Kemudian muncul konsep untuk menghasilkan parlemen (DPR) yang efektif, EP yang artinya adalah ambang batas perolehan suara parpol untuk bisa masuk ke parlemen. Jadi, setelah hasil jumlah suara masing-masing parpol diketahui seluruhnya dan dibagi dengan jumlah suara nasional , maka dia berhak menempatkan wakilnya diparlemen tanpa mempermasalahkan berapa jumlah kursi hasil konvensi suara yang dimiliki partai politik tersebut. Keduanya diatur sejak penyelenggaraa pemilu 2003. Karya tulis ini hendak menganalisis, apakah problematika Hukum pengaturan ET dan PT dalam Undang-Undang No.10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berpegaruh secara hasil revisi atas UU No.12 Tahun 2003 mengatur upaya penyederhanaan sistem multipartai di indonesia melalui mekanisme ET dan EP, apakah desain konstitusionalnya telah sesuai dengan arah untuk mendukung pengukuhan sistem presidensiil di indonesia untuk membentuk parlemen yang efektif guna mewujudkan sistem presidensial yang efisien ditengah sistem multipartai di Indonesia. Berawal dari permasalahan tersebut, penulis tertarik mengkaji lebih mendalam dengan membuat karya tulis yang berjudul “PROBLEMATIKA PENGATURAN HUKUM ELECTORAL TRESHOLD DAN PARLEMENTARY TRESHOLD DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG UNDANG-UNDANG PEMILIHAN UMUM DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH”

B. RUMUSAN MASALAH

  1. Apakah problematika pengaturan hukum Electoral Threshold (ET) dan Parlementary Threshold (PT) dalam UU No.10 Tahun 2008 konsisten dengan upaya penyederhanaan partai politik guna mewujudkan pemerintahan presidensial yang efektif dalam sistem multipartai di Indonesia?
  2. Apakah akibat hukum problematika pengaturan hukum Electoral Threshold (ET) dan Parlementary Threshold (PT) dalam UU No.10 Tahun 2008 terhadap upaya penyederhanaan partai politik guna mewujudkan pemerintahan presidensial yang efektif dalam sistem multipartai di Indonesia.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Partai Politik

1. Pengertian Partai Politik

Menurut Miriam Budiardjo, partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama (Miriam Budiarjo,1991 :160). Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa dasar sosiologis suatu partai politik adalah sebuah ideologi dan kepentingan dari dibentuknya suatu partai politik adalah usaha-usaha untuk memperoleh kekuasaan.

2. Fungsi Partai Politik

Menurut Miriam Budiardjo, fungsi partai politik adalah :

a. Sebagai sarana komunikasi politik, partai politik berperan penting dalam upaya mengartikulasikan kepentingannya (interest articulation) atau political interest yang terdapat dalam masyarakat;

b. Sebagai sarana sosialisasi politik (political socialization), ide dan visi serta kebijakan yang menjadi pilihan partai politik dimasyarakatkan kepada konstituen untuk mendapatkan feedback berupa dukungan dari masyarakat luas;

c. Sebagai sarana rekruitmen politik (political recruitmen), partai politik berfungsi dan mengajak orang yang berbakat turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai;

d. Pengatur konflik (conflict management), di dalam suasana demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat merupakan persoalan yang wajar. Jika sampai terjadi konflik, partai politik yang bertugas mengatasinya (Jimly Asshiddiqie, 2006 : 159-163). Fungsi tersebut saling berkelindan satu dengan lainnya.

3. Sistem Kepartaian

Dalam kehidupan Politik ketatanegaraan suatu negara, pada prinsipnya dikenal adanya tiga sistem kepartaian :

a. Sistem partai tunggal (the single party system), istilah ini digunakan untuk partai politik yang benar-benar merupakan satu-satunya partai politik dalam suatu negara, maupun untuk partai politik yang mempunyai kedudukan dominan diantara partai politik lainnya;

b. Sistem dua partai (duo party system), dalam sistem ini partai politik dengan jelas dibagi ke dalam partai politik yang berkuasa (karena menang dalam pemilihan umum) dan partai oposisi (karena kalah dalam pemilihan umum);

c. Sistem banyak partai (multy party system), pada umumnya sistem kepartaian semua ini muncul karena adanya keanekaragaman sosial budaya dan politik yang terdapat di dalam suatu negara (Miriam Budiardjo, 1986. 167-169).

B. Tinjaun Umum tentang Demokrasi

Menurut Kamus Politik, demokrasi berasal dari dua kata Yunani, demos artinya rakyat dan kratos artinya pemerintahan. Prinsip yang mendasari ide demokrasi adalah konstitusionalisme, kedaulatan rakyat, aparat yang bertanggungjawab dan pemerintah yang berdasarkan undang-undang. Sedangkan menurut Kamus Hukum, demokrasi (democratie) berarti pemerintah kerakyatan, pemerintah oleh rakyat. Jadi, demokrasi adalah pemerintah dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.

Secara garis besar konsep demokrasi bukanlah suatu hal yang asing. Dalam konsep utama demokrasi posisi rakyat pada posisi pusat ”top position”, tetapi dalam prakteknya oleh UNESCO disimpulkan bahwa ide demokrasi dianggap ambigu mengenai lembaga atau cara yang dipakai untuk melaksanakan ide. Terbukti banyak negara menggunakan asas demokrasi, namun implementasi campur tangan rakyat dalam pemerintahan masih kuat, ada yang dominan tapi juga ada yang minoritas.

C. Tinjauan Umum tentang Sistem Pemerintahan Presidensiil

Sistem pemerintahan ini bertitik tolak dari konsep pemisahan kekuasaan sebagaimana dianjurkan oleh trias politika. Sistem ini menghendaki adanya pemisahan kekuasaan secara tegas, khususnya antara badan pemegang kekuasaan eksekutif dan badan pemegang kekuasaan legislatif. Ciri-ciri utama dari sistem ini adalah :

1. Kedudukan kepala negara (presiden) di samping sebagai kepala negara juga sebagai kepala eksekutif (Pemerintahan);

2. Presiden dan parlemen masing-masing dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Sehingga tidak mengherankan jikalau terjadi komposisi dimana presiden berasal dari suatu partai politik yang berbeda dari komposisi mayoritas partai politik yang ada di parlemen.;

3. Karena presiden dan parlemen dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum, maka kedudukan antara kedua lembaga ini tidak dapat saling mempengaruhi (menjatuhkan);

4. Kendati presiden tidak dapat diberhentikan oleh Parlemen di tengah-tengah masa jabatannya berlangsung, namun jikalau presiden melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum, maka presiden dapat dikenai impeachment (pengadilan DPR);

5. Dalam rangka menyusun kabinet (menteri), presiden wjib meminta persetujuan parlemen;

6. Menteri-menteri yang diangkat oleh presiden tunduk dan bertanggung jawab terhadap presiden (B. Hestu Cipto Handoyo, 2003 : 93-94).

D. Tinjauan Umum tentang Perkembangan Sistem Kepartaian di Indonesia

Dilihat dari sistem kepartaian yang berlaku sejak kemerdekaan Tahun 1945 sampai dengan pemilu tahun 1955, pengaturan sistem kepartaian mengarah kepada sistem banyak partai. Keadaan ini satu dan lain hal dikarenakan faktor historis, yaitu semangat untuk mengikut sertakan peran masyarakat dalam rangka mengisi kemerdekaan. Di bawah rezim orde lama, Presiden Soekarno melakukan kebijakan pembatasan terhadap keberadaan partai politik melalui Penpres No.7 Tahun 1959 yang memuat syarat-syarat dan penyederhanaan kepartaian. Kecenderungan untuk melakukan pembatasan jumlah partai di rezim orde lama ternyata diikuti oleh penguasa orde baru. Pemerintahan orde baru melakukan pembatasan jumlah partai politik secara bertahap. Di awal pemerintahan orde baru, partai politik yang dapat mengikuti pemilu berjumlah 9 (sembilan) partai politik ditambah dengan organisasi politik politik yang dikenal sebagai partainya pemerintah yaitu Golongan Karya (Golkar).

Menjelang pemilihan umum tahun 1977, barulah pemerintah melaksanakan kebijakan pembatasan jumlah partai dengan jalan yang tidak lazim, yaitu melalui aturan perundang-undangan. Model penyederhanaan partai politik yang dilakukan pemerintah orde baru dilihat dari konsep negara hukum jelaslah tidak sesuai dengan prinsip-prinsip negara demokrasi. Konsep negara hukum selalu mengedepankan adanya hak dan kebebasan warga masyarakat untuk berserikat dan berkumpul serta melaksanakan hak-hak politiknya. Pembatasan warga negara untuk bergabung dengan partai poliyik yang secara normatif disebut limitatif dalam peraturan perundang-undangan adalah bertentangan dengan prinsip negara hukum dan negara demokratis.

Langkah reformasi hukum bidang politik yang dilakukan Presiden B.J Habibie disampimg mengupayakan agar pemilu dapat berlangsung secara jujur dan adil serta demokratis sebagaimana asas-asas yang berlaku universal, serta perlunya ada dukungan dan partisipasi konkret masyarakat. Proaktifnya masyarakat dicerminkan dengan dibukanya kebebasan untuk mendirikan partai-partai politik baru di luar dua partai politik dan Golongan Karya yang sudah ada.

Pemerintah B.J Habibie telah melakukan serangkaian kebijakan yang secara sistematis dapat dijadikan fondasi kuat bagi bangsa Indonesia untuk menuju masyarakat demokratis. Sejumlah kebijakan reformasi bidang politik dimaksud antara lain terlihat pada :

1. Lahirnya Undang-Undang No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik

2. Lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum

3. Lahirnya Undang-Undang No. 4 Tahun 1999 tentang Susduk DPR/MPR dan DPRD dalam pelaksanaan tugas, wewenang dan haknya dan mngembangkan kemitraan dengan lembaga eksekutif dan legislatif (Muhammad Effendy, 2008 : 104).

Pada pemilu tahun 2004 peserta pemilu berkurang setengah dari jumlah partai politik pemilu 1999, yaitu 24 partai politik. Berkurangnya jumlah partai politik yang ikut serta dai dalam pemilu 2004 karena pada pemilu tersebut telah diberlakukan ambang batas (treshold). Ambang batas tersebut di Indonesia dikenal dengan nama Electoral Treshold. Di dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu diatur bahwa partai politik yang berhak untuk mengikuti pemilu berikutnya adalah partai politik yang mendapatkan sekurang-kurangnya 2% jumlah kursi DPR. Partai politik yang tidak mencapai ambang batas tersebut dapat mengikuti pemilu selanjutnya harus bergabung dengan partai lain atau memnetuk partai politik baru.


BAB III

PEMBAHASAN

A. Inkonsistensi UU No.10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Dengan Upaya Penyederhanaan Partai Politik Guna Mewujudkan Pemerintahan Presidensial Yang Efektif Dalam Sistem Multipartai Di Indonesia

Gagalnya Upaya Penyederhanaan Partai Politik melalui Electoral Threshold

Sistem Multipartai dimaksudkan untuk menjamin semua partai politik untuk dapat berpartisipasi dalam demokrasi seleksi kepemimpinan negara. Namun memang sistem Multipartai harus diimbagi dengan adanya pembatasan jumlah partai politik dalam pemilu. UU No.12 Tahun 2003 Tentang Pemilu menggunakan mekanisme elektoral threshold (ET) dengan semangat untuk mengurangi Jumlah partai politik disetiap tahapan pemilu berikutnya. Hal ini ditujukan untuk mendukung keberadaan sistem presidensiil di Indonesia, yang menghendaki adanya multipartai sederhana.

Model pembatasan tersebut diatas sejalan dengan format kepartaian yang akan dibangun kedepan, yaitu tetap dalam sistem multipartai namun secara bertahap menuju perkembangan sitem multipartai sederhana. Pemilu kedepan diharapkan akan diikuti oleh partai politik yang berjumlah sekitar 5 (lima) sampai dengan 10 partai politik, sehingga tidak membingungkan masyarakat dan dilain pihak terjadi kompetisi yang sehat antar partai politik dalam memperebutkan dukungan pemilih. Format Sistem Multipartai yang sederhana diharapkan pula akan mendukung sistem pemerintahan kita yang bercorak presidensial yang memungkinkan adanya partai politik yang mendapat dukungan mayoritas. Atau Koalisi beberapa partai politik yang mendapatkan dukungan mayoritas dari pemilih memudahkan dalam proses pengambilam keputusan dan pada gilirannya akan memperkuat posisi tawar dan kedudukan presiden selaku penyelenggara negara. Upaya ini telah dilaksanakan sejak tahun 1999 pada pemilu pertama yang menandai babak baru era reformasi (Mohammad Effendy,2008 : 106-107).

Pemilu Tahun 1999 Pemilu diikuti oleh 48 partai, hal ini jauh berbeda dari pemilu sebelumnya pada rezim otoriter orde baru dimana peserta pemilu hanya diikuti oleh tiga partai politik saja yaitu Golongan karya (GOLKAR), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Harapan penyederhanaan Partai Politik dalam setiap tahapan pemilu tercapai pada pemilu 2004 dari jumlah 48 partai pemilu yang mengikuti Pemilu 1999 mengkerucut menjadi 24 Partai saja. Karena dalam undang-undang pemilu memberikan syarat kompetitif melalui ET kepada peserta pemilu 1999 agar dapat tampil kembali dalam pemilu 2004. Dalam pengaturan UU No.12 Tahun 2003 Tentang Pemilu Pasal 9 yang mengatur mengenai model mekanisme penyederhanaan partai diwujudkan dalam pengaturan sebagaimana berikut:

1) Untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya Partai Politik Peserta Pemilu harus:

a. Memperoleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi di DPR.

b. Memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi di DPRD Propinsi yang tersebar di (setengah) jumlah propinsi diseluruh Indonesia atau,

c. Memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi di DPRD kabupaten / Kota yang tersebar di setengah jumlah Kabupaten / Kota seluruh Indonesia.

2) Partai Politik peserta Pemilu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana pasal (1) hanya dapat mengikuti pemilu berikutnya apabila :

a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); atau

b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau

c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan membentuk partai politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi

Ketentuan dalam pasal 9 UU No.12 Tahun 2003 itulah yang kemudian digunakan sebagai acuan ET untuk menentukan peserta pemilu tahun 2009 mendatang. Hasil perolehan suara pemilu 2004, dari 24 partai yang mengikuti pemilu hanya tujuh partai yang memenuhi ketentuan 3 % dan dapat lolos secara langsung mengikuti pemilu 2009, sementara sisanya 17 partai politik tidak dapat mengikuti pemilu 2009 kecuali bergabung dengan partai lain untuk memenuhi syarat 3%. Adapun tujuh partai yang memenuhi perolehan suara dan kursi partai di DPR RI pada pemilu 1999/2004 adalah Partai Golkar, PDIP, PPP, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa,dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Upaya Penyederhanaan Partai Politik Guna Mewujudkan Pemerintahan Presidensial Yang Efektif Dalam Sistem Multipartai Di Indonesia melalui ET yang diatur dalam Pasal 9 UU No.12 Tahun 2003 tentang Pemilu ini diprotes oleh beberapa partai kecil yang tidak memenuhi syarat untuk maju kedalam mekanisme pemilihan Umun 2004 yaitu melalui uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan dasar bahwa pembatasan melalui ET melanggar UUD 1945 khususnya terkait Hak Asasi Manusia yakni pasal 27 Ayat (1), Pasal 28, Pasal 28 C (2), Pasal 28 D ayat (1) dan (3), Pasal 28 E Ayat (3), Pasal 28 F, Pasal 28 H Ayat (2) dan Pasal 28 I Ayat 2. Namun akhirnya MK memutuskan tidak mengabulkan permohonan tersebut(Zainal Abidin, 2008 : 1993) Hal ini berbeda kelanjutannya dengan UU Pemilu terbaru yang justru bermasalah dengan keberadaan pasal yang mengatur upaya penyederhanaan partai melalui ET dan PT.

Berbeda dengan kegagalan langkah hukum yang dilakukan partai ditahun 2004. Ditahun 2008 beberapa partai berhasil untuk memperoleh kemenangan di MK bahkan setelah itu mendapatkan putusan PTUN yang memberikan kesempatan kepada 9 Partai Politik untuk maju dalam pemilu Yakni PNI Marhaenisme, PPDI, PDS, PBR, PBB, PKPB, PDK, Partai Pelopor dan PKPI.

Inkonsistensi UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum dalam Upaya Penyederhanaan Partai Politik di Indonesia

Ketentuan mengenai ET untuk mekanisme seleksi kompetitif dalam pemilu 2009 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.12 Tahun 2003 sudah seharusnya juga diterapkan dalam Pemilu 2009, namun kenyataannya UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum justru menyimpangi apa yang menjadi cita-cita UUD 1945 untuk mewujudkan harapan penyederhanaan partai pada pemilu 2009. Terbukti dengan bertambahnya jumlah partai politik dalam pemilihan umum 2009 secara signifikan dari yang sebelumnya hanya 24 Partai Peserta Pemilu menjadi 44 Partai Peserta pemilu.

Penyimpangan cita-cita penyederhanaan Partai ditengarai dari berubahnya prinsip mekanisme penyederhanaan partai melalui ET sebagaimana yang diatur didalam UU sebelumnya, adapun penyimpangan tersebut didasarkan kepada temuan mengenai dokumen Rancangan Undang-Undang hasil revisi UU No.12 Tahun 2003 seperti naskah akademis maupun daftar inventarisasi masalah saat pembahasan RUU Pemilu 2009 di DPR.

Berdasarkan Naskah Akademik versi Pemerintah penyempurnaan UU No.12 Tahun 2003 pada prinsipnya ditujukan untuk menciptakan keseimbangan antara pendalaman demokrasi (deepening democracy ) dengan pengembangan kepemimpinan yang efektif (effective governance). Agar tercapai keseimbangan tersebut harus dilakukan langkah-langakah regulasi yang salah satunya adalah melakukan penyederhanaan jumlah partai politik peserta Pemilu. Kebutuhan untuk menyederhanakan jumlah peserta pemilu adalah sangat penting sehingga ide tentang penyederhanaan partai politik kemudian diangkat dalam penyempurnaan UU No.12 Tahun 2003, yang antara lain diwujudkan dalam penentuan batas treshold bagi peserta pemilu secara wajar dan rasional. Adapun cakupan penyempurnaan UU No.12 Tahun 2003 salah satu agendanya adalah pengetatan persyaratan bagi peserta pemilu legislatif dalam rangka mengkondisikan sistem multipartau sederhana. Ruang lingkup agenda pengetatan persyaratan pemilu yang dapat dilakukan adalah:

  1. Memberlakukan persyaratan partai peserta pemilu sekurang-kurangnya 12 bulan sebelum pemilu diselenggarakan. Persyaratan ini diperlukan agar tersedia cukup waktu bagi calon peserta Pemilu memperluas jaringan organisasi serta dikenal masyarakat.
  2. Mempertahankan persyaratan ET bagi partai peserta pemilu legislatif berikutnya yang ditingkatkan bertahap, dari 3 persen untuk pemilu tahun 1999 menjadi 5 persen untuk pemilu 2014. Persyaratan 2 persen pada pemilu 2004 memang berhasil mengurangi jumlah partai peserta pemilu dari 48 partai peserta pemilu 1999 menjadi 24 saja pada pemilu 2004
  3. Partai yang tidak lolos ET dapat bergabung dengan partai yang lolos ET dan meleburkan diri, atau bergabung dengan partai-partai yang tidak lolos ET sehingga kemudian mampu memenuhi ET, kedua metode yang dimaksud sudah tercantun didalam Pasal 9 UU No.12 Tahun 2003.
  4. Menetapkan jumlah minimal anggota partai terdaftar sekurang-kurangnya 1/1.000 (seribu orang atau sekurang-kurangnya 1/1.000 ( Satu Mil)dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan ditingkat propinsi maupun ditingkat kabupaten yang dibuktikan dengan kepemilikan Kartu Tanda Anggota (KTA).

Dalam naskah akademis RUU Pemilu 2009 tersebut juga dinyatakan adanya kesadaran bahwa terdapat berbagai problematika UU No.12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum DPR,DPD,DPRD yang salah satunya adalah tidak konsistennya pelaksanaan ET dalam pelaksanaan pemilu sebelumnya.

Meskipun demikian pada akhirnya dalam pengesahan RUU Pemilihan Umum menjadi UU Pemilihan Umum yang kemudian menjadi UU No.10 Tahun 2008 muncul ketentuan baru yang tercantum dalam Pasal 316 poin (d) tentang diperbolehkannya partai peserta pemilihan umum yang tidak memenuhi persyaratan ET mengikuti pemilu 2009, dengan ketentuan memiliki kursi di DPR hasil pemilihan Umum 2004 . berikut adalah bunyi pasal 315 dan 316 UU No.10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum DPR,DPD, DPRD.

Pasal 315

Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPR atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar sekurangkurangnya di 1/2 (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia, atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah Pemilu tahun 2004.

Pasal 316

Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2004 yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 315 dapat mengikuti Pemilu tahun 2009 dengan ketentuan:

a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315; atau

b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau

c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 dengan membentuk partai politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau

d. memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004; atau

e. memenuhi persyaratan verifikasi oleh KPU untuk menjadi Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.

Ketentuan pasal 316 huruf d UU No.10 Tahun 2004 sejatinya merupakan pengingkaran terhadap cita-cita untuk mewujudkan sistem multipartai sederhana untuk melalui desain konstitusional. Pasal ini merupakan bentuk inkonsistensi dari semangat UU No.12 Tahun 2003 Pemilu sebelumnya yang menghendaki terwujudnya asa pengkrucutan partai politik dalam tahapan pemilu di Indonesia melalui mekanisme ET, akibat riil dari regulasi aneh ini tercermin dalam kondisi awal yang seharusnya partai peserta pemilu yang dapat langsung mengikuti pemilihan umum dari yang seharusnya hanya tujuh partai membengkak menjadi 16 partai politik, bertambah dengan sembilan partai yang dapat lolos meskipun tidak memenuhi ET antara lain Partai Bulan Bintang (PBB), PBR, PDS,PKPB, PKPI, PPDK, PNI Marhaenisme, Partai Pelopor dan PPDI. Hal ini didasarkan pada hasil putusan mahkamah konstitusi Nomor 12/PUU-VI/2008 yang mengabulkan gugatan 9 parpol diatas terhadap pengaturan pasal 316 d UU No.10 Tahun 2008. Kondisi ini pada akhirnya akan bermuara kepada dekadensi situasi terus terhambatnya upaya mewujudkan Pemerintahan Presidensial Yang Efektif dalam Sistem Multipartai Di Indonesia. Pada hakikatnya keberadaan pasal 316 huruf d UU No.10 Tahun 2008 adalah rumusan pasal bermasalah yang menggagalkan semangat penyederhanaanpartai politik.

B. Akibat Hukum Problematika Pengaturan Electoral Threshold (ET) dan Parlementary Threshold (PT) dalam UU No.10 Tahun 2008 terhadap upaya penyederhanaan partai politik.

Seperti pepatah karena nila setitik rusaklah susu sebelanga. Sekiranya pepatah tersebut tepat untuk menggambarkan keberadaan problematika pengaturan ET dan PT dalam UU No.10 Tahun 2008 Tentang Pemilu. Seperti dalam ulasan pembahasan diatas pasal 316 (d) meskipun singkat amun mengakibatkan berbagai persoalan yang mempersulit Komisi Pemilihan Umum dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penyelenggara pemilu dan tentunya ketika menilik kembali mengenai cita-cita besar yang terkandung dalam UU tersebut yaitu mewujudkan multipartai sederhana guna mendukung permerintahan presidensiil yang seharusnya diperjuangkan namun justru kandas oleh pengaturannya sendiri.

Adapun akibat hukum yang ditimbulkan dengan adanya pengaturan pasal bermasalah yaitu pasal 316 (d) UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu antara lain.

1. Gagalnya peran dan fungsi pengaturan ET dan EP dalam UU No.10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, DPRD untuk menyeleksi partai politik yang dapat tampil dalam pemilu 2009.

Kegagalan ini bukan berasal dari luar, melainkan kenaifan pembuat undang-undang untuk memasukkan pasal “terobosan”, yang mampu menyimpangi upaya pengaturan ET mereduksi secara demokratis jumlah partai di Pemilu 2009. Dengan demikian tidak berfungsilah konsep ET untuk mekanisme penyederhanaan partai politik.

2. Terhambatnya cita-cita besar UU Pemilu 1999 yang hendak mewujudkan penyederhanaan partai politik secara bertahap guna Mewujudkan Pemerintahan Presidensial Yang Efektif Dalam Sistem Multipartai Di Indonesia

Secara historis dan sosiologis UU No.10 Tahun 2008 merupakan produk undang-undang lanjutan dari UU No.3 Tahun 1999 dan UU No.12 Tahun 2003 yang ingin mewujudkan penyederhanaan partai politik secara bertahap dengan meningkatkan ambang batas atau ET dari setiap angkatan pemilu, namun memang cita-cita untuk penyederhanaan jumlah partai harus kembali disimpan untuk pemilu berikutnya.

3. Adanya pembatalan Keputusan KPU oleh PTUN

Mahkamah Agung (MA) sebenarnya telah mengeluarkan Surat Edaran MA (SEMA) No. 8 Tahun 2005. Isi SE MA itu menyatakan keputusan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) tak bisa dibawa ke Pengadilan TUN. Salah satu alasan dikeluarkan SEMA ini karena sebelumnya keputusan KPUD seputar pilkada sangat banyak yang dibawa ke PTUN, sehingga sempat menimbulkan banjir perkara. Namun hal ini memang tidak diatur dalam UU Pemilu terbaru sehingga kasus-kasus seperti ini terjadi dan berpotensi menghambat kinerja KPU.

4. Terhambatnya tugas KPU dalam pelaksanaan Pemilihan Umum khususnya untuk verifikasi partai politik peserta pemilu 2009

Dikarenakan problematika pasal 316 (d) UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu 2008 yang saat ini telah dibatalkan melalui putusan MK, KPU harus melakukan berbagai tindakan yang justru memperbanyak tugasnya dalam penyelenggaraan pemilu. Ditengah kesibukannya untuk mempersiapkan segala sesuatu menyangkut pelaksanaan pemilu 2008 yang sedianya akan dimulai dibulan april. KPU harus melakukan penyesuaian terhadap putusan MK yang membatalkan pasal “terobosan” 316 (d) UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu 2008, berurusan dengan Pengadilan PTUN menghadapi gugatan partai Republiku bahkan sampai dengan upaya hukum tertinggi akasasi. Dengan demikian bertambahlah tugas KPU untuk meladeni sengketa-sengketa, melakukan penyesuaian hasil sengketa yang terjadi karena satu pasal bermasalah.





Read More »