BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mencermati perkembangan kasus korupsi pajak yang melibatkan seorang pegawai Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak pada Kementerian Keuangan Gayus Halomoan Tambunan (Gayus) dengan para mafia pajak hampir mencapai titik klimaks. Namun belum tuntas penanganan kasus mafia kasus pajak yang membelitnya, Gayus kembali menghebohkan masyarakat. Dalam keadaan masih dalam status tahanan ia disinyalir meninggalkan tahanan polisi di rumah tahanan markas komando brigadir mobil (rutan mako brimob) Kelapa Dua, Depok, Jabar dan jalan-jalan ke Nusa Dua, Bali. Sebagaimana diberitakan pada Metrotvnews Kamis, 18 November 2010 pukul 21:05 WIB, pengakuan Gayus di depan persidangan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan mengungkapkan kelemahan yang terjadi pada penjagaan di rumah tahanan dan mungkin juga lembaga pemasyarakatan. Rumah tahanan tidak ubahnya seperti tempat penginapan yang dapat dengan mudah penghuninya keluar-masuk asal mau membayar. Sang kepala rutan bahkan mengakui bukan hanya Gayus yang diberi kemudahan. Ia juga pernah memberikan keleluasaan serupa bagi Wiliardi Wizar dan Susno Duadji (Tempo interaktif, 20 November 2010).
Dalam kondisi tertentu, tahanan maupun narapidana memang dapat keluar dari penjara.. Sebagaimana cakupan Pasal 45 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 1999 Tentang Syarat-Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas Dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan, tahanan dapat dikeluarkan sementara dari rutan/cabang rutan atau lapas/cabang lapas untuk keperluan : rekonstruksi, penyerahan berkas perkara dan barang bukti, persidangan, perawatan kesehatan, dan hal-hal luar biasa atas ijin dari pejabat yang bertanggung jawab secara yuridis.
Dengan demikiannya aturan yang ketat, maka ia harus mendapat izin dari jaksa dan hakim terkhusus buat tahanan yang sedang menjalani proses peradilan. Setidaknya Peraturan Pemerintah tersebut dijadikan sebagai alasan bagi terdakwa Gayus untuk mendapatkan hak dapat keluarnya sementara dari rutan. Namun dalam kasus ini terdakwa masih dalam status sebagai tahanan penuntut umum atau jaksa tidak mendapat restu dari jaksa yang menanganinya. Sehingga jalan pintas mampu diterobos oleh terdakwa dengan memberikan suap kepada petugas rutan yang notabene adalah aparat penegak hukum.
Penjara sejatinya tempat untuk menahan pelaku kejahatan agar jera. Namun, praktiknya tempat itu dapat menjadi ‘’istana’’ bagi sementara orang yang dapat menikmati fasilitas dan kemudahan di dalamnya dengan iming-iming materi (Joko Riyanto, Suara Merdeka. 12 November 2010). Oleh karena itu fasilitas selalu diidentikan dekat dengan uang dan kekuasaan. Tahanan atau terpidana yang tidak memiliki uang akan dijejalkan dalam ruang sempit dan tahanan atau terpidana yang memiliki uang maupun otoritas kekuasaan diberikan fasilitas penjara mewah adalah cerminan wajah diskriminatif penegakan hukum di Indonesia.
Dalam konstitusi Indonesia sendiri diatur secara jelas dalam Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Sehingga prinsip persamaan kedudukan manusia di depan hukum itu bukan hanya merupakan prinsip hukum yang mendasar, akan tetapi juga merupakan prinsip keadilan yang memang dijamin dalam konstitusi.
Berdasarkan fakta itu maka penjara adalah semu bagi Gayus. Dia seolah-olah berkuasa mengatur aparat penegak hukum. Kepergiannya saat menjalani masa penahanan di rutan memberi bukti lemahnya penegakan hukum (law enforcement ) di Indonesia. Sebuah kontradiksi dalam kehadiran hukum di masyarakat, ketika ide mulia bahwa hukum akan membawa kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia ternyata baru sebatas tulisan dan kosong dalam kenyataan. Hukum hanya berlaku bagi orang miskin, sementara orang berada dapat dengan seenaknya memperjualbelikan hukum dan keadilan itu.
Padahal apabila ditelisik perbuatan yang telah dilakukan, Gayus H Tambunan yang disangka melakukan korupsi, penggelapan dan pencucian uang dapat dikatakan telah berbuat kejahatan berat. Bahkan Denny Indrayana menyebutkan bahwa korupsi merupakan sumber segala bencana dan kejahatan. Ungkap beliau bahwa koruptor relatif lebih berbahaya dibandingkan teroris, Uang triliyunan rupiah milik negara yang dijarah seorang koruptor misalnya adalah biaya hidup dan mati ratusan juta penduduk miskin di Indonesia.( Denny Indrayana, 2008: 4).
Atas dasar pemikiran itulah muncul keprihatinan dari penulis terhadap penegakan hukum pidana terkait kasus Gayus H Tambunan sehingga kajian dan penulisan berupa gagasan hukum hukum progresif dalam rangka pemberantasan korupsi dengan maksud menekan laju korupsi menuju Indonesia yang berkeadilan dapat terwujud dan menjadikanya sangat urgen untuk dilakukan dengan menulisnya dalam bentuk karya tulis yang mengambil judul MENGGAGAS REFORMASI LAW ENFORCEMENT DENGAN PARADIGMA HUKUM PROGRESIF MENUJU KEADILAN KONSTITUSIONAL DI INDONESIA (STUDI KASUS PEMIDANAAN MAFIA PAJAK GAYUS TAMBUNAN).
B. Rumusan Masalah
Guna memberikan fokus terhadap permasalahan yang hendak dikaji dalam penelitian dimaksud, berikut adalah dua pokok pertanyaan yang coba digali jawabnya :
1. Bagaimanakah penegakan hukum pemidanaan terhadap mafia pajak Gayus H Tambunan?
2. Bagaimanakah solusi yang dapat dilakukan untuk menekan tingkat korupsi khususnya dalam perkara kasus Gayus?
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Teoritik
Menurut Romli Atmasasmita, hukum dan penegakan hukum dalam era reformasi tidak dapat dipisahkan dari perilaku politik elit penguasa (Romli Atmasasmita, 2001 : 54). Keterkaitan hukum dan penegak hukum dalam perilaku politik tersebut hanya dapat terjadi dalam suatu negara yang tidak demokratis dimana transparansi, supremasi hukum dikesampingkan.
Praktik penegakan hukum bukan merupakan sesuatu yang terjadi seketika terjadi, melainkan sebagai hasil interaksi dari proses sebab akibat dalam perspektif yang lebih luas. Penegakan hukum yang hanya mengandalkan prosedur formal, tanpa mengaitkannya secara langsung dengan spirit yang melatarbelakangi lahirnya kaidah-kaidah hukum, membuat proses penegakan hukum dengan cara mekanistik (Bambang Sutiyoso, Yogyakarta : 15). Padahal tuntutan hukum tidak hanya pada pelembagaan prosedur dan mekanismenya, melainkan juga pada penerapan nilai-nilai substantifnya.
Kaidah hukum secara tegas menyebutkan bahwa semua manusia mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality before the law). Hal ini berarti tidak ada perbedaan antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain di depan. Prinsip persamaan kedudukan manusia di hadapan hukum itu bukan hanya merupakan prinsip hukum yang paling mendasar, tetapi juga merupakan prinsip keadilan. hak untuk memperoleh keadilan merupakan salah satu hak dasar manusia, karena hak itu berhubungan langsung dengan harkat martabat manusia.
Salah satu agenda reformasi, terutama dalam bidang penegakan hukum (law enforcement) merupakan hal yang penting dan mendesak untuk dijalankan. Penegakan hukum yang dapat dilakukan dengan baik dan efektif merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan suatu negara dalam upaya mengangkat harkat dan martabat bangsanya dalam bidang hukum terutama dalam memberikan perlindungan hukum terhadap warganya. Pelbagai gugatan mainstream hukum akhir-akhir ini, seperti yang dilakukan beberapa kalangan reaksi terhadap keberadaan lembaga peradilan, yang dinilai hanya sebagai simbol keadilan. artinya, warga masyarakat menghendaki adanya perbaikan-perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan pengadilan kepada mereka. Mereka menginginkan lembaga peradilan dapat melakukan tugas dan wewenangnya secara mandiri, tanpa adanya campur tangan dari pihak luar. Karena jika tanpa adanya kebebasan dan kemandirian, tentunya menghasilkan putusan-putusan yang adil dan memenuhi harapan masyarakat.
Masalah penegakan hukum pada dasarnya merupakan kesenjangan antara hukum secara normatif (das sollen) dan hukum secara sosiologi (das sein) atau kesenjangan antar perilaku hukum masyarakat yang seharusnya dengan perilaku hukum masyarakat yang senyatanya (Bambang Sutiyoso : 2010 : 19). Penegakan hukum yang berjalan selama ini terkesan kuat masih berkutat dalam bentuk keadilan prosedural yang sangat menenkankan pada aspek regularitas dan penerapan formalitas legal semata. Sejalan dengan itu rekayasa hukum menjadi aroma yang cukup kuat dalam hampir setiap penegakan hukum di negeri ini. Keadilan substantif sebagai sumber keadilan prosedural masih bersifat konsep parsial dan belum menjangkau seutuhnya ide-ide dan realitas yang seharusnya menjadi bagian intrinsik dari konsep dan penegakan keadilan.
Akibatnya, penegakan hukum menjadi kurang atau bahkan tidak mampu menyelesaikan inti persoalan yang sebenarnya. Masyarakat yang tertindas sebagai subjek yang sangat memerlukan keadilan nyaris terabaikan sama sekali. Orang yang selama ini mengalami ketidakadilan, atau bahkan masyarakat yang secara keseluruhan kian jauh dari sentuhan rasa keadilan. bahkan, sering terjadi, atas nama keadilan, masyarakat pencari keadilan menjadi korban peneakan hukum formal. Realitas ini menjadikan penegakan keadilan berwajah ambivalen yang terkelupas dari nilai-nilai keadilan hakiki dan terkadang justru menyodok rasa keadilan itu sendiri.
Tidak mengherankan dalam praktek penegakan hukum yang terjadi acap kali dijumpai ketidakpuasan dan kekecewaan masyarakat dan para pencari keadilan terhadap kinerja peradilan yang dianggap tidak objektif, kurang menjaga integritas, dan bahkan kurang profesional. Produk keadilan yang berupa putusan hakim sering dianggap “controversial”, cenderung tidak dapat diterima oleh kalangan luas hukum serta tidak sejalan dengan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Dengan kata lain, putusan-putusan yang dijatuhkan dianggap tidak didasarkan pada pertimbangan hukum yang cermat dan komprehensif (onvoeldoende gemotiverd), tetapi hanya didasarkan pada silogisme yang dangkal dan mengkualifikasikan peristiwa hukumnya yang kemudian berdampak pula pada kostitusi hukumnya.
Salah satu penyebabnya adalah adanya korupsi peradilan (judicial corruption), yang lebih populer disebut dengan mafia peradilan, yaitu adanya konspirasi dalam penyalahgunaan wewenang diantara aparat keadilan untuk mempermainkan hukum demi keuntungan pribadi. Banyaknya intervensi dan tekanan pihak luar terhadap hakim, terkadang membuat kinerja hakim tidak lagi optimal, atau bahkan memilih sikap opportunitis.
Hukum pidana di Indonesia menunjukkan adanya suatu perbedaan dari hukum-hukum yang lain pada umumnya, yaitu bahwa di dalamnya orang mengenal adanya suatu kesengajaan untuk memberikan suatu akibat hukum berupa suatu bijzondere atau suatu penderitaan khusus dalam bentuk suatu hukuman kepada mereka yang telah melakukan suatu pelanggaran terhadap keharusan-keharusan atau larangan-larangan yang telah ditentukan di dalamnya (Lamintang, 1997 :16). Adanya penderitaan-penderitaan yang bersifat khusus dalam bentuk hukuman-hukuman seperti telah dijelaskan penulis, telah menyebabkan hukum pidana mendapatkan suatu tempat yang tersendiri di antara hukum-hukum yang lain, yang menurut para sarjana, hukum pidana itu hendaknya dipandang sebagai suatu ultimum remidium atau sebagai upaya terakhir untuk memperbaiki kelakuan manusia, dan wajarlah apabila orang menghendaki agar hukum pidana itu dalam penerapannya haruslah disertai dengan pembatasan-pembatasan yang seketat mungkin.
Peradilan adalah salah satu pelaksanaan hukum dalam hal terjadi tuntutan hak yang konkret melalui suatu putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga yang mandiri, bebas yang tidak dipengaruhi oleh lembaga itu sendiri. Terlepas dari itu, Gustav Radbruch mengemukakan bahwa putusan hakim yang ideal adalah putusan yang mengandung 3 aspek, yaitu : kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan (Igm Nurdjana, 2010 : 179).
Gagasan lain dikemukakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo yang mulai menggulirkan Hukum Progresif sejak tahun 2002, menyatakan bahwa Hukum yang Progresif menolak untuk mempertahankan status quo dalam hukum. Mempertahankan status quo berarti mempertahankan segalanya, dan hukum adalah tolak ukur untuk semuanya. Pandangan status quo itu sejalan dengan cara positivistik, normatif dan legalistik (http://www.huma.or.id). Implikasinya adalah, sekali undang-undang menyatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak dapat berbuat banyak, kecuali hukumnya dirubah terlebih dahulu. Secara ringkas beliau memberikan rumusan sederhana tentang hukum progresif, yaitu melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan.
Menambahkan pendapat Profesor Satjipto Rahardjo, Sudijono Sastroatmodjo menjelaskan perbedaan antara legalisme dan hukum progresif. Legalisme yang berpusat pada aturan, hukum progresif menawarkan jalan lain. Paradigma dibalik, kejujuran dan ketulusan menjadi mahkota penegakan hukum. Empati, kepedulian, dan dedikasi menghadirkan keadilan, menjadi roh penyelenggaraan hukum. Kepentingan manusia (kesejahteraan dan kebahagiaannya) menjadi titik orientasi dan tujuan akhir hukum. Para penegak hukum menjadi ujung tombak perubahan (Sudijono Sastroatmodjo, 2005 : volume 5).
Kekuatan hukum progresif akan mencari berbagai cara guna mematahkan kekuatan status quo. Ini adalah paradigma aksi, bukan peraturan. Dengan demikian, peraturan dan sistem bukan satu-satunya yang menentukan. Manusia masih bisa menolong keadaan buruk yang ditimbulkan oleh sistem yang ada. Di sini semangat memberikan keadilan kepada rakyat (bringing justice to the people) dirasakan amat kuat. Inilah yang menyebabkan munculnya sikap kritis terhadap sistem normatif yang ada. Hakim-hakim progresif biasanya bertindak berdasarkan semangat itu (http://www.huma.or.id).
Secara singkat dapat dikatakan bahwa kekuatan hukum progresif adalah kekuatan yang menolak dan ingin mematahkan keadaan status quo. Mempertahankan status quo adalah menerima normativitas dan sistem yang ada tanpa ada usaha untuk melihat aneka kelemahan di dalamnya lalu bertindak mengatasi. Hampir tidak ada usaha untuk melakukan perbaikan, yang ada hanya menjalankan hukum seperti apa adanya dan secara biasa-biasa saja (business as usual).
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin–doktrin hukum yang guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal ini sesuai dengan preskriptif ilmu hukum. Berbeda degan penelitian yang dilakukan di dalam keilmuwan yang bersifat deskriptif yang menguji kebenaran ada tidaknya sesuatu fakta disebabka oleh suatu faktor tertentu, penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai perskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Jika pada keilmuwan yang bersifat deskriptif jawaban yag diharapkan dalam penelilitian adalah true or false, jawaban yang diharapkan dalam penelitian hukum adalah right, appropriate, inappropriate, atau wrong. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hasil yang diperoleh didalam penelitian hukum sudah mengandung nilai(Peter Mahmud Marzuki, 2008 : 35).
Dalam penelitian ini yang ingin dikaji adalah reformasi penegakan hukum berbasis keadilan konstitusional dalam perspektif hukum progresif di indonesia (studi kasus pemidanaan mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan)
B. Pendekatan Penelitian
Penelitian hukum ini menggunakan Pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Menurut Peter Mahmud Marzuki, Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani (Peter Mahmud Marzuki, 2008 : 93). Pendekatan undang-undang ini akan membuka kesempatan bagi penulis untuk mempelajari adaanya konsistensi dan kesesuaian antara undang-undang satu dengan undang-undang yang lainnya atau antara undang-undang dengan Undang-Undang Dasar atau antara regulasi dan undang-undang. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi yang dalam hal ini adalah terkait reformasi penegakan hukum berbasis keadilan konstitusional dalam perspektif hukum progresif di indonesia (studi kasus pemidanaan mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan).
Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2008 : 95). Mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum maka diharapkan akan ditemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan reformasi penegakan hukum berbasis keadilan konstitusional dalam perspektif hukum progresif di indonesia (studi kasus pemidanaan mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan).
C. Bahan Hukum
Dalam penelitian ini yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Menurut Peter Mahmud Marzuki, bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-pusan hakim sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki, 2008 : 141). Yang menjadi bahan hukum dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
1. bahan hukum primer, meliputi :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
c. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
d. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
e. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 1999 Tentang Syarat-Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas Dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan
2. bahan hukum sekunder, meliputi : buku-buku teks, kamus-kamus hukum, dan jurnal-jurnal hukum
D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi dokumen (literature research) yaitu mengumpulkan data sekunder melalui identifikasi buku referensi dan media massa seperti koran, internet serta bahan lain yang masih ada hubungannya dengan penelitian ini. Kemudian melakukan analisis isi terhadap bahan hukum yang di kumpulkan yang bersangkutan dengan permasalahan penelitian selanjutnya dikonstruksikan secara sistematis sehingga menjadi data yang siap pakai.
E. Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis bahan hukum yang penulis gunakan adalah logika induktif. Penulis menjumpai suatu fakta tertentu yang disebut sebagai gejala. Berawal dari fakta atau gejala tersebut kemudian penulis mencoba mengabstraksikan dan mencari prinsip-prinsip terkait dengan fakta yang ada dengan kata lain, penulis mengabstrasikan fakta-fakta aktual menjadi fakta hukum.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Penegakan Hukum Pemidanaan terhadap Mafia Pajak Gayus H Tambunan
1. Kronologi Kasus Penegakan Hukum Terhadap Gayus H Tambunan
Sebelum terkuak kekayaan di media massa, Gayus Tambunan pernah berurusan dengan Pengadilan Negeri Tangerang dengan dakwaan melakukan tindak pidana korupsi, penggelapan dan pencucian uang. Namun dakwaan tersebut tidak berhasil menjeratnya ke penjara karena Hakim menilai jaksa penuntut umum gagal dalam menghadirkan alat bukti. Gayus Tambunan diputus bebas oleh Pengadilan Negeri Tangerang pada 12 Maret 2010. Ia hanya dijerat jaksa dengan hanya pasal penggelapan saja.
Ironi ketika seorang pegawai negeri di lingkungan Dirjen Pajak dengan perhitungan gaji renumerasi Rp. 12,1 juta perbulan tersebut diketahui mempunyai aset kekayaan mencapai lebih dari Rp.25 milliar dalam jangka waktu 10 tahun masa kerja, sehingga patut diduga bahwa aset tersebut adalah hasil dari tindak pidana, terlebih posisi jabatan strategis yang diemban semakin meyakinkan dengan adanya praktik haram. Terbukti, ketika hasil laporan dari PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) yang menyebutkan adanya transaksi tidak wajar dan mencurigakan pada rekening Gayus.
Berdasarkan hal ini maka sebenarnya dapat dijadikan dasar permulaan indikasi adanya upaya money laundering oleh Gayus H Tambunan yang patut diduga berasal dari hasil kejahatan lain (sifat extra ordinary crime) seperti korupsi, pencurian dan sebagainya. Namun Humas PN Tangerang Arthur Hangewa mengatakan,
Senin (22/3), kewenangan vonis ada di majelis hakim yang bersangkutan. Jaksa Nasran Azis memang menuntut Gayus hukuman satu tahun penjara dan satu tahun percobaan. Namun, dalam persidangan hakim menilai tuntutan jaksa tidak terbukti. Itulah sebabnya Gayus divonis bebas (PN Tangerang Vonis Bebas Gayus Tambunan, http://berita.liputan6.com diakses tanggal 22 November 2010).
Hal tersebut memang dibenarkan dari pihak Kejaksaan yang menyebutkan,
Hasil penelitian jaksa, hanya terdapat satu pasal yang terbukti terindikasi kejahatan dan dapat dilimpahkan ke Pengadilan, yaitu penggelapannya. Untuk korupsinya, terkait dana Rp.25 milliar itu tidak dapat dibuktikan sebab dalam penelitian ternyata uang sebesar itu merupakan produk perjanjian Gayus dengan Andi Kosasih. PPATK tidak dapat membuktikan transfer rekening tersebut yang diduga tindak pidana.
Berdasarkan keterangan tersebut jika dakwaan tidak dapat dibuktikan oleh penuntut umum, maka sah-sah saja jika Gayus divonis bebas dari jeratan hukum. Pada saat itu ekspetasi publiklah yang menggiring mereka untuk menghakimi Gayus. Hakim berkilah bahwa apa yang dijadikan pertimbangan keputusannya sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ketidakpuasan masyarakat terhadap putusan pengadilan negeri Tangerang menjadi wajar karena diduga terdapat praktik kotor penegak hukum di dalam memanfaatkan celah hukum. Terlebih dakwaan korupsi yang disangkakan kepada Gayus adalah kejahatan luar biasa, akibat perbuatanya tersebut dana yang seharusnya untuk pemenuhan hak-hak mereka dirampas dan hanya dinikmati seseorang atau sekelompok orang, yang pada hakikatnya bertitik tolak dari ketidaksesuaian antara keadilan yang tumbuh dalam perasaan hukum mayarakat dengan keadilan yang diberikan oleh hakim sebagai actor pengadilan.
Dugaan tersebut akhirnya menemui titik terang saat ditemukan bukti baru keterkaitan dengan indikasi adanya suap yang melibatkan oknum penegak hukum yang mempengaruhi pertimbangan vonis bebas Gayus. Diawali whistle blower yang dilakukan oleh Komisaris Jenderal Susno Duadji maka satu-persatu kasus ini mencapai titik terang, walaupun jasa besar beliau membongkar kebobrokan para penegak hukum malahan menjadi senjata makan tuan bagi dirinya. Anggota satuan tugas pemberantasan mafia hukum mengungkapkan bahwa mafia hukum di balik kasus Gayus Tambunan melibatkan aparat penegak hukum. Sebagaimana dikutip dari keterangan Achmad Santosa,
Indikasi itu dilihat dari sejumlah kejanggalan, mulai penyelidikan hingga vonis kasus tersebut. "Kejanggalan yang paling jelas adalah pembukaan pemblokiran yang didasari keterangan Andi Kosasih dan petunjuk jaksa serta kecurigaan mengenai kejanggalan karena, kepada Satuan Tugas, Gayus dikabarkan sempat mengakui memberikan para penegak hukum dan pengacara dengan sejumlah uang (Tak Cuma Jaksa-Polisi yang Kecipratan Duit Gayus Tambunan, http://www.tempointeraktif.com diakses tanggal 22 November 2010).
Sampai pada akhirnya kasus ini kembali diperkarakan oleh Kejaksaan dengan dakwaan korupsi dan pencucian uang. Namun belum sampai pada tingkat pemberian putusan, dalam status masih terdakwa gayus keluar dari rumah tahanan Mako Brimob sebagai tahanan titipan Jaksa Penuntut Umum. Gayus mengaku telah menyuap Kepala Rutan Mako Brimob Kompol Iwan Siswanto sekitar Rp 368 juta, plus menggaji semua penjaga rutan setiap bulannya. Mabes Polri sendiri mengakui, Iwan Siswanto mendapat uang dari Gayus dengan kisaran Rp 50-60 juta. Jika Iwan menerima Rp 50-60 juta, anggota lainnya menerima bervariasi. Jumlahnya tentu lebih kecil dari Karutan Brimob yaitu Rp 5-6 juta (beragam harga untuk keluar penjara, dalam http://www.detiknews.com diakses tanggal 21 November 2010).
Dengan mudah keluar masuknya dari rumah tahanan tersebut menandakan bahwa penjara bukanlah tempat yang menakutkan bagi Gayus. Hal demikian tersebut tentu bertolak belakang dengan tujuan adanya pemidanaan yang memberikan suatu akibat hukum berupa suatu bijzondore leed atau suatu penderitaan yang bersifat khusus dalam bentuk suatu hukuman kepada mereka yang telah melakukan suatu pelanggaran terhadap keharusan atau larangan – larangan yang telah ditentukan di dalamnya (PAF Lamintang, 1997: 16). Pendapat lain juga dikemukakan oleh Modderman yang menyatakan bahwa hukum pidana itu hendaknya dipandang sebagai ultimum remidium atau sebagai upaya yang harus dipergunakan sebagai upaya terakhir untuk memperbaiki kelakuan manusia. (PAF Lamintang, 1997: 17). Dari kedua konsep tujuan tersebut menunjukkan penerapan pemidanaan bagi Gayus Tambunan hanyalah sebatas materi saja. Penderitaan yang seharusnya diterima pun dapat dengan mudah ditukar dengan uang untuk mendapatkan fasilitas yang istimewa. Hal ini membuktikan bahwa asas ultimum remidium dalam hukum pidana tidak efektif untuk diterapkan.
Kelemahan dalam penegakan hukum terhadap kasus Gayus H Tambunan bukan hanya tergantung dari faktor regulasinya namun lebih penting dalam hal ini ialah penegak hukum. Walau sehebat apapun ketentuan peraturannya akan tetapi apabila penegak hukumnya buruk maka dapat dipastikan akan mempunyai ekses buruk pula terhadap penegakan hukumnya. Kondisi inilah yang acapkali dimanfaatkan oleh Gayus dan oknum-oknum mafia peradilan lainya untuk menerapkan selektivitas penegakan hukum yang pada akhirnya akan memunculkan rasa ketidakadilan bagi masyarakat kecil yang terjerat hukum.
2. Tahap Pemberian Putusan Hukuman
Peradilan merupakan singgasana bagi pelaksanaan hukum melalui penjatuhan putusan oleh suatu lembaga yang mandiri dan bebas dari pengaruh lembaga diluar lembaga itu sendiri. Menurut Gustav Radbruch mengemukakan ada tiga dasar dalam memutuskan perkara yang kemudian dikenal dengan ide des recht yaitu meliputi kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan.(IGM Nurdjana, 2010: 179). Ketiga prinsip tersebutlah yang dijadikan pegangan bagi hakim untuk menggali cita hukum pengenaan pemidanaan bagi Gayus Tambunan.
Prinsip pertama, kepastian hukum yang merupakan konsep perlindungan bagi terhukum dari tindakan sewenang-wenang. Maksudnya bahwa perbuatan yang dilakukan Gayus memang sudah diatur sebelumnya dalam ketentuan perundangan (asas legalitas), sehingga ada harapan bagi masyarakat adanya kepastian hukumnya.
Dalam hal ini maka harus ditemukan terlebih dahulu alasan yang digunakan oleh hakim pengadilan negeri Tangerang untuk memutuskan perkara Gayus mengenai pasal penggelapan yaitu Pasal 372 KUHP.
Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam, karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah. (Pasal 372 KUHP)
Menurut dakwaan yang diajukan kasus penggelapan tersebut berawal ketika sebuah perusahaan meminta bantuan Gayus agar mengurus persoalan pajak perusahaan tersebut. Gayus sempat menerima uang Rp 370 juta dari perusahaan itu. Belakangan Gayus diketahui tak pernah mengurusi pajak perusahaan itu hingga kemudian dilaporkan (PN Tangerang Vonis Bebas Gayus Tambunan, http://berita.liputan6.com diakses tanggal 22 November 2010).
Sehingga menyimak kesesuaian unsur pasal tersebut, maka sanksi pemidanaan yang relevan dikenakan kepada Gayus H Tambunan berkisar maksimal 4 tahun. Namun dalam persidangan hakim menilai tuntutan jaksa tidak terbukti. Itulah sebabnya Gayus divonis bebas.
Kejanggalan tersebut membawa Komisi Yudisial untuk menelaah kembali salinan putusan. Sampai pada akhirnya diketahui ada upaya memasukkan paksa pasal 372 KUHP dan mengurangi pasal korupsi dan pencucian uang oleh penyidik polri dan jaksa (Ubah Pasal Gayus Lewat Telepon, http://bataviase.co.id diakses tanggal 22 November 2010).
Belakangan ditemukan bukti baru setelah Komjen Susno Duaji (mantan Kepala Bagian Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia) mengaku curiga akibat mendapat laporan dari PPATK tentang transaksi tak wajar di rekening tabungan Gayus senilai Rp 25 miliar. Kecurigaan itu muncul karena Gayus hanya pegawai golongan III di Ditjen Pajak. Susno menilai dalam hal ini ada keterkaitan antara perpajakan, pencucian uang dan korupsi.
Jika apa yang kecurigaan Susno Duadji benar maka Gayus H Tambunan akan dihadapkan pada kejahatan extra ordinary crime. Oleh karena itu harus ada unsur-unsur kesalahan yang dituduhkan kepada Gayus H Tambunan sebagai indikator. Mengacu pada pandangan Simon, kesalahan merupakan adanya keadaan fisik yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa, sehingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tersebut. Dalam hal ini terdapat beberapa unsur yang dapat melengkapi sebuah perbuatan dikatakan mengandung unsur kesalahan, yaitu (1) melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum), (2) di atas umur tertentu untuk menjamin kemampuan bertanggung jawab, (3) mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan (dolus) maupun kealpaan (culpa), (4) tiadanya alasan pemaaf (Moelyatno, 1993: ).
Berdasarkan klasifikasi unsur kesalahan tersebut dapat peneliti gambarkan mengenai salah satu unsur kesalahan yaitu sifat perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh Gayus H Tambunan dalam tabel sebagai berikut.
UU No 20 Tahun 2001 Keterangan
Pasal 3 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Gayus H Tambunan selaku Pegawai Direktorat Jenderal Pajak seharusnya menolak menyetujui keberatan wajib pajak terkait Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN.) sehingga perbuatan melawan hukum yang dilakukan Gayus telah memperkaya orang lain atau suatu korporasi
(Ancaman Hukuman Gayus 20 Tahun Penjara, http://suaramerdeka.com diakses tanggal 21 November 2010)
Pasal 12a Pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima hadiah atau janji diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) Direktorat III Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Badan Reserse dan kriminal (Bareskrim) sedang berusaha mengusut dugaan korupsi yang dilakukan Gayus saat menjadi pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Meski belum ditemukan dari mana asal-muasal aset Rp74 miliar itu, Edward mengatakan penyidik telah menemukan asal-muasal aset Rp24,6 miliar yang ada di rekening Gayus sebelumnya. Namun, Mabes Polri belum dapat menyebutkan siapa saja pihak yang menyetor dana ke Gayus (hukumonline.com : Polri Sita Aset Gayus Sebesar Rp74 Miliar, diakses tanggal 20 November 2010).
UU No 25 Tahun 2003 Keterangan
Pasal 6 ayat (1) setiap orang yang menerima atau menguasai a).penempatan, b).pentransferan, c).pembayaran, d).hibah, e).sumbangan, f).penitipan, g).penukaran, harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah) Gayus disebut ceroboh karena menerima uang sebesar Rp 24,6 milliar melalui rekeningnya. Padahal, umumnya pemain yang sudah berpengalaman akan memilih untuk menerima uang tunai agar tidak mudah terlacak (Susno Tahu Siapa Sutradara Andi Kosasih,
http://bataviase.co.id/node/149778 diakses tanggal 21 november 2010).
Ahli Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Yenti Ganarsih menilai bahwa dana sebesar Rp 25 miliar yang masuk ke dalam rekening milik Gayus merupakan bentuk suap. Dana itu kemudian dialirkan entah kemana sebagai bentuk pencucian uang. (Kasus Gayus Tambunan Bukan Penggelapan Pajak, http://www.tempointeraktif.com diakses tanggal 21 November 2010).
Jika beberapa indikator adanya kesalahan ini penulis gunakan dalam menguji keterlibatan Gayus H Tambunan sebagai pegawai negeri sipil direktorat pajak, maka dapat ditunjukkan ketentuan hukum yang menyatakan bahwa Gayus Tambunan termasuk dari beberapa klasifikasi dari subyek yang mampu dipidanakan. Ketentuan pasal tersebut diatas menjadi asas legalitas terhadap Gayus H Tambunan sebagai pegawai negeri atau memiliki jabatan tertentu sebagai penyelenggara negara yang telah melakukan perbuatan delik korupsi dan delik pencucian uang.
Dengan demikian ketentuan Pasal 3 jo 12a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, menjadi landasan yang kokoh bagi pemberlakuan sanksi pidana bagi Gayus H Tambunan dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Prinsip kedua, yaitu kemanfaatan dari pelaksanaan atau penegakan hukum bagi masyarakat. Jika dugaan korupsi dan pencucian uang yang dituduhkan kepada Gayus terbukti, maka hasil penegakan hukum hendaknya dapat diambil manfaatnya bagi kepentingan masyarakat, mengingat korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang berdampak sangat buruk bagi kelangsungan perekonomian negara. Penegakan hukum korupsi janganlah dianggap sebatas pemberian sanksi yang diterapkan akan tetapi lebih pentingnya adalah bagaimana menyelamatkan kerugian keuangan negara akibatnya. Oleh karena itu pengembalian kerugian negara akibat perbuatan yang disangkakan kepada gayus harus sesuai dengan jumlahnya yaitu Rp. 25 Milliar (hak negara) atau disesuaikan dengan nilai berdasarkan dengan kondisi kekinian, sekaligus mempertanggung jawabkan kerugian sosial akibat perbuatanya tersebut.
Dalam Undang-Undang antikorupsi lama (Pasal 18 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971) sebenarnya diatur dalam kondisi tertentu kekayaan yang dimiliki oleh terdakwa yang tidak jelas asal-usulnya dan tidak seimbangnya dengan penghasilannya sebagai bagian dari korupsi. Sehingga setidaknya ada dasar untuk pengembalian harta yang tidak jelas asal-usulnya tersebut kepada negara. Namun dalam penggantinya Undang-Undang antikorupsi sekarang (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001) ternyata hal tersebut tidak diatur kembali. Hal ini membuat hasil korupsi hanya dapat dikenakan dalam dakwaan apabila suda diketahui berdasarkan pembuktian penyidik. Dengan sulitnya pengusahaan beban pembuktian tentunya sangat rawan bagi penegakan hukum karena membuka peluang lebar bagi penyidik untuk memanipulasi dalam memasukkan atau tidak tuntutan pengembalian aset hasil korupsi. Akibatnya banyak koruptor yang masih dapat menikmati hasil korupsi meskipun dia sudah bebas menjalani masa hukuman penjara. Dari segi pengaturan maka terjadi kemunduran dari sisi pengembalian kerugian terhadap negra.
Prinsip ketiga, yaitu putusan hakim yang berlandaskan keadilan yakni bersifat umum, sebanding atau setimpal dan tanpa membeda-bedakan. sebagai perbandingan kasus mbah minah yang mencuri sebiji kakao tidaklah harus sama putusannya dengan kasus penggelapan (mencuri setoran pajak) oleh Gayus walaupun tuduhan yang disangkakan hampir mirip. Dengan didakwa menggunakan Pasal 364 KUHP mengenai pencurian maka mbah minah divonis 1 tahun kurungan, walaupun pada akhirnya di vonis bebas dengan masa percobaan 3 bulan. Sebaliknya atas perbuatan yang dilakukan Gayus atas dakwaan penggelapan pasal 372 KUHP, Gayus melenggang dengan vonis bebas dan masa percobaan yang diberikan oleh hakim PN Tangerang. Apabila dibandingkan mencuri sebiji kakao yang dilakukan mbah minah tidaklah sebanding dengan mencuri setoran pajak (penggelapan) yang dilakukan Gayus maka tidaklah menggambarkan rasa keadilan.
Mencermati kedua kasus tersebut tampaknya dilema mengenai keadilan sedang menciderai negeri ini sepanjang hati nurani seorang hakim masih dibatasi pada norma tertulis yang berlaku. Oleh karena itu dibutuhkanlah hakim-hakim yang memiliki keberanian dan hati nurani dalam mengambil keputusan. Sebagaimana bunyi Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan “ Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat ”. Maka dapat diartikan bahwa seorang hakim harus mampu mengintepretasikan hakikat adanya sebuah peraturan, disamping hal tersebut tidak menciderai keadilan sosial. Demikian pula apabila dilihat dari kepala putusan bukanlah demi kepastian hukum melainkan kalimat berbunyi: “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Namun demikian keadilan harus ditegakkan dan menjadi titik tekan penegakan hukum tanpa mengabaikan kepastian hukum itu sendiri.
Dari bunyi pasal tersebut Thomas Aquinas mengemukakan bahwa esensi hukum adalah keadilan, oleh sebab itu hukum yang tidak adil bukanlah hukum (Bambang Sutiyoso, 2006: 152). Ditambahkan oleh H.L.A Hart mengemukakan:
Satu hal yang perlu diketahui, bahwa tekanan-tekanan sosial yang terjadi dibelakang suatu aturan (atau aturan-aturan) adalah merupakan faktor-faktor primer yang menentukan apakah aturan tersebut dapat dianggap sebagai hukum atau tidak. (Anthon F Susanto, 2004: 47).
Oleh sebab itu penilaian publik terhadap putusan bebas hakim PN Tangerang terhadap Gayus adalah bukti bahwa keadilan di tengah masyarakat yang terampas. Sehingga peran publik dalam hal ini adalah sebagai alat pengontrol penegakan hukum.
B. Gagasan Hukum Progresif Menuju Keadilan Konstitusional
Amburadulnya penyelenggaraan penegakan hukum di Indonesia mengakibatkan semakin meningkatnya pelanggaran hukum, dan rendahnya wibawa hukum di mata publik. Publik dipertontonkan pada kenyatan bahwa seorang Gayus mampu melecehkan penegakan hukum di mata masyarakat. Wacana reformasi hukum yang dijalankan sampai saat ini masih berkutat pada tataran teori praktis, namun belum menyentuh akar rumput masalah, sehingga tahap pencarian substansial berupa hakekat adanya hukum merupakan skala prioritas utama saat ini. Oleh karena itu menurut hemat peneliti, dibutuhkan upaya-upaya progresif untuk dapat keluar dari jeratan lingkaran setan penegakan hukum di Indonesia. Setidaknya terdapat 5 syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai unsur penegakan hukum meliputi instrumen hukumnya, aparat penegak hukumnya, peralatanya, masyarakatnya, dan birokrasinya (Bambang Sutiyoso, 2010:19).
Berikut beberapa gagasan hukum progresif reformasi law enforcement menuju keadilan konstitusional, meliputi
1. Menciptakan Hakim-Hakim Progresif
Menciptakan hakim-hakim progresif yakni upaya untuk melahirkan hakim-hakim yang menggunakan hati nurani mereka sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan. Demikian dikemukakan Satjipto Raharjo
mereka yang saat mengadili perkara, pertama-tama mendengarkan suara dan putusan hati nuraninya, baru kemudian mencari aturan hukum untuk menjadi landasan putusan nuraninya itu (Satjipto Raharjo, 2007: 93).
Hakim sebagai ujung tombak penegakan hukum, maka di tangan hakimlah kewibawaan hukum dipertaruhkan. Berpegang pada prinsip persamaan di muka hukum (equality before the law) maka hakim wajib menggali nilai-nilai keadilan yang ada pada masyarakat karena sejatinya keadilan itulah yang mendasari adanya Undang-Undang.
Sulit untuk dapat menimbulkan efek jera bagi seorang koruptor apabila hukuman relatif ringan. Apalagi dirasa sanksi pemidanaan dalam Undang-Undang tidak setimpal dengan perbuatan yang dilakukan. Hukuman yang jauh lebih rendah dari sanksi maksimal juga tidak akan dapat menimbulkan rasa takut bagi orang lain untuk melakukan korupsi. Pandangan mengenai hakim progresif tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Roberto M Unger yang menyatakan bahwa penalaran hukum dapat dikatakan memiliki tujuan apabila dalam penerapan aturanya tersebut mempertimbangan secara efektif untuk mencapai tujuan yang dihubungkan peraturan itu (Roberto M Unger,2008 :257).
Keluwesan hakim dalam menafsirkan undang-undang semata-mata hanya untuk mencari kemaslahatan bersama. Instrumen hukum hanyalah produk kekuasaan yang syarat kepentingan sehingga pemaksaan penerapan produk tersebut merupakan tindakan kesewenang-wenangan tanpa melihat nilai-nilai keadilan di dalamnya. Pembandingan kasus mbah minah dan kasus gayus adalah salah satu contoh diskrimanatif terhadap keadilan. Jikalau secara positif, pemberian keadilan melalui putusan pengadilan keduanya dapat dipahami dan dapat dimengerti karena secara eksplisit sudah diatur, pertanyaannya mengapa keadilan yang telah diberikan berdasarkan praktik peradilan secara prosedural formal masih tak dapat diterima oleh masyarakat ? pencarian jawaban itulah yang tidak dapat ditemukan dalam sebuah peraturan perundangan. Pemasalahan mengenai keadilan inilah yang perlu dicari dalam hati nurani seorang hakim.
2. Wacana Pemiskinan
Membangun paradigma hukum alternatif adalah lazim dan masuk akal jika kelompok-kelompok yang sebelumnya mengajukan kritik, kemudian berinisiatif menawarkan berbagai konsep dan strategi untuk “menyembuhkan“ penyakit hukum di Indonesia (HUMA, 2007: 110). Sehingga tawaran-tawaran konseptual yang diajukan akan sedikit banyak berbeda dari konsep negara yang kita anut dan merupakan alternatif terhadap konsep hukum negara. Seorang Gayus yang telah memiskinkan negara harus mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya yaitu wacana untuk pemiskinan Gayus. Gagasan yang sempat dilontarkan oleh Mahfud MD itu sangat relevan apabila dikenakan kepada Gayus. Belum efektifnya kegunaan rumah tahanan dalam memberikan efek jera bagi gayus, terlebih dengan kelihaian Gayus mengulangi perbuatanya dalam penjara dengan menyuap sejumlah uang kepada aparat penegak hukum membuktikan bahwa harus ada cara-cara preventif dalam penanganan kasus ini. Alasan lain juga belum efektifnya pengembalian kerugian negara akibat korupsi.
Sebagaimana dilansir banyak media, uang pengganti perkara korupsi yang ditangani kejaksaan yang sudah berkekuatan hukum tetap berdasarkan putusan pengadilan sepanjang 2007-Juni 2008 sebesar Rp 106,7 miliar dan USD 18 juta. Dari jumlah itu, baru Rp 2,081 miliar yang disetorkan ke kas negara, departemen, dan BUMN, dengan Rp 14,32 miliar diganti dengan hukuman pidana.( Model Ideal Pengembalian Aset Hasil Korupsi, http://antikorupsi.org diakses tanggal 23 November 2010).
Fakta tersebut mengindikasikan bahwa dalam tindak pidana korupsi, para koruptor lebih memilih tidak mengembalikan hasil korupsinya dengan risiko dipenjara sekalipun. karena kalkulasi keuntungan yang mereka lakukan akan lebih besar, sedangkan risiko yang akan mereka dapatkan diperhitungkan lebih kecil. Kalaupun mereka ketahuan melakukan tindak pidana korupsi, mereka tahu, hukuman yang akan didapatkan tidak seberapa dibanding keuntungan yang telah didapat. Ini yang melatarbelakangi banyak orang yang nekat melakukan korupsi itu.
Lemahnya pengaturan yang ada saat ini (UU No 20 Tahun 2001) memaksa dihadapkanya penyidik pada kesulitan-kesulitan dalam mengajukan pembuktian isi dakwaanya. Sehingga besar kecilnya pengembalian kerugian negara dipengaruhi kemampuan penyidik untuk mengungkap bukti-bukti yang diajukan. Berbeda halnya dengan pengaturan lama (UU No 3 Tahun 1971), pengaturan sekarang membuka peluang maraknya mafia pajak yang melibatkan penegak hukum dan terhukum. Beban pembuktian terbalik secara penuh yang diatur dalam instrumen lama (Pasal 6 UU No 3 Tahun 1971) mempersempit gerak terdakwa dalam upaya penghilangan barang bukti. Hal ini membuktikan bahwa peraturan sekarang kurang efektif dan cenderung mengalami penurunan dalam hal pengembalian kerugian.
Kondisi hukum seperti ini menjadi dasar gagasan penerapan pemiskinan bagi gayus. Sejalan dengan gagasan ini hari purwadi memandang upaya pemiskinan ini harus memperhatikan adanya rasionalitas taksonomi atau sistem klasifikasi tersangka maupun terdakwanya. Selain itu ditambahkan upaya pemiskinan ini dapat memanfaatkan pihak ketiga dalam tugasnya khususnya melaksanakan kalkulasi besar kecilnya kerugian keuangan negara.( Pemiskinan Pelaku Korupsi, Jawa Pos 22 November 2010). Menyikapi hal demikian konsep pemiskinan terkait kasus Gayus merupakan cara-cara luar biasa mengingat penggolongan korupsi sebagai kejahatan lintas batas (extra ordinary crime). Konsep ini hanya dipopulerkan hanya untuk menekankan pengembalian kerugian keuangan negara.
Adanya upaya penyitaan terhadap aset yang dikatakan tidak seimbang menjadi sangat penting dalam pembatasan pemanfatan uang oleh. Hal ini akan menutup kemungkinan adanya praktik-praktik suap dan kejahatan lain ketika tersangka atau terdakwa sedang menjalani persidangan seperti halnya kasus gayus. Oleh karena itu diperlukan adanya badan-badan semacam pemeriksa keuangan yang dimanfaatkan dalam melaksanakan penghitungan neraca akuntansi kerugian keuangan negara. Peran penyidik dan badan analis keuangan adalah kewenangannya dalam melakukan penyitaan aset harta kekayaan selama proses peradilan berlangsung.
3. Penjara Publicspace
Yaitu diciptakannya konsep rumah tahanan dikawasan umum bagi terpidana korupsi. Peran rumah tahanan dalam hal ini sebagai sarana pertanggungjawaban kepada masyarakat (social responsibility) yang secara tidak langsung telah terampas hak-haknya. Sanksi sosial ini sejalan dengan adagium hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Hukum bukanlah milik penguasa, tapi hukum milik masyarakat. Pengembalian terhukum kepada masyarakat adalah wujud adanya langkah-langkah penegakan hukum progresif. Idealitas penjara sebagai rumah tahanan pada hakekatnya meliputi unsur pembinaan supaya terpidana kembali diterima oleh masyarakat dan tidak mengulangi perbuatanya lagi. Diharapkan orang akan berpikir berkali-kali ketika akan melakukan perbuatan korupsi.
Konsep ini dapat dijalankan dengan cara membangun penjara di tempat-tempat umum dan strategis. Dengan tidak mengamputasi nilai-nilai hak asasi manusia dan perlindungan hukumnya, penjara progresif janganlah disamakan dengan tempat pengasingan. Penggambaran konsep penjara hendaknya dijauhkan dari kesan seram (kawat berduri, jeruji besi, tembok tebal) namun menarik perhatian masyarakat sehingga ada interaksi terpidana dengan masyarakat. Hubungan interaksi ini dapat diartikan sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial.
BAB V
PENUTUP
Berdasarkan berbagai hal yang telah peneliti uraikan dalam bab-bab terdahulu, maka pada bagian akhir penelitian ini, dapat ditarik beberapa hal penting yang menjadi kesimpulan dan rekomendasi dari penelitian ini.
A. Kesimpulan
1. Penegakan hukum pemidanaan terhadap mafia pajak Gayus masih banyak kelemahan. Instrumen hukum berupa peraturan perundangan yang digunakan untuk menjerat Gayus mempunyai sanksi pidana yang tidak sebanding dengan perbuatanya. Selain itu diperlihatkan dengan adanya mafia peradilan yang membentengi Gayus mengakibatkan instrumen tersebut semakin menambah ketidakefektifan hukum dalam menjerat Gayus. Praktik kotor perselingkuhan penegak hukum dalam proses penyidikan, rekayasa dakwaan, putusan pengadilan yang kurang memperhatikan asas-asas hukum, sampai dengan perginya tahanan Gayus dari rumah tahanan menandakan bahwa penegakan hukum bagi Gayus jauh dari cita hukum. Terlebih dengan adanya praktik suap yang dilakukan Gayus kepada aparat penegak hukum semakin memperlihatkan bahwa hukum yang dapat dikomersilkan. Diskriminasi-diskriminasi inilah yang mengakibatkan rendahnya kewibawaan hukum di masyarakat yaitu hukum yang tidak bisa dipisahkan dengan uang dan kekuasaan.
2. Gagasan terhadap reformasi penegakan hukum (law enforcement) muncul akibat dari contoh buruknya penegakan hukum di Indonesia. Dengan demikian buruknya penegakan hukum yang terjadi, memberikan solusi berupa gagasan-gagasan progresif berkaitan dengan permasalahan tersebut merupakan hal yang urgen untuk dilakukan. Menurut hemat peneliti, sedikitnya mencakup tiga gagasan prograsif yang dapat ditempuh dalam mengatasi permasalahan penegakan hukum, yaitu menciptakan hakim progresif, mewacanakan pemisikinan, dan menciptakan penjara publicspace. Menciptakan hakim progresif dalam hal ini adalah hakim yang menggunakan hati nurani mereka untuk sebagai pertimbangan untuk mengadili.keluwesan hakim untuk menafsirkan peraturan perundangan semata-mata hanyalah untuk kemaslahatan masyarakat. Mewacanakan pemiskinan dalam hal ini merupakan upaya pembatasan pemanfataan aset harta oleh Gayus dengan melakukan penyitaan. Menciptakan konsep penjara publicspace merupakan bentuk pertanggungjawaban terhukum dengan masyarakat (social responsibility).
B. Rekomendasi
1. Mengoptimalkan peran pendidikan hukum sebagai salah satu lembaga tinggi pendidikan yang memproduksi lulusan yang kemudian berkiprah di dunia hukum;
2. Pemerintah sebagai penyelenggara pemerintahan dapat mempertimbangkan gagasan-gagasan dari peneliti sebagai langkah kongkret dalam mereformasi law enforcment terkait kasus mafia peradilan di Indonesia.
Featured Slider
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar
Hai, terima kasih sudah berkunjung dan membaca! Let's drop your comments ya. Insya Allah akan berkunjung balik :)