Featured Slider

Model Segitiga Koordinasi sebagai Upaya Mewujudkan Sinergisme Perlindungan Konsumen yang Handal

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam era industrialisasi, pertumbuhan industri merupakan salah satu indikator kemajuan suatu negara. Untuk menumbuhkan iklim usaha yang kondusif bagi perkembangan industri maka tingginya angka pertumbuhan industri harus diimbangi dengan perngawasan dan perlindungan terhadap konsumen.
Salah satu tujuan penyelenggaraan Negara Indonesia sebagaimana termaktum dalam Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sebagai komitmen untuk mewujudkannya, pada tahun 1999 pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah mengatur perlindungan konsumen sebagai langkah progresif untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap konsumen atau pelaku usaha dari perilaku bisnis yang tidak sehat dan cenderung merugikan konsumen maupun pelaku usaha.
Berdasarkan Ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Artinya, perlindungan konsumen berfokus pada usaha meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri, mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan jasa, meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen (http://www.pontianakpost.com/?mib=berita.detail&id=10658).
Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 cukup representatif untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Selain mengatur upaya menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi juga menjamin hak-hak konsumen untuk mendapatkan informasi. Akan tetapi realita di masyarakat jaminan perlindungan yang diberikan oleh pemerintah belum terealisasi dengan maksimal.
Maraknya peredaran produk-produk, seperti susu, kosmetik, makanan ringan, obat tradisional (jamu), dan produk-produk makanan lain yang mengandung bahan-bahan berbahaya seperti silikon, melamin, borax, dan lain-lain merupakan bukti bahwa jaminan perlindungan yang diberikan oleh pemerintah melaui UU No 8 tahun 1999 belum diimbangi dengan mekanisme pengawasan yang baik.
Di Indonesia, perlindungan terhadap konsumen diantaranya dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan dan Departemen Kesehatan. Pada awalnya Badan Pengawas Obat dan Makanan merupakan badan dibawah Departemen Kesehatan yang bertanggung jawab terhadap Menteri Kesehatan. Akan tetapi karena dianggap memiliki peran yang strategis dalam upaya perlindungan terhadap konsumen maka saat ini kedudukan Badan Pengawas Obat dan Makanan adalah sebagai lembaga independen yang bertanggung jawab secara langsung terhadap Presiden, terpisah dari Departemen Kesehatan.
Pasca terpisah dari departemen kesehatan, upaya perlindungan konsumen yang dilakukan menjadi lemah dan kurang menjamin kepastian hukum. Tumpang-tindih kewenangan antara Departeman Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan bermuara pada pengabaian dan pelanggaran hak-hak konsumen. Badan Pengawas Obat dan Makanan sebagai lembaga pengawas justru tidak fokus pada kegiatan pengawasan yang seharusnya merupakan tugas utamanya.
Jika dikaji secara normatif, tumpang tindih kewenangan terjadi karena belum adanaya produk hokum yang mengatur secara jelas mengenai tugas pokok dan fungsi keduanya. Dalam Pasal 41 huruf u angka 2 Keputusan Presiden Nomor 102 Tahun 2001 tentang kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi, dan tata kerja departemen ditegaskan bahwa Departemen Kesehatan merupakan pihak yang berwenang untuk memberikan ijin dan pembinaan produksi. Akan tetapi dalam ketentuan Pasal 69 huruf e Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2005 tentang perubahan keenam atas Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen.juga ditegaskan bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan merupakan pihak yang berwenang untuk memberikan izin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan industri farmasi.
Dualisme dalam perolehan izin atas produk obat dan sediaan farmasi atau makanan merupakan salah satu permasalahan yang timbul dari tidak jelasnya pembagian kewenangan antara Badan Pengawas Obat dan Makanan dan Departemen Kesehatan. Beberapa produsen mendaftarkan produknya kepada pemerintah melalui Departemen Kesehatan, sebagian ke Badan Pengawas Obat dan Makanan. Hal Ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan kebingungan pada produsen maupun konsumen.
Tumpang tindih kewenangan akan berdampak pada rendahnya upaya pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan dan Departemen Kesehatan sehingga kontrol terhadap peredaran produk-produk yang berbahaya di masyarakat lemah. Terlebih peran aparat penegak hokum dalam upaya penegakan hukum perlindungan konsumen di Indonesia masih lemah. Perkara-perkara pelanggaran atau pengabaian hak konsumen masih banyak yang tidak diselesaikan melalui jalur hukum. Padahal perkara pelanggaran hak konsumen merupakan perkara pidana yang seharusnya diselesaikan dengan jalur litigasi.
Berlatar belakang dari hal tersebut maka penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan tersebut secara lebih mendalam melalui karya tulis yang berjudul: Model Segitiga Koordinasi sebagai Upaya Mewujudkan Sinergisme Perlindungan Konsumen yang Handal (Studi terhadap Peran Badan Pengawas Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan, dan Aparat Penegak Hukum).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana model segitiga koordinasi antara badan pengawas obat dan makanan, departemen kesehatan, aparat penegak hukum sebagai upaya mewujudkan sinergisme perlindungan konsumen yang handal?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengatahui model segitiga koordinasi antara badan pengawas obat dan makanan, departemen kesehatan, aparat penegak hukum sebagai upaya mewujudkan sinergisme perlindungan konsumen yang handal.

D. Manfaat Penelitian
1. Menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang berwenang dalam pembangunan hukum nasional di bidang perlindungan konsumen.
2. Menambah referensi keilmiahan bagi pihak-pihak yang concern terhadap perlindungan konsumen.







BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


A. Tinjauan Tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan
Badan Pengawas Obat dan Makanan atau disingkat dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan merupakan Lembaga Negara Non Departemen dimana dalam melaksanakan tugasnya dikoordinasikan dengan Menteri Kesehatan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal I Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2005 tentang Perubahan Keenam Atas Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen (http://209.85.173.132/search?q=cache:hCvnhqaevRsJ:www.sinarharapan.co.id/berita/0605/23/opi02.html+wewenang+departemen+kesehatan&cd=4&hl=en&ct=clnk&gl=id&client=firefox-a).

Salah satu misi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan yaitu melindungi kesehatan masyarakat dari risiko peredaran produk terapetik, obat tradisional, produk komplemen dan kosmetik yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan khasiat/kemanfaatan serta produk pangan yang tidak aman dan tidak layak dikonsumsi. Dari salah satu misi yang diemban oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan tersebut diatas selanjutnya perlu diketahui mengenai fungsi Badan Pengawas Obat dan Makanan antara lain sebagai berikut:
1. Pengaturan, regulasi, dan standardisasi;
2. Lisensi dan sertifikasi industri di bidang farmasi berdasarkan cara-cara Produksi yang Baik;
3. Evaluasi produk sebelum diizinkan beredar;
4. Post marketing vigilance termasuk sampling dan pengujian laboratorium, pemeriksaan sarana produksi dan distribusi, penyidikan dan penegakan hukum;
5. Pre-audit dan pasca-audit iklan dan promosi produk;
6. Riset terhadap pelaksanaan kebijakan pengawasan obat dan makanan;
7. Komunikasi, informasi dan edukasi publik termasuk peringatan publik.

Dalam melaksanakan fungsinya, Badan Pengawas Obat dan Makanan tentunya juga mempunyai tujuan atau dengan kata lain Badan Pengawas Obat dan Makanan mempunyai target kinerja yang hendak dicapai sehingga dapat mewujudkan misi-misinya. Adapun target kinerja Badan Pengawas Obat dan Makanan adalah sebagai berikut :
1. Terkendalinya penyaluran produk terapetik dan NAPZA;
2. Terkendalinya mutu, keamanan dan khasiat/kemanfaatan produk obat dan makanan termasuk klim pada label dan iklan di peredaran;
3. Tercegahnya risiko penggunaan bahan kimia berbahaya sebagai akibat pengelolaan yang tidak memenuhi syarat;
4. Penurunan kasus pencemaran pangan;
5. Peningkatan kapasitas organisasi yang didukung dengan kompetensi dan keterampilan personil yang memadai;
6. Terwujudnya komunikasi yang efektif dan saling menghargai antar sesama dan pihak terkait.

Badan Pengawas Obat dan Makanan mempunyai unit pelayanan teknis yang berada di tingkat provinsi yang disebut Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM). BBPOM mempunyai beberapa bidang, salah satunya yaitu bidang pemeriksaan dan penyidikan. Oleh karena itu, penyidik pegawai negeri sipil di BBPOM dalam menjalankan tugasnya berada dalam lingkup bidang tersebut. Secara umum tugas bidang pemeriksaan dan penyidikan meliputi :
1. Penyusunan rencana dan program pemeriksaan dan penyidikan obat dan makanan.
2. Pelaksanaan pemeriksaan setempat, pengambilan contoh dan pemeriksaan sarana produksi, distribusi dan instansi kesehatan di bidang produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain, obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen.
3. Pelaksanaan pemeriksaan setempat, pengambilan contoh dan pemeriksaan sarana produksi dan distribusi di bidang pangan dan bahan berbahaya.
4. Pelaksanaan penyidikan kasus pelanggaran hukum
5. Evaluasi dan penyusunan laporan pemeriksaan dan penyidikan obat dan makanan.

B. Tinjauan Umum tentang Departemen Kesehatan
Departemen Kesehatan mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang kesehatan (http://www.depkes.go.id/index.php?option=displaypage&Itemid=69&op=page&SubMenu=). Dalam melaksanakan tugas, Departemen Kesehatan menyelenggarakan fungsi :
1. perumusan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan dan kebijakan teknis di bidang kesehatan;
2. pelaksanaan urusan pemerintahan sesuai dengan bidang tugasnya;
3. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya;
4. pengawasan atas pelaksanaan tugasnya;
5. penyampaian laporan hasil evaluasi, saran dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsinya kepada Presiden.
Dalam menyelenggarakan fungsi, Departemen Kesehatan mempunyai kewenangan :
1. penetapan kebijakan nasional di bidang kesehatan untuk mendukung pembangunan secara makro;
2. penetapan pedoman untuk menetukan standar pelayanan minimal yang wajib dilaksanakan oleh kabupaten/Kota di bidang Kesehatan;
3. penyusunan rencana nasional secara makro di bidang kesehatan;
4. penetapan persyaratan akreditasi lembaga pendidikan dan sertifikasi tenaga professional/ahli serta persyaratan jabatan di bidang kesehatan;
5. pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah yang meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan dan supervisi di bidang kesehatan;
6. pengaturan penerapan perjanjian atau persetujuan internasional yang disahkan atas nama Negara di bidang kesehatan;
7. penetapan standar pemberian izin oleh daerah di bidang kesehatan;
8. penanggulangan wabah dan bencana yang berskala nasional di bidang kesehatan;
9. penetapan kebijakan sistem informasi nasional di bidang kesehatan;
10. penetapan persyaratan kualifikasi usaha jasa di bidang kesehatan;
11. penyelesaian perselisihan antar Propinsi di bidang kesehatan;
12. penetapan kebijakan pengendalian angka kelahiran dan penurunan angka kematian ibu, bayi, dan anak;
13. penetapan kebijakan sistem jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat;
14. penetapan pedoman standar pendidikan dan pendayagunaan tenaga kesehatan;
15. penetapan pedoman pembiayaan pelayanan kesehatan;
16. penetapan pedoman penapisan, pengembangan dan penerapan teknologi kesehatan dan standar etika penelitian kesehatan;
17. penetapan standar nilai gizi dan pedoman sertifikasi teknologi kesehatan dan gizi;
18. penetapan standar akreditasi sarana dan prasarana kesehatan;
19. surveilans epidemiologi serta pengaturan pemberantasan dan penenggulangan wabah, penyakit menular dan kejadian luar biasa;
20. penyediaan obat esensial tertentu dan obat untuk pelayanan kesehatan dasar sangat essential (buffer stock nasional);
21. kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu :
a) penempatan dan pemindahan tenaga kesehatan tertentu;
b) pemberian izin dan pembinaan produksi dan distribusi alat kesehatan
C. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Konsumen
1. Pengertian Konsumen
Ruang lingkup hukum perlindungan konsumen sulit dibatasi hanya dengan menampungnya dalam satu jenis undang-undang, seperti Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Hukum perlindungan konsumen selalu berhubungan dan berinteraksi dengan berbagai bidang dan cabang hukum lain, karena pada tiap bidang dan cabang hukum itu senantiasa terdapat pihak yang berpredikat “konsumen.”
Dengan memahami pengertian konsumen, maka perbedaan antara hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen, antara hak-hak pokok dari konsumen dan keterkaitan hukum perlindungan konsumen dengan bidang-bidang hukum yang lain dapat memberikan gambaran menyeluruh tentang hukum perlindungan konsumen.
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah “konsumen” sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). UUPK menyatakan, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Istilah lain yang agak dekat dengan konsumen adalah “pembeli” (kope). Istilah ini dapat dijumpai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pengertian konsumen jelas lebih luas daripada pembeli.
Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius dalam Az. Nasution (2001:5) menyimpulkan, para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai, pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa.
Pengertian konsumen dapat terbagi dalam 3 (tiga) bagian, terdiri atas :
a. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu;
b. Konsumen antara, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk diproduksi (produsen) menjadi barang dan/atau jasa lain atau untuk memperdagangkannya (distributor), dengan tujuan komersial (sama dengan pelaku usaha);
c. Konsumen akhir adalah pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali.
Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir yang dikenal dalam kepustakaan ekonomi. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
a. Orang, kecuali disebut kusus, dalam batasan ini terdiri dari orang alami atau orang yang diciptakan oleh hukum (perusahaan dengan bentuk PT atau sejenis, baik privat atau publik).
b. Unsur mendapatkan barang atau jasa, yaitu atas dasar suatu hubungan hukum berdasarkan perjanjian (jual beli, sewa-menyewa, sewa beli).
c. Dalam barang dan/atau jasa yang digunakan, tergantung pada konsumen mana yang dimaksudkan. Bagi konsumen antara barang atau jasa itu adalah barang atau jasa kapital, berupa bahan baku, bahan penolong atau komponen dari produk lain yang diproduksinya (produsen). Kalo ia adalah distributor atau pedagang, berupa barang setengah jadi atau barang jadi yang menjadi mata dagangnya.
Bagi konsumen – akhir, barang dan/atau jasa itu adalah barang atau jasa konsumen, yaitu barang atau jasa yang biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga atau rumah tangganya (produk konsumen). Barang atau jasa konsumen ini umumnya diperoleh di pasar-pasar konsumen, dan terdiri dari barang atau jasa yang umumnya digunakan di dalam rumah tangga.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semua orang adalah konsumen karena membutuhkan barang dan jasa untuk mempertahankan hidupnya sendiri, keluarganya, ataupun untuk memelihara/merawat harta bendanya.
Setiap konsumen tidak hanya mempunyai hak yang bisa dituntut dari produsen atau pelaku usaha, tetapi juga kewajiban yang harus dipenuhi atas diri produsen atau pelaku usaha. Hak dan kewajiban tersebut adalah :
a. Hak Konsumen
1) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
2) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
3) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
8) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak semestinya.
9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
b. Kewajiban Konsumen
1) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
2) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
3) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
4) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
2. Pengertian Perlindungan Konsumen
Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menjelaskan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merupakan undang-undang payung bagi undang-undang yang terkait dengan Undang-Undang yang berkaitan dengan perlindungan konsumen lainnya.

Dalam setiap undang-undang yang dibentuk pembuat undang-undang, biasanya dikenal sejumlah asas atau prinsip yang mendasari diterbitkannya undang-undang itu. Asas-asas hukum merupakan fondasi suatu undang-undang dan peraturan-peraturan pelaksanaannya. Bila asas-asas dikesampingkan, maka runtuhlah bangunan undang-undang itu dan segenap peraturan pelaksanaannya (Yusuf Shofie, 2002 : 25)
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama seluruh pihak yang terkait, masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah berdasarkan 5 (lima) asas, yang menurut Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 adalah :
a. Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
b. Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
c. Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.
d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
e. Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen itu antara lain meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut. Pemberdayaan konsumen dengan meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandiriannya melindungi diri sendiri sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan menghindari ekses negatif pemakaian, penggunaan dan pemanfaatan barang dan/atau jasa kebutuhannya (Az. Nasution, 2001:4).
3. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Dasar hukum perlindungan konsumen yang berkaitan dengan penggunaan bahan pengawet dalam makanan:
b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen sebagai produk dalam lembaga negara Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia terkait pada pandangan hidup dan dasar negara itu sebagai falsafah bangsa yang hidup, tentu saja falsafah hukum perlindungan konsumen juga adalah Pancasila (Az Nasution 2001:1).
c. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/ Menkes/ Per/ IX/ 1988 yang telah disempurnakan dengan Peraturan Menteri Nomor 1168/ Menkes/ Per/ 1999 tentang bahan makanan.
d. Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan terutama dalam pasal 10 ayat 1 “Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apapun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang atau melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan”.

D. Tinjauan Umum tentang Pengawasan
Menurut Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan dilaksanakan oleh :
1. Pemerintah,
2. Masyarakat,
3. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
Dalam pelaksanaan tugas pengawasan selain dibebankan kepada pemerintah, juga dilimpahkan kepada masyarakat, baik berupa kelompok, perorangan, maupun lembaga swadaya masyarakat. Masyarakat dapat melakukan penelitian, pengujian, dan/atau penyurveian terhadap barang-barang yang beredar di pasar. Aspek pengawasan yang dilakukan masyarakat ini meliputi : pemuatan informasi tentang resiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha.
Kaitannya dengan perlindungan konsumen terhadap makanan dan minuman kadaluwarsa, masyarakat dapat melakukan survei atas penulisan/pencantuman masa kadaluwarsa produk tertentu yang beredar di supermarket tentang :
1. Apakah produk tertentu itu memuat/mencantumkan masa kadaluwarsa atau tidak;
2. Apakah pencantuman masa kadaluwarsa jelas atau tidak;
3. Apakah produk yang sudah melewati masa kadaluwarsa masih dipajangkan di tempat penjualan.
Informasi-informasi tersebut dapat dikumpulkan dan kemudian diteruskan ke pihak pemerintah yang berwenang mengenai hal tersebut, pejabat kepolisian ataupun ke lembaga swadaya masyarakat. Inilah bentuk peran serta masyarakat di dalam pengawasan sehubungan dengan penegakan perlindungan konsumen.
Pengawasan lebih menitikberatkan pada peran masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen masyarakat, dibanding dengan peran pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Menteri dan atau Menteri Teknis yang terkait. Pemerintah diserahi tugas melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan perundang-undangan (Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004 : 185)




BAB III
METODE PENELITIAN


Metode merupakan cara utama yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian, jumlah dan jenis yang dihadapi. Akan tetapi dengan mengadakan klasifikasi yang berdasarkan pada pengalaman, dapat ditentukan teratur dan terpikirnya alur yang runtut dan baik untuk mencapai suatu maksud. Adapun pengertian penelitian adalah suatu kegiatan yang terencana yang dilakukan dengan metode ilmiah bertujuan untuk mendapatkan data baru guna membuktikan kebenaran dari suatu gejala/hipotesa yang ada (Bambang Sunggono, 1991: 21).

A. Jenis Penelitian
Penelitian dilihat dari jenisnya ada dua macam yaitu penelitian sosiologis (lapangan) dan penelitian normatif yang hanya bersumber pada bahan kepustakaan (library research). Jika suatu penelitian dilihat dari sudut sifatnya dikenal ada tiga jenis yaitu penelitian eksploratoris, deskriptif dan eksplanatoris. Penelilitian diskriptif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memberi data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejalanya untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu didalam memperkuat teori-teori lama didalam menyusun teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 1984:10).

Berdasarkan definisi di atas, maka penelitian yang peneliti susun merupakan penelitian deskriptif. Penelitian ini dimaksudkan untuk memecahkan masalah yang ada saat ini, dengan jalan mengumpulkan data dan kemudian menyusun atau mengklasifiksikannya, selanjutnya dianalisis dan menginterprestasikan data untuk kemudian diperoleh suatu hasil.

Adapun tipologi penelitian hukumnya termasuk penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Dalam penelitian ini, kegiatan tidak hanya terbatas pada pengumpulan data dan penggunaanya, tetapi lebih penting adalah analisis dan intepretasi atas data yang telah didapat agar dapat diketahui maksudnya (Soerjono Soekanto dan Sri Marmuji,1990: 15).

B. Jenis dan Sumber Data
1. Jenis Data
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka sebab penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Data sekunder tersebut diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan berupa buku referensi dan internet.
2. Sumber data
Sumber data merupakan tempat dimana data diperoleh. Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder yaitu tempat kedua diperoleh data. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer ialah bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat. Adapun yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
3) Keputusan Presiden Nomor 102 Tahun 2001 tentang kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi, dan tata kerja departemen;
4) Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2005 tentang perubahan keenam atas Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen;
5) Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor 264A/MNKES/SKB/VII/2003 dan Nomor 02/SKB/M.PAN/7/2003 tentang tugas, fungsi, dan kewenangan di bidang pengawasan obat dan makanan.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder ialah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer, dalam Penelitian ini yang memakai buku referensi dan media massa dan internet (Soerjono Soekanto 2001:13).

C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi dokumen (library research) yaitu mengumpulkan data sekunder melalui identifikasi buku referensi dan media massa seperti koran, internet serta bahan lain yang masih ada hubungannya dengan penelitian ini. Kemudian melakukan analisis isi terhadap bahan hukum yang di kumpulkan yang bersangkutan dengan permasalahan penelitian selanjutnya dikonstruksikan secara sistematis sehingga menjadi data yang siap pakai.

D. Analisis Data
Analisis data yang penulis gunakan adalah deskriptif-kualitatif. Dengan metode ini, masalah dan fakta akan digambarkan secara deskriptif dan kemudian dianalisis guna memperoleh gambaran utuh tentang permasalahan yang akan diteliti.






BAB IV
PEMBAHASAN


A. Model Segitiga Koordinasi sebagai Upaya Mewujudkan Sinergisme Perlindungan Konsumen yang Handal

1. Tumpang tindih kewenangan Departemen Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan

Salah satu Permasalahan dalam penegakan hukum perlindungan konsumen adalah adanya tumpang tindih kewenangan antara Departemen Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan. Maraknya peredaran produk-produk makanan yang mengandung zat-zat tertentu yang berbahaya bagi konsumen tidak dapat dipungkiri terjadi karena adanya tumpang-tindih kewenangan antara Departemen Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan serta kurangnya partisipasi dari aparat penegak hukum dalam penegakan hukum perlindungan konsumen.

Berikut daftar produk makanan mengandung susu asal China yang terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan:
a. Jinwei Yougoo, susu fermentasi, nomor registrasi ML 206509001378
b. Jinwei Yougoo, susu fermentasi, nomor registrasi ML 206509002378
c. Jinwei Yougoo, susu fermentasi, nomor registrasi ML 206509003378
d. Guozhen, susu bubuk full cream, nomor registrasi ML 805309001478
e. Meiji Indoeskrim Gold Monas, es krim, nomor registrasi ML 305509001116
f. Meiji Indoeskrim Gold Monas, es krim, nomor registrasi ML 305509002116
g. Oreo, stick wafer, nomor registrasi ML 227109001450
h. Oreo, stick wafer, nomor registrasi ML 827109001450
i. Oreo, chocolate sandwich cookie, nomor registrasi ML 227109001552
j. M&M’s, kembang gula, nomor registrasi ML 237409005385
k. M&M’s, kembang gula, nomor registrasi ML 237409002385
l. Snickers, biskuit, nomor registrasi ML 227109009385
m. Dove Choc, kembang gula, nomor registrasi ML 237409001385
n. Dove Choc, kembang gula, nomor registrasi ML 237409003385
o. Dove Choc, kembang gula, nomor registrasi ML 237409004385
p. Merry X-Mas, kembang gula, nomor registrasi ML 238409003311
q. Penguin, kembang gula, nomor registrasi ML 238409005311
r. Nestle Nesvita Materna, makanan ibu hamil dan ibu menyusui, nomor registrasi ML 862109001322
s. Nestle Milkmaid, selai susu, nomor registrasi ML 234709002206
(http://www.pinara.net/daftar-produk-china-yang-dilarang-beredar-oleh-bpom.html).

Tumpang tindih kewenangan antara Departemen Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan terjadi karena adanya aturan yang memberikan kewenangan yang sama diantara keduanya. Berdasarkan ketentuan Peraturan Presiden Nomor 102 tahun 2001, Departemen kesehatan memiliki wewenang untuk memberikan ijin edar produk makanan yang akan dikonsumsi oleh masyarakat. Demikian pula ketentuan dalam Pasal 69 huruf e Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2005 Tentang Perubahan Keenam atas Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non-Departemen yang juga memberikan kewenangan kepada BPOM dalam pemberian ijin.

Dualisme aturan tersebut mengakibatkan kebingungan dalam masyarakat terkait dengan pihak yang berwenang untuk memberikan ijin edar produk. Maraknya peredaran produk-produk berbahaya, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, serta beredarnya produk-produk dengan nomor pendaftaran palsu yang berimbas pada pelanggaran hak-hak konsumen merupakan konsekuensi logis dari dualisme aturan tersebut. Minimnya tertib administrasi negara dengan dualisme aturan mengakibatkan hak-hak konsumen dirugikan.










Gambar 1. Contoh Produk Makanan yang mendapatkan ijin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan dan Departemen Kesehatan.

Dalam upaya untuk mengatasi tumpang tindih kewenangan antara Departemen Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan, pada tahun 2003 Menteri Kesehatan dan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara melalui Surat Keputusan Bersama Nomor 264A/MNKES/SKB/VII/2003 dan Nomor 02/SKB/M.PAN/7/2003 telah mengatur tugas, fungsi, dan kewenangan di bidang pengawasan obat dan makanan. Ketentuan ketiga SKB Nomor 264A/MNKES/SKB/VII/2003 dan Nomor 02/SKB/M.PAN/7/2003 mengatur bahwa:
Dengan ditetapkannya Keputusan Bersama ini, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan pengawasan obat dan makanan menysuaikan dengan ketentuan dalam keputusan ini.

Merujuk Stufentheorie Kelsen, norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana norma yang lebih rendah, berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Dari teori tersebut dapat dipahami bahwa kedudukan Surat Keputusan Bersama tidak lebih tinggi dari Keputusan Presiden. Oleh karena itu, kedudukan Surat Keputusan Bersama menteri kesehatan dan menteri pemberdayaan aparatur negara tidak dapat dijadikan rujukan fungsi dan wewenang Badan Pengawas Obat dan Makanan yang telah diatur sebelumnya dalam Keputusan Presiden. Dapat pula dikatakan bahwa SKB tersebut tidak dapat berlaku secara efektif untuk mengatasi tumpang tindih kewenangan yang terjadi antara Departemen Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Kurangnya koordinasi dan pembagian wewenang antara Departemen Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan diperumit dengan minimnya peran serta aparat penegak hukum dalam upaya perlindungan konsumen. Aparat penegak hukum cenderung bersifat pasif terhadap kasus-kasus pelanggaran hak konsumen. Selain itu, kondisi masyarakat umumnya masih takut untuk melaporkan kasus pelanggaran hak konsumen yang terjadi karena masih berfikir bahwa pengusaha adalah orang besar yang dekat dengan penguasa serta sikap pesimistis terhadap kinerja aparat penegak hukum di Indonesia.

2. Model Segitiga Koordinasi antara Departemen Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Mengatasi masalah tersebut pemerintah dapat melakukan langkah strategis dengan meningkatkan koordinasi dan pembagian kewenangan yang jelas antara Departemen Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan serta aparat penegak hukum.

Konsep pembagian kewenangan dan koordinasi dapat mengacu pada model segitiga koordinasi dimana Badan Pengawas Obat Dan Makanan, Departemen Kesehatan, dan aparat penegak hukum memiliki hubungan kerja satu sama lain sehingga akhirnya bemuara pada perlindungan konsumen yang handal. Model koordinasi lebih menekankan pada upaya peningkatan kerjasama antara Departemen Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, dan aparat penegak hukum yang diimbangi dengan pembagian kewenangan yang jelas. Hal ini bertujuan untuk mengatasi permasalahan tumpang tindih kewenangan, terutama yang terjadi antara Departemen Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan serta meningkatkan peran aktif aparat penegak hukum.

Sebelum koordinasi











Gb. 2 Upaya perlindungan konsumen oleh Departemen Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, dan Aparat Penegak Hukum

Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa upaya yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan, dan aparat penegak hukum saat ini kurang terkoordinir dan cenderung berjalan sendiri-sendiri. Hal tersebut berdampak pada kurang maksimalnya perlindungan terhadap konsumen.






Setelah Koordinasi













Gb. 3 Model Segitiga Koordinasi antara Departemen Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, dan Aparat Penegak Hukum

Berdasarkan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan pada mauun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.

Merujuk pada segitiga koordinasi antara Badan Pengawas Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan, dan aparat penegak hukum, pengawasan peredaran barang di masyarakat dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu:
a. Barang yang tidak mendapatkan ijin, terdiri dari :
1) Barang yang tidak mendapatkan ijin karena tidak perlu didaftarkan
Barang yang tidak didaftarkan karena tidak didaftarkan antara lain berupa bakso, dawet, mie ayam, dan lain-lain. Bentuk pengawasan dan koordinasi yang dapat dilakukan antara Departemen Kesehatan dan Badan Pengawas Obat Dan Makanan adalah dengan melakukan pengambilan sample secara berkala terhadap produk-produk tersebut untuk menjaga kualitas produk serta melakukan penyuluhan dan sosialisasi untuk meningkatkan kesadaan pelaku usaha atau produsen atas pentingnya menjaga kualitas produk guna kepentingan konsumen dan kelangsungan usaha.

2) Barang yang tidak mendapatkan ijin karena berbahaya bagi masyarakat
Jenis barang yang tidak mendapatkan ijin karena berbahaya bagi masyarakat antara lain berupa saos botol, minuman keras, kecap, atau produk-produk lain yang mengandung zat-zat tertentu sehingga menimbukan resiko kesehatan jika dikonsumsi. Bentuk koordinasi dan pengawasan terhadap produk ini dapat dilakukan antara Badan Pengawas Obat dan Makanan sebagai lembaga yang memiliki tanggung jawab untuk melakukan pengawasan dan aparat penegak hukum untuk melakukan razia dan pemusnahan terhadap barang-barang tersebut. Kegiatan ini tidak berakhir kepada razia dan pemusnahan tetapi berlanjut hingga proses penuntutan dan penjatuhan pidana bagi pelaku usaha. Hal ini untuk memberikan efek jera pada pelaku usaha dan rasa takut pada masyarakat agar tidak melakukan hal serupa.

b. Barang yang belum mendapatkan ijin
Bentuk koordinasi yang dapat dilakukan antara Departemen Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk barang yang belum mendapatkan ijin berupa pemberian rekomendasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan kepada Departemen Kesehatan terkait dengan proses pemberian ijin. Jadi rekomendasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan merupakan salah satu syarat administratif yang harus dipenuhi oleh pengusaha untuk mendapatkan ijin edar atas produknya. Hal ini sekaligus dapat mengatasi tumpang-tindih wewenang yang terjadi antara Departemen Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Wewenang untuk memberikan ijin edar produk berada pada Departemen Kesehatan. Badan Pengawas Obat dan Makanan sebagai bentuk pengawasan berwenang memberikan rekomendasi yang merupakan salah satu syarat pemberian ijin oleh Departemen Kesehatan.

c. Barang yang sudah mendapatkan ijin
Untuk barang yang sudah mendapatkan ijin, mekanisme pengawasan yang dapat dilakukan antara lain dengan menyajikan data produk-produk yang telah mendapat ijin agar masyarakat dapat dengan mudah mengakses dan mengatahui jika terdapat produk makanan yang bernomor registrasi palsu. Tindakan preventif lain dapat dilakukan dengan melakukan razia dan membawa pelaku usaha yang tidak jujur ke muka persidangan oleh aparat penegak hukum.

Dalam segitiga koordinasi, aparat penegak hukum bersifat aktif. Hal ini sebagai perwujudan komitmen untuk menegakkan perlindungan konsumen tidak ada salahnya menggali kasus-kasus pelanggaran hak konsumen dalam masyarakat. Terlebih perlindungan terhadap konsumen bukan merupakan delik aduan yang harus menunggu pengaduan dari masyarakat atau konsumen yang dirugikan. Melalui kerjasama dengan Departemen Kesehatan dan/atau Badan Pengawas Obat dan Makanan, aparat penegak hukum dapat lebih mengefektifkan pelaksanaan tugasnya untuk mengetahui dan membawa ke pangadilan perkara-perkara pelanggaran hak-hak konsumen dalam masyarakat.

Dari bentuk koordinasi dan pembagian kewenangan tersebut dapat dipaparkan bahwa kewenangan untuk memberikan ijin berada pada departemen kesehatan. Kedudukan Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam pengawasan produk lebih ditekankan pada pemberian rekomendasi untuk mendapatkan ijin dari Departemen Kesehatan. Peran Aparat penegak hukum lebih ditekankan pada tindakan aktif untuk dalam penegakan hukum perlindungan konsumen.

Adapun untuk memberikan legitimasi dan mengatasi tumpang tindih kewenangan yang terjadi antara departemen kesehatan dan badan Pengawas Obat dan Makanan, pemerintah dalam hal ini Presiden harus segera melakukan revisi terhadap Keputusan Presiden Nomor 102 tahun 2001 dan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2005 untuk menyelaraskan fungsi dan wewenang keduanya. Dengan segitiga koordinasi antara Departemen Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, dan aparat penegak hukum upaya perlindungan terhadap konsumen akan lebih terjamin. Adanya pembagian kewenangan yang jelas dan koordinasi antara ketiganya akan mendukung optimalisasi upaya pengawasan peredaran produk dalam masyarakat.












BAB V
PENUTUP


A. Simpulan
Model segitiga koordinasi antara Badan Pengawas Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan, dan aparat penegak hukum menekankan pada upaya peningkatan hubungan kerja yang diimbangi dengan pembagian kewenangan yang jelas sehingga bermuara pada perlindungan konsumen yang handal.

Pembagian kewenangan antara departemen kesehatan dan BPOM dilakukan dengan memberikan kewenangan dalam peredaran produk pada Departemen Kesehatan. Kedudukan Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam pengawasan produk lebih ditekankan pada pemberian rekomendasi untuk mendapatkan ijin dari Departemen Kesehatan. Peran Aparat penegak hukum lebih ditekankan pada tindakan aktif dalam penegakan hukum perlindungan konsumen.

B. Saran
1. Revisi terhadap Keputusan Presiden Nomor 102 tahun 2001 dan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2005 untuk menyelaraskan fungsi dan wewenang Departemen Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan.
2. Peningkatan peran aparat penegak hukum dalam upaya perlindungan terhadap konsumen.
3. Menggalakkan program sosialisasi dan penyuluhan kepada pelaku usaha untuk menjaga kualitas produk agar tidak merugikan konsumen dan tercipta iklim usaha yang kondusif.

Tidak ada komentar

Hai, terima kasih sudah berkunjung dan membaca! Let's drop your comments ya. Insya Allah akan berkunjung balik :)