PROLOG
Mereka awalnya ber-enam. Dipertemukan tak sengaja oleh takdir huruf pertama. Bertabiat laksana bumi dan langit. Berperangai bagai saputan pelangi. Bersahabat sejak sekujur tubuh kotor bau keringat, digebuki senior kampus kala ospek 6 tahun silam.
Mereka sekarang tetap ber-enam. Cowok-cowok metroseksual dengan masalah super-serius. Riang-tertawa menjalani manis persahabatan. Terharu-menangis melalui pahit pertemanan. Saling memberikan bahu menopang kelemahan.
Saling menggenggam tangan menguatkan pijakan. Yang tidak pernah mereka sadari, persahabatan itu mulai menembus batas-batas rasionalitas.
Ketika masing-masing suka-tidak-suka dituntut menjalani, siklus pengorbanan yang indah. Ketika satu-persatu mau-tidak-mau berguguran oleh tragedi menyakitkan yang sulit dimengerti. Ketika persahabatan menuntut lebih dari sekadar sebuah kebersamaan. Tahun ke-2 saat mereka nyaman dengan karir masa depan. Tahun ke-6 semuanya terjadi. Demi teman sejati. Mereka awalnya ber-enam. Entah menjadi berapalah di ujung cerita.
BAB 1
Jam 23.59. Satu menit sebelum sempurnalah malam. Hujan turun amat deras. Petir sambar menyambar menerangi bumi, diselingi suara guntur yang memekakkan telinga. Sungguh kacau-balau di luar. Tetapi James justeru tertidur nyenyak. Bagai seekor kucing betina, dia menggulung tubuhnya semakin rapat dalam lipatan selimut. Merasa nyaman dengan suara nina-bobo buncah air yang menerpa genteng, memukul-mukul dinding batu, serta menciprati jendela kaca bangunan resort.
Alamak. Bahkan sekarang mulutnya menyimpul senyum, mukanya bercahaya, pipinya berkedut-kedut riang. Sungguh menyebalkan menyaksikan pemandangan itu, apalagi melihatnya dari tampang seorang James. Dia seakan-akan sedang menikmati kebahagiaan sempurna sebuah kehidupan. Kesenangan tak terbayarkan. Ketika rutinitas dan realitas harian dunia terpisah sejenak.
Ketika semuanya digantikan oleh mimpi indah.
Tangan James bahkan sekarang bergerak-gerak seakan hendak memeluk. Bibirnya membuka, mukanya mengukir ekpresi murahan, “Oh sayang, jangan! JANGAN PERGI! Aku mohon.” James menggigau.
Ampun! Lihatlah, dalam mimpinya sekalipun James masih banyak gaya. Kebayang kan bagaimana noraknya dia dalam kehidupan nyata. Oleh karena itulah menjijikkan sekali menyaksikan adegan itu.Tetapi malam ini James kena batunya. Beberapa detik lagi, semesta alam yang sudah bosan dengan kelakuan James sepanjang tahun kompak memutuskan untuk menghukumnya. Maka persis jam 24.00 tengah malam, mimpi indah James laksana sebuah kapal layar berputar haluan, berbalik kemudi seketika 180 derajat dari arah tenggara menuju arah barat laut.
Dan dari sinilah semua kisah ini bermula.
***
“Dessy.... eh Sesy.... eh YESSY jangan tinggalkan aku,” James berteriak sambil berusaha mengejar.
Gadis yang dikejarnya berderai tawa tak peduli terus berlari membelah taman bunga nan luas. Warna jingga memenuhi sepanjang mata memandang. Jingga bebungaan di taman, jingga pepohonan di kejauhan, jingga warna di langit. Juga jingga warna kupu-kupu dan burung-burung yang terbang di antara mereka.
Warna yang aneh. Pemandangan yang aneh.
Tetapi James tidak peduli, tetap berlari mengikuti gadis berambut panjang itu, dengan kaki yang melangkah dalam gerakan lambat seperseribu detik (namanya juga mimpi). Lama sekali dia berusaha mengejar, tapi gadis itu seakan-akan jauh lebih cepat.
Mereka terus menyibak bebungaan yang menebar aroma wangi seperti layaknya dua orang kekasih. Tertawa-tawa saling menggoda. Berlarian dengan muka tersaput senyum-malu. Hingga tiba-tiba tanpa disadari, entah bagaimana mereka caranya sudah tiba di ujung taman jingga itu.
James gagu seketika. Berdiri menatap sekitar.
Awan hitam mendadak berarak mengungkung langit, laksana ada yang menuangkan tinta hitam di dalam beningnya air kolam. Taman jingga yang indah (meski aneh) tersaput begitu saja entah ke mana. Di hadapan James sekarang terbentang dinding tinggi bebatuan penuh carut marut mengerikan, dengan sebuah mulut lorong besar persis di tengah-tengahnya.
Petir pertama menyambar dahsyat tanpa tedeng aling-aling. Memucatkan muka. Di susul oleh suara guntur dan ratusan kilat cahaya berikutnya.
“Ini bukan mimpiku!” desis James nervous (bahkan dalam mimpi pun dia bisa realized posisinya—dasar presenter!).
Terlambat sudah, hujan badai datang mengguyur dengan cepat. Menumpahkan berjuta galon dari relung gumpalan awan hitam. Gadis yang dikejarnya berlarian masuk ke dalam lorong. James setelah kuyup sekian lama memutuskan untuk masuk menyusul. Tak peduli bibir lorong itu sungguh seram dilihat dari luar. Tak peduli tiba-tiba ulu hatinya terasa nyeri sekali.
Seperti yang telah diduganya, gadis berambut panjang itu tidak ada di sana. Tidak ada siapa-siapa, kecuali lorong yang gelap, dingin menusuk tulang, berlumut dan basah. Tikus besar berlarian mencicit di sela-sela kaki. Puluhan kecoa menghiasi dinding seperti lukisan abstrak. Bau amis menggantang di udara. Situasi tak bisa dibayangkan lebih buruk lagi.
James bergerak mundur, hatinya keras memerintahkan untuk segera kembali. Ada yang aneh! Perasaannya sama sekali tidak nyaman. Tetapi sedetik sebelum kakinya berputar haluan, di ujung lorong terlihat selarik cahaya. Dan bagai dipakukan ke tanah, James sontak berdiri membeku menatap cahaya itu.
Cahaya itu bergerak ke arahnya. Mendekat amat cepat, sekarang bahkan sudah memenuhi dinding-dinding lorong. Dan semakin jelas kiranya apa yang menjadi sumbernya. Sepotong lilin di atas piring dalam pangkuan seorang wanita. James menelan ludah menyaksikannya. Siluet gadis itu semakin jelas. Dua depa di hadapannya, wanita itu terlihat seperti peri dalam dongeng-dongeng yang pernah didengarnya. Mengenakan gaun putih, rambut panjang hitam legam, kepala bermahkotakan tiara, dan cantik luar biasa.
Hanya saja yang membuatnya gentar, wanita itu berjalan bagai melayang di atas lantai batu. Persis seperti sterotype hantu yang selama ini James pahami dalam acara-acara teve (termasuk acara yang dibawakannya).
Hantu itu semakin mendekat.
James tersengal oleh aromanya. Wangi itu misterius sekali. Ia dulu rasa-rasanya pernah mencium wangi itu. D-i m-a-n-a? K-a-p-a-n? James tak mampu lagi berpikir waras. Tubuhnya banjir keringat dingin. Jemarinya gemetar. Tak ada lagi pesona riang dan gagah dari muka tampannya, yang tersisa hanya warna pucat pasi ketakutan.
Untungnya, mimpi itu cepat sekali berakhir. Ketika James tegang menunggu rentetan kejadian berikutnya, wanita itu mendekat sigap dua langkah darinya, melayang dan menatapnya dingin dengan mata tak berbintik hitam sedikitpun.
Kemudian sebelum menghilang diiringi kelbatan cahaya memerihkan mata hanya berkata (dengan suara yang terdengar sedingin es dari dalam lubang sumur ribuan kilometer):“Terkutuklah! Kau akan menikah dengan….!”
***
James seketika terbangun dari tidurnya. Selarik petir menyambar terang memerihkan mata. Nafasnya tersengal. Mukanya berkeringat. Ia terduduk beberapa detik di atas tempat tidur nyaman ukuran king-size itu. Menyeka keringat dari dahi. Mengatur nafas.
Menelentangkan tubuhnya lagi di atas ranjang, menatap langit-langit kamar resort tersebut. “Mimpi yang aneh,” gumam James nyaris tak terdengar. “Menikah dengan siapa…?” dia trans dalam kalutnya pikiran.
Beberapa kejap kemudian matanya pelan-pelan menutup.Kaca jendela semakin berembun. Badai di luar semakin menggila. James sekali lagi lelap tertidur. Esok pagi ketika bangun, dia sama sekali telah lupa dengan mimpinya tadi.
*bersambung
bisa dilihat di : http://www.facebook.com/notes/darwis-tere-liye/the-gogons-series-buku-1-james-incridible-incidents-bagian-1/308326159217959
Tidak ada komentar
Hai, terima kasih sudah berkunjung dan membaca! Let's drop your comments ya. Insya Allah akan berkunjung balik :)