1. Permohonan
Secara
yuridis, permohonan adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk
permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada
Ketua Pengadilan Negeri. Istilah permohonan dapat juga disebut dengan gugatan voluntair
yaitu gugatan permohonan secara sepihak tanpa ada pihak lain yang ditarik
sebagai tergugat.
Ciri
khas permohonan atau gugatan voluntair adalah:
- Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak saja (for the benefit of one party only);
- Permasalahan yang dimohon penyesuaian kepada pengadilan negeri pada prinsipnya tanpa sengketa dengan pihak lain (without dispute or differences with another party);
- Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat mutlak satu pihak (ex-parte).
Landasan
hukum permohonan atau gugatan voluntair merujuk pada ketentuan Pasal 2
dan penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (“UU 14/1970”). Meskipun UU
14/1970 tersebut telah diganti oleh Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, apa yang digariskan Pasal 2 dan penjelasan Pasal 2 ayat
(1) UU 14/1970 itu, masih dianggap relevan sebagai landasan gugatan voluntair
yang merupakan penegasan, di samping kewenangan badan peradilan penyelesaian
masalah atau perkara yang bersangkutan dengan yuridiksi contentiosa
yaitu perkara sengketa yang bersifat partai (ada pihak penggugat dan tergugat),
juga memberi kewenangan penyelesaian masalah atau perkara voluntair.
Proses
pemeriksaan permohonan di pengadilan dilakukan secara ex-parte yang
bersifat sederhana yaitu hanya mendengarkan keterangan pemohon, memeriksa bukti
surat atau saksi yang diajukan pemohon dan tidak ada tahap replik-duplik dan
kesimpulan. Setelah permohonan diperiksa, maka pengadilan akan mengeluarkan
penetapan atau ketetapan (beschikking ; decree). Bentuk ini
membedakan penyelesaian yang dijatuhkan pengadilan dalan gugatan contentiosa,
karena dalam gugatan contentiosa yang bersifat partai, penyelesaian yang
dijatuhkan berbentuk putusan atau vonis (award).
2. Gugatan
Sebagaimana
yang telah dijelaskan di atas, bahwa penetapan dapat disebut dengan gugatan voluntair,
tetapi pengertian ini berbeda dengan pengertian gugatan pada umumnya yang
dikenal oleh masyarakat Indonesia dan dalam perundang-undangan, yaitu gugatan
yang dimaksudkan adalah gugatan contentiosa atau biasa disebut dengan
gugatan perdata atau gugatan saja.
Pengertian
gugatan adalah permasalahan perdata yang mengandung sengketa antara 2 (dua)
pihak atau lebih yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dimana salah satu
pihak sebagai penggugat untuk menggugat pihak lain sebagai tergugat. Perkataan contentiosa,
berasal dari bahasa Latin yang berarti penuh semangat bertanding atau
berpolemik. Itu sebabnya penyelesaian perkara yang mengandung sengketa, disebut
yuridiksi contentiosa yaitu kewenangan peradilan yang memeriksa perkara
yang berkenaan dengan masalah persengketaan antara pihak yang bersengketa.
Ciri
khas gugatan adalah:
- Permasalahan hukum yang diajukan ke pengadilan mengandung sengketa (disputes, diffirences).
- Terjadi sengketa di antara para pihak, minimal di antara 2 (dua) pihak.
- Bersifat partai (party), dengan komposisi pihak yang satu bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat dan pihak yang lainnya berkedudukan sebagai tergugat.
- Tidak boleh dilakukan secara sepihak (ex-parte), hanya pihak penggugat atau tergugat saja.
- Pemeriksaan sengketa harus dilakukan secara kontradiktor dari permulaan sidang sampai putusan dijatuhkan, tanpa mengurangi kebolehan mengucapkan putusan tanpa kehadiran salah satu pihak.
Bentuk
gugatan ada 2 (dua) macam, yaitu gugatan lisan dan gugatan tertulis. Dasar
hukum mengenai gugatan diatur dalam Pasal 118 ayat (1) Herziene Inlandsch
Reglement (“HIR”) juncto Pasal 142 Rectstreglement voor de Buitengewesten
(“RBg”) untuk gugatan tertulis dan Pasal 120 HIR untuk gugatan lisan. Akan
tetapi yang diutamakan adalah gugatan berbentuk tertulis.
Proses
pemeriksaan gugatan di pengadilan berlangsung secara kontradiktor (contradictoir),
yaitu memberikan hak dan kesempatan kepada tergugat untuk membantah dalil-dalil
penggugat dan sebaliknya penggugat juga berhak untuk melawan bantahan tergugat.
Dengan kata lain, pemeriksaan perkara berlangsung dengan proses sanggah
menyanggah baik dalam bentuk replik-duplik maupun dalam bentuk kesimpulan (conclusion).
Pengecualian terhadap pemeriksaan contradictoir dapat dilakukan melalui verstek
atau tanpa bantahan, apabila pihak yang bersangkutan tidak menghadiri
persidangan yang ditentukan tanpa alasan yang sah, padahal sudah dipanggil
secara sah dan patut oleh juru sita. Setelah pemeriksaan sengketa antara 2
(dua) pihak atau lebih diselesaikan dari awal sampai akhir, maka pengadilan
akan mengeluarkan putusan atas gugatan tersebut.
Sumber
: Lex & Co Lawyers
Saya
suka bisa refresh belajar tentang hukum lagi. Tapi nyeseknya, sahabatku nanya
tentang ini dengan konteks lain, “Say, kalau perceraian itu yang mengajukan
disebut penggugat atau pemohon ya?”, reflex ada beberapa nanar yang tidak bisa
saya ungkapkan. Panas sekali. Seakan-akan saya ikut merasakan apa yang dia
rasakan. Divorce.
Tidak ada komentar
Hai, terima kasih sudah berkunjung dan membaca! Let's drop your comments ya. Insya Allah akan berkunjung balik :)