Bagaimana
“takabur” itu menyelusup begitu cepat ke nadi dan menyebar ke seluruh tubuhku. Bagaimana
rasa congkak itu berdiri gagah dalam sanubari. Aku berpegangan kuat di kereta
sambil menggigit bibirku agar semua perasaan itu enyah.
“Din, lulus gak? Namaku gak ada”, mataku
masih sayu, bangun tidur membaca pesan whatsapp
dari Saif.
“Aku belum liat Saif :D”, aku melepas
mukenaku. Apa doa terakhirku? Aku ingat jelas, meminta yang terbaik saat aku
telah melakukan semuanya. TERBAIK.
Di
kereta banyak sekali massage yang
menanyakan tentang itu. “lulus atau gak?”.
Masa iya kalo mereka lulus, aku gak bisa? (pertanyaan dan perasaan seprti ini
nih yang ingin aku hapuskan). Aku menghela nafas panjang, beristighfar.
“Bagaimana
kalau kamu tidak lulus?”, pertanyaan itu muncul dalam sanubariku. Tiba-tiba
kakiku gontai, kepalaku penuh dengan bintang. Aku mengambil kendali penuh akan
diriku, menghalau perasaan yang menelusup yang kalau dibiarkan akan membuatku
tumbang seharian. “Itu yang terbaik, meskipun gagal adalah jawabannya”,
jawabanku atas sanubariku berat sekaligus melegakan.
Di
kereta yang baru saja melaju setengah perjalanan, aku mendownload pengumumannya,
terunduh sempurna. Pilihan “save or open”. Jemariku menyentuh layar “open”
dan aku sembari mengatur nafasku untuk kemungkinan yang terburuk.
Di
tengah keramaian, mataku terpana pada layar handphone
dan mengharap ada namaku. Hingga page 21,
ternyata namaku tidak ada. Itu berarti aku “belum lulus”. Wajar perasaan itu
berkecamuk hebat hendak menyalahkan, tetapi akal sehatku berfungsi secara
penuh. Cukup ya, ada rencana terbaik menunggu.
Sesampai
kantor, aku langsung mengambil wudhu dan mukenaku.
“Terimakasih
karena telah memberikan yang terbaik, terimakasih telah mencintai dengan
sempurna, terimakasih karena memberikan penjagaan yang luar biasa. Aku yakin
rencanaMu tiada duanya, aku ridho, mohon hapuskan takabur ini, mohon hapus
dengki ini dan biarkan aku bahagia dengan jalanku yang Kau pilihkan”, aku
tergugu, mukenaku basah.
“Jika
memang aku tak mampu mengendalikan perasaanku, aku titipkan segalanya kepasrahanku…………..”,
aku tak mampu merangkaikannya lagi.
Ajaib,
perasaanku lega. Beban itu tidak lagi seberat tadi. Lagian beban apaan? Karena memang
aku tidak memiliki apa-apa untuk diklaim menjadi sepenuhnya milikki.
***
“Mbak
Dindaaaaaaaaaaaaaaa, udah liat pengumuman?”, Morgan membawa kertas dan map
dengan muka bersinar-sinar.
Aku
tersenyum melihatnya.
“Gw
tadi deg-degan buka ini nih Mbak, takut nama gw gak ada”, dia mengulak-alik
kertas yang dibawanya.
Aku
masih tersenyum kepadanya dan menghentikan mengetik keyboard demi melihat pancaran bahagia di wajah anak bujang yang
sedang ababil.
“Aku belum lulus, Mor”, aku masih
menyunggingkan senyum kepadanya. Bukan, senyuman itu tidak aku buat-buat,
tetapi memang senyuman kelegaan. Lega karena menerima “kebelumlulusanku” sekaligus lega karena ikut senang Morgan lulus.
“Sumpeh
Lu Mbak, sini nomermu berapa, gw cariin”, Morgan membelalakkan matanya.
“Namaku
gak ada. Selamat ya, kayaknya kita bakalan tukeran departemen nih”, aku
berkelakar.
Wajah
Morgan yang bersinar-sinar mendadak redup.
“Mbak Dindaaaaaaaaaa”, bujang itu mulai
merajuk. Aku tidak memedulikannya.
Bagaimana
aku bertarung dengan diriku sendiri. Kegagahan dengki dan takabur itu mencair
berubah senyuman lega. Bagaimana mereka merongrongku dengan kekuatan mereka. Finally, aku menjadi ratu atas diriku
sendiri, tidak membiarkan perasaan-perasaan aneh itu bertahta.
“Kamu baik-baik saja, Din?”, sanubariku
bertanya padaku.
“Jauh lebih baik sayang”, aku
menepuk-nepuk dadaku tempat sanubariku berada.
Jawaban
terbaik itu tidak selalu lurus dengan keinginan kita, kadang-kadang membelok
bahkan menikung tajam. Dan kita akan bisa menyimpulkan di ujung cerita setelah
melewati semuanya dan berkata “Oh My God,
you’re the best creator in my life. Thank you”.
Tidak ada komentar
Hai, terima kasih sudah berkunjung dan membaca! Let's drop your comments ya. Insya Allah akan berkunjung balik :)