Surya siang ini terik sekali.
Telapak tanganku yang tidak terbungkus kain kumasukkan ke dalam saku jaket
berwarna peach hadiah dari ibu.
Kondektur kopaja mengetuk-ngetuk koin di bagian besi pegangan penumpang sambil
fasih menghitung uang kembalian salah dua penumpang. Aku sesekali mendongak
keluar jendela untuk memastikan tujuanku tidak terlewat. Beberapa meter kopaja
melaju, aku melihat mall yang dulu
sering aku datangi dan aku meminta sopir untuk menepi. Kondektur mengetuk koin
lagi.
Aku beranjak turun dari kopaja.
Bau solar yang menusuk hidungku membuat kepalaku sedikit pening. Tangan kananku
refleks memijit-mijit pelipisku.
Gedungnya masih seperti beberapa
tahun yang lalu. Beberapa toko berjajar.
Di bagian aula ada pameran mobil dengan hingar bingar suara musik. Baru
2 hari aku tinggal di kota ini dan entah mengapa Mas Mario dipindah tugaskan
kesini, sehingga permintaan Mas Mario untuk berkunjung tidak dapat kutolak. Banyak cerita yang kutitipkan di setiap sudut
kota sehingga setiap inchi-nya membuatku harus melenguh panjang. Bahkan derit
macet kopaja dan mobil biru itu tertulis sebagian cerita tentang kamu.
Mas Mario, Mas yang paling baik
seduniaku, baru 8 bulan pindah tugas di kota ini. Ia tahu persis tentang
episode yang membuatku jatuh bangun karena aku yang tidak mampu membendung
perasaanku. Ia juga tahu bahwa aku sempat berkunjung ke psikiater untuk
konsultasi ini-itu. Iya, kebanyakan adalah kamu yang berhasil menorehkan luka
yang tidak bisa kumaafkan.
“Al, jangan lupa clappertart untuk Ria, ya” Sms Mas Mario baru saja masuk.
“Baik Mas”,
jemariku tangkas memencet keypad.
Retinaku memandangi setiap sudut
toko yang ada di mall itu, sebelum
belanja susu untuk Ria, ternyata toko kue yang menjual clappertart
berada 4 blok di depanku—Dinasty Cake. Aku memilih-milih rasa,
pandanganku terhenti pada sosok wanita yang sedari tadi memerhatikanku.
Kulitnya putih langsat, bibirnya
merekah dengan olesan lipstik merah menyala, rambutnya hitam digerai
sepunggung. Kombinasi T-Shirt dan jeans yang ia kenakan sangat serasi. Dia
cantik. Aku agak risih, pura-pura tidak mengindahkan tatapannya tetapi ia tidak
menyerah menatapku dari jarak 10 meter. Tangannya tetap memilih-milih kue
tetapi pandangannya lekat lurus kepadaku.
“Braaak”, konsentrasi pengunjung beralih pada gadis kecil di
sampingku yang menjatuhkan nampan berisi beberapa klappertart. Mungkin usianya seumuran dengan Ria—3 tahun. Seorang
wanita memakai seragam babysitter
menghampiri hendak menggendongnya, gadis kecil yang memiliki mata jelly itu
tersenyum riang dan berlari ke arahku. Larinya agak kencang karena ia berpikir
pengasuhnya akan mengejarnya. Anak kecil tidak memiliki resiko untuk jatuh
karena mereka selalu yakin akan ada yang menangkapnya. Pemikiran sesederhana
itu kadang menentramkan sekali.
Gadis mungil itu melaju cepat dan
berusaha memelankan lajunya saat akan berbelok di pojok etalase. Terlambat. Ia
kesulitan untuk menahan tubuhnya dan hampir menabrak kaca tempat kue-kue dan
menumpahkan nampannya. Aku menangkapnya dan dia langsung memelukku. Tangannya
melingkar erat dan tertawanya renyah seperti tidak menyadari bahwa sepersekian
detik jika aku tidak menangkapnya, ia pasti akan menabrak kaca dan terjatuh.
“Makasyiiiih tante”, matanya
membulat dan merenggangkan pelukannya. Ciuman kecil mendarat di pipiku. Hal itu
membuatku merasa terhormat karena telah menolongnya.
“Sama-sama sayang”, aku
melepaskan pelukannya sambil mengacak rambut ikalnya yang lebat.
Pengasuhnya sudah berdiri dengan
wajah was-was, meraih tangan anak kecil itu.
“Maafkan ya, Mbak. Seharusnya
saya menggendongnya”, babysitter-nya
merasa bersalah karena tidak menjaga asuhannya dengan baik.
“Gak papa Mbak Marni, namanya
juga anak kecil. Namanya siapa sayang?”, tatapanku beralih ke arah anak itu. Babysitter nya merasa kebingungan saat
aku menyebutkan namanya, berusaha mengingat apakah kami pernah saling bertemu
karena aku sudah menyebut namanya. Padahal aku hanya mengeja nama yang menempel
pada bajunya.
“Lara, tante”, anak itu
mengerjap-ngerjapkan matanya sambil mengulurkan tangannya mengajak bersalaman
sopan.
“Alya”, aku menyambut tangan mungilnya dengan agak
sedikit menekuk lututku agar bisa mengimbanginya.
Wanita yang daritadi
memerhatikanku berjalan mendekat. Ia menyerahkan kue belanjaannya kepada Marni
dan menyuruhnya keluar toko bersama Lara.
Wanita itu sekarang tepat berdiri
di depanku. Badannya yang tinggi semampai ditambah sepatu widges-nya membuatku lebih pendek beberapa centi darinya. Senyumnya
khas dan masih menatapku. Aku membalas tatapannya. Ia masih menyelidik.
“Kita pernah bertemu?”, aku
membuka pembicaraan.
“Belum, Al. Apa kita bisa duduk
sebentar di kursi sana sambil minum kopi?”, aku keheranan seperti Marni yang
kusebutkan namanya tanpa berkenalan sebelumnya. Kemungkinan wanita itu
mendengar saat aku berkenalan dengan Alya.
“Eh, sama aku?”, aku masih
bingung dengan permintaannya.
“Iya, aku tunggu disana ya”,
wanita itu pergi ke arah kursi yang kosong di area toko Dynasti. Beberapa saat
aku membeku dengan kebingunganku sendiri, mengingat tentang memori wanita itu.
Apakah pernah bertemu atau berkenalan sebelumnya? Aku membayar clappertart-ku dan segera menemui
menemui wanita itu.
Wanita itu menyesap kopi dan saat
melihatku mendekat , ia langsung menyilahkanku duduk.
“Aku sudah memesankanmu minum,
Al. Semoga suka”, aku semakin kaget. Wanita itu seperti mengenalku dengan baik.
Ia memesan Mocca bertabur coklat kesukaanku. Berkali-kali aku mengingat memori
tentangnya, tetapi aku gagal, karena memang aku merasa belum pernah bertemu
dengannya.
“Kita pernah bertemu
sebelumnya?”, aku mengulang pertanyaanku sebelumnya.
“Belum Al, kita berdua belum
pernah bertemu”, ia menjawab santai.
Hening kemudian. Kopi miliknya
sisa seperempat gelas lagi. Aku masih berkutat dengan rasa penasaranku, meraih
minuman mocca untuk membuatku lebih rileks. Rasanya masih sama. Mocca Dinasty
menjadi favorit pengunjung, termasuk aku. Wanita itu masih membisu, tetap mengamatiku
seperti pertama kali kami bertukar pandang saat masuk Dinasty.
Aku mulai tidak peduli dengannya,
lebih memilih menikmati mocca dan sesekali memainkan tas plastik clappertart-ku.
“Masih mencintai Dirga?”,
pertanyaannya membuat seleraku hilang. Aku menatap wanita itu dengan baik.
Hampir saja mengutuknya karena menyebut nama seseorang yang sudah hampir 4
tahun ini mencoba kuhapus sempurna. Aku marah. Tidak mengindahkan pertanyaannya
dan berusaha untuk pergi meninggalkan wanita itu. Tangan wanita itu cepat
meraih telapak tanganku, berusaha menahanku untuk tetap duduk.
Tatapanku semakin tajam mengarah
padanya, napasku pendek-pendek menahan amarah yang memuncak. Aku berusaha
mengendalikan diriku. Punggungku kulemparkan keras ke belakang sofa.
“Dia masih mencintaimu, Al”,
wanita itu membuka percakapan.
“Aku Yessy teman karibnya. Dulu
kami sekantor, tapi sekarang tidak lagi. Dia menjadi sosok yang pendiam sejak
dia menikah.....”, wanita itu menjelaskan.
“Cukup. Maksud Mbak Yessy cerita
tentang ini sama saya apa?”, Intonasiku tegas memotong ceritanya.
“Kita belum pernah bertemu, tapi
aku seperti mengenalmu lama. Bahkan saat melihatmu tadi, aku yakin bahwa itu
kamu. Dia tidak melupakanmu sama sekali. Hingga saat ini. Bahkan kemarin, waktu
ulang tahunmu yang ke-25, aku membaca suratnya untukmu yang tak pernah sampai....”
Saat lelaki brengsek itu memutuskan untuk menikah dengan wanita lain.
Aku menutup semua akses. Email, telpon dan semua akun. Termasuk pindah kuliah.
Jauh menghilang membawa nanar.
“Cukup Mbak”, sekali lagi aku
memotong bicaranya. Meskipun ada sedikit rasa senang saat mendengar lelaki itu
masih mengingatku dan mencintaiku. Tetapi selebihnya, hanya luka yang kembali
menganga yang mambuatku tidak bisa memaafkannya.
Aku mengamati wanita di depanku.
Kusorongkan badanku ke depan dan beradu dengan tatapannya.
“Aku tidak peduli
lagi tentang dia”, pernyataanku bernada amarah.
“Maafkan aku Al...”, kali ini
wanita itu menahan bendungan anakan di matanya.
“Mbak Yessy tidak perlu meminta
maaf. Aku tidak mau lagi mendengar cerita tentang dia lagi. Cukup”, aku sedikit
melunak dan mencoba bersahabat.
“Wulan, jam tanganku tidak bisa
diperbaiki, sepertinya harus.....”, suara lelaki yang tiba-tiba datang
menghampiri kami terhenti.
Hatiku yang semula telah melunak
mendadak menjadi panas kembali melihat lelaki itu dan jam tangan itu menyeret
memoriku untuk mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu. DIRGA RAHMANDIRA.
Beberapa detik dunia sekan
berhenti berotasi. “Al, ini kamu?”, lelaki itu sontak memelukku dan sekaligus
mengembalikan kesadaranku. Aku melepaskannya dengan keras.
“Apa hak kamu menyentuhku, huh?”,
ucapku kasar. Mbak Yessy menunduk masih mengusap air matanya.
“Al, 4 tahun ini aku nyariin kamu
kemana-mana”
“Lepaskan aku!”, orang mulai
melihat ke arah kami bertiga.
Aku mengambil tas dan plastik belanjaanku
bergegas segera meninggalkan tempat itu. Dirga menghalangi langkahku. Tangannya
mencengkeram kedua lenganku. “Please,
duduk sebentar. Hanya sebentar. Setidaknya mendengarkan penjelasanku. Agar kamu
tidak menyiksaku setiap waktu, Al”, ia masih tetap sama seperti dulu memiliki
cara untuk membuatku bilang “iya”.
“Aku minta maaf, Al. Kita bisa
memulainya dari awal”, Dirga duduk menyerong dari arahku. Aku masih membeku. Tangisan Mbak Yessy sudah
mereda.
“Omong kosong”, jawabku datar.
“Aku pernah melakukan kesalahan,
tetapi aku ingin menebusnya sayang”
“Jangan pernah memanggilku dengan
sebutan itu lagi. Aku jijik mendengarnya”
“Baiklah Al”, Ia mulai membuka
ceritanya tanpa basa-basi setelah tahu bahwa aku akan mendengarkannya. Telingaku
mulai panas. Air mataku tumpah.
“Al, aku khilaf melakukannya.
Hanya sekali. Percayalah. Kumohon....”, potongan cerita dari Mas Dirga yang
membuatku merasa menyesal menjadikannya orang istimewa.
Dadaku sesak sekali. Rasa benci itu membumbung. Tetapi cintaku
sebanding dengan rasa benciku, sehingga air mataku tidak mengering.
“Kalau tidak ada janin itu,
pernikahan itu tidak akan pernah terjadi. Aku pasti sudah ke Yogya menemuimu.
Tetapi, aku harus menikahi Wulan untuk bertanggungjawab”, Mas Dirga melanjutkan
ceritanya yang sempat terpotong. Ia memandang ke arah Mbak Yessy dengan tatapan
kosong. Kedua tanggannya meremas kedua tanganku. Aku terperangah.
“Namamu Yessy kan?”, aku menatap
ke arah wanita cantik yang duduk di sebelah Mas Dirga.
“Iyaa Al. Yessy Wulandari”,
jawabnya.
Badanku lemas. Mataku mulai
berkunang-kunang. Wanita yang berbicara denganku panjang lebar sejak tadi
adalah istri lelaki yang dulu kucintai dan sekarang kubenci setengah mati.
Sahabat yang dulu sering ia ceritakan sebagai sahabat karibnya. Tempat curhat
Mas Dirga saat berantem denganku. Dan itu merupakan kesalahan. Ia juga
mencintai lelaki yang seharusnya menjadi suamiku setelah aku menyelesaikan
S1-ku dulu.
“Papaaaaa...”, kami bertiga
menoleh. Lara merangkul Mas Dirga dengan hangat.
Aku berdiri. Mas Dirga pun juga
berdiri untuk menahanku kedua kalinya. Teka-teki itu berhasil kususun dan
membuat kebingunganku sirna. Lara adalah anak Mas Dirga dan Mbak Yessi. Anak yang
sempat mencuri pandangku beberapa saat yang lalu. Mengecup pipiku dan
mengucapkan terima kasih adalah hal yang membuat pernikahanku tidak pernah
terjadi. Oh Tuhan, mengapa aku harus bertemu mereka di saat aku sudah mulai
bisa memaafkan.
Mbak Yesi mencoba menggendong
Lara. Aku berdiri dan beringsut pergi tanpa sepatah kata pun. Tangan Mas Dirga
masih menahanku. Beberapa detik kemudian ia melepaskanku perlahan setelah
melihat tatapanku yang beranak air.
Mengapa aku harus mencintai
seseorang yang tidak bisa menjadi milikku? Saat aku sudah mampu berdamai,
mengapa harus bertemu lagi? ah, ternyata aku belum berdamai. Belum sepenuhnya. Karena
hatiku masih sakit sekali saat melihatnya. Aku mencoba memulai dari awal lagi
untuk berdamai. Aku akan mencobanya berkali-kali sampai aku tidak merasa sakit
lagi. air mataku bercucuran.
Tidak semua pertanyaan harus ada jawaban yang dijelaskan, Al. Cukup dengan lapang menerimanya tanpa banyak bertanya yang akan membuatmu semakin sakit.
-End-
#NulisRandom2015 #nulisbuku
Tidak ada komentar
Hai, terima kasih sudah berkunjung dan membaca! Let's drop your comments ya. Insya Allah akan berkunjung balik :)