Note :
Silakan baca cerita
lengkap dari #LoveStory seri 1 – 4 dulu ya. Dan ini adalah cerita penutup versi
Aya. Karena perannya nyomot nama saya juga (Maya sama Aya kan beda-beda tipis :p), mau nggak mau saya ngutak atik alur, plot sama settingnya, baca sampai selesai yaaaa
:D.
Pria Pembawa Gitar Itu... #LoveStory1
Pertemuan di Angkot Itu...#LoveStory2
Pertemuan Tak Sengaja Kembali...#LoveStory3
Selamat menikmati ya
:* (cium buat pembaca female doang
:p)
Pria Pencuri Hati Itu...
Terdengan suara
langkah Papa turun dari tangga dengan Mama menuju teras. Jantung saya nggak tau
kenapa seperti mau copot, berharap papa tidak bertanya macam-macam.
“Darimana Ay?”
“Ini tadi nengok
papinya temen, Pah” jantung saya masih berdegup kencang menunggu reaksi Papa,
karena saya belum pernah mengajak teman pria datang ke rumah. Bahkan teman
kuliah pun juga belum pernah ada yang datang ke rumah, suka risih ditanya-tanya.
Saya melihat wajah
pria itu masih tenang dengan sunggingan senyumnya. Belum sempat mengenalkan
pria itu kepada papa sama mama tetapi papa langsung menyapanya duluan.
“Lho, ada urusan apa
sampai ke rumah, Her?” saya bingung sekali melihat papa bertanya kepada pria
itu. Eh, tapi papa tau darimana kalau nama pria itu adalah Her? Saya malah
memanggilnya dengan inisial H saja? Malah baru tahu saat di rumah sakit kalau
nama pria itu adalah Her.
Papa menjabat erat
tangan H, dan H pun juga membalasnya.
“Tidak Pak, saya hanya
mengantar Maya pulang. Kebetulan rumah saya ada di kompleks Kenanga” H menjawab
pertanyaan papa dan saya masih bingung dengan situasi ini. Mama akhirnya juga
ikut bersalaman sembari mengingatkan papa untuk segera pergi dan mempersilakan
H untuk duduk dan menyuruhku minum teh.
“Ooh, saya pikir ada
dokumen yang harus saya tanda tangani” wajah papa tertawa meledek H.
“Pantang membawa
kerjaan pulang, Pak” jawab H sambil tersenyum.
“Yasudah, silakan
duduk. Biar Aya buatkan teh dulu. Saya mau menghadiri resepsi nikahan anaknya
Pak Imam. Siapa tahu ketularan ngadain resepsi juga” H dan Mama tertawa
mendengar kalimat Papa yang menyiratkan bahwa dia juga ingin segera mantu.
***
“Kok kenal sama papa
saya sih?” saya menyodorkan teh kepada H.
“Dunia sempit ya, May”
pria itu terkekeh setelah menyesap tehnya.
“Kok ketawa? Jawab dong
pertanyaan saya. Kenal Papa saya dimana?”
“Pak Sutjipto Mansyur
adalah direksi di perasahaanku bekerja. Beliau punya 2 putri kan? Namanya Fika
Sutjipto dan Maya Sutjipto. Eh, tapi tadi kamu dipanggil Aya ya? Emang kalo di
rumah dipanggil Aya, ya?”
“Jangan-jangan kamu intel ya, sampai kamu tahu juga sama
nama Mbak Fika” wajah saya menatapnya curiga.
“Kalian berdua itu
terkenal lho di kantor. Staff-staff di kantor saja pengen banget jadi
menantunya Pak Tjipto. Hahaha. Cuma aku nggak ngeh kalau salah satunya itu kamu. Kalau aku tahu kamu anaknya Pak
Sutjipto Mansyur, pasti aku juga ikut antri daftar melamar”
Saya diam membisu
setelah mendengar jawaban H, membuat pipi saya panas. Iya, saya suka dengan
jawabannya.
Setelah kedatangannya
ke rumah seminggu yang lalu, saya belum
ketemu Mas Her lagi. Saya sudah tidak memanggil dengan inisial lagi, lebih
nyaman memanggil namanya saja. Dan entah saya pun lupa kapan pertama kali saya
memanggil namanya dengan sebutan “Mas Her”—Her Setyawan.
Awalnya saya gelisah
menunggu sms atau telepon dari Mas Her karena seminggu tidak berkabar. Saya
enggan untuk memulai telepon atau sekadar sms. Perasaan gelisah itu mulai
terkikis saat saya disibukkan revisi skripsi. Toh dulu saat pertemuan pertama
dan kedua kami, selangnya juga cukup lama. Menurut cerita Papa, Mas Her lulusan
dari Universitas Groningen. Mungkin pertemuan pertama kami dulu saat dia pulang
ke rumah. Dan jeda 2 tahun tidak bertemu, dia kembali melanjutkan masternya.
Ini asumsi saya saja lho. Katanya kalau sedang jatuh cinta, semua bisa
dihubung-hubungkan. Eh, memangnya saya
jatuh cinta sama dia?
“Hallo Ay, sehat kan? Sorry nggak ngasih kabar. Keluar makan
bakso yuk nanti jam 12? Aku jmpt di kampus y?”
Saat membaca sms di
layar android, ada perasaan senang yang menyelimuti. Tetapi kenapa dia harus
bilang sorry? Bukan suatu kewajiban
kok untuk bertukar kabar? Siapa saya untuk dia? Dan yang paling membuat pipi
saya memerah saat membaca panggilan “Ay”. Baru kali ini dia memanggil saya
dengan panggilan itu, hanya Papa, Mama dan Mbak Fika yang selama ini memanggil
saya dengan sebutan itu. Saya memasukkan android ke dalam tas setelah membalas
smsnya.
Dia menjemput saya di
kampus. Siang itu ia mengenakan kemeja biru bergaris dengan celana bahan hitam
polos. Sepanjang perjalanan saya hanya diam karena bingung mau memulai
percakapan.
“Kamu bawa berkas apa,
Ay? Banyak banget” pertanyaan Mas Her memecah kebisuan kami.
“Oh ini, tadi habis
njilid spiral skripsi. Minggu depan insya Allah saya sidang skripsi”
“Waaah, selamat ya.
Semoga lancar sidangnya. Kalau nggak sibuk kerjaan kantor, aku dateng deh”
Jawabannya membuat
saya kikuk, seperti pertama kali saat dia memandangi saya di angkot. Mobil
terus melaju dan setelah menerobos macetnya ibukota, kami berdua sampai di
tempat yang dipilih Mas Her.
Pengunjung tempat itu
rame sekali. Entah karena makanannya yang enak atau karena kami datang pas
makan siang. Saya memilih duduk di meja lesehan agar lebih santai. Mas Her
menyusul dengan membawa buku menu. Saya memesan mie ayam bakso dengan sawi
porsi banyak, hehe. Sedangkan Mas Heri memesan bakso kosongan, jadi hanya bakso
kuah tanpa mie. Suasana agak canggung, tetapi saya mengacungi jempol empat
untuk pria ini yang mampu mencairkan suasana dan obrolan menjadi lepas setelah
beberapa hari tidak berkomunikasi.
Banyak yang kami
obrolkan diselingi dengan tawa renyah Mas Her yang menceritakan kesibukannya
akhir-akhir ini. Pesanan kami pun datang. Saya mencoba kuah mie baksonya.
Sesaat saya melirik pria yang ada di depan saya sambil tersenyum.
“Enak kan?” dia bisa
menebak apa yang ingin saya ucapkan. Bakso ini memang benar-benar lezat. Mie
dan kuahnya juara. Mangkok kami berdua bersih tidak bersisa.
“Kapan-kapan kesini
lagi yaaa” ungkap saya spontan. Mas Her menjawab dengan anggukan.
“Aaay” Mas Her menatap
saya dan tiba-tiba jantung saya mau copot saat bola mata kami beradu. Tangan
kanan saya memainkan sedotan, mengaduk es batu yang sudah hampir habis.
“Sejak bertemu di
angkot 4 tahun yang lalu, saya sudah menaruh perasaan sama kamu. Saat kamu
bilang rumah kamu di Jalan Akasia dan berkrei, saya mencari setengah mati dan
berharap bertemu kamu. Sampai saat liburan saya habis dan harus berangkat ke
Belanda untuk kuliah, saya masih berharap bisa bertemu sama kamu lagi. Dan
ternyata benar, saya diberi kesempatan untuk bertemu kamu lagi. Saya nggak tahu
perasaan macam apa yang saya rasakan waktu itu, tetapi saya tidak bisa
menutupinya lagi”
Saya bingung, jantung
saya berdegup kencang sekali. Suara ramai pengunjung tidak membuat saya tuli
dengan suara Mas Her dan saya mendengarnya dengan jelas tiap kalimatnya.
mendadak saya benci kenapa Mas Her menyebut dirinya dengan “saya” bukan “aku”
seperti biasanya. Saya hanya tercekat mendengarkan tanpa tahu harus membalasnya
apa. Yang saya ketahui dalam hati, pria itu sedang berbicara serius.
“Maya Sutjipto, maukah
kamu menjadi istri saya? Saya tidak bisa berjanji untuk menjadi suami yang
baik. Tetapi saya berjanji akan membahagiakanmu sepanjang hayat saya”
Saya hampir tersedak.
Mata Mas Her masih lekat menatap saya. Saya pikir, minggu ini saya tidak bisa
tidur karena memikirkan sidang skripsi. Tetapi sepertinya saya salah, ucapan
Mas Her ini mungkin yang akan menghantui saya di minggu ini.
“Saya belum bisa
menikah, Mas”
“Kamu sudah punya
pacar?”
“Bukan.. Maksud saya
bukan itu. Saya tidak bisa melangkahi Mbak Fika. Kalau saya menikah duluan, apa
kata orang nanti. Saya juga menghargai perasaan Mbak Fika”
“Kamu masih punya
waktu, Ay. Saya tunggu di 4 September ya. Tidak perlu buru-buru menjawabnya.
Kalaupun kamu bilang tidak, saya akan tetap menghargai. Mungkin sebulan ini
saya akan sibuk sekali karena ada beberapa proyek yang harus saya selesaikan di
luar kota. Jadi, semangat ya untuk sidang Minggu depan. Doa saya insya Allah
sampai. Saya berharap bisa datang, tetapi kalaupun tidak di kampus, nanti saya
main ke rumah ya”
Jujur, perasaan saya
campur aduk setelah makan siang itu. Dan ternyata menggunakan kata “saya” itu
sangat keki sekali kedengarannya. Meskipun
saya sering melakukannya. Tetapi untuk
Mas Her, dia tidak cocok menggunakannya. Mending kata “aku” atau “gue” sekalian
yang terkesan santai.
***
Euforia sidang skripsi masih terasa. Saya akhirnya lulus dengan nilai A. Malam
setelah sidang skripsi, Papa, Mama dan Mbak Fika sengaja makan malam bersama di
rumah. Mama masak spesial kesukaan kami. Papa mengucapkan selamat, Mama dan
Mbak Fika pun tidak ketinggalan.
Setelah makan malam,
kami berempat gegoleran di ruang
keluarga. Mbak Fika yang hari ini tidak ada jadwal visit di Rumah Sakit, sedari sore menghabiskan waktu di rumah
membantu Mama masak-masak. Kalau saya? Dari siang setelah sidang, saya sibuk
ketemu dengan teman-teman kampus, mereka minta makan-makan di Serba Sambal. Saya
masih memakai dress code hitam-putih
kayak seragam PNS :D. Selepas magrib baru sampai rumah dengan perasaan lega
setelah melewati hari ini yang sebelumnya saya bayangkan mencekam.
“Ay, tadi sore ada
cowok ganteng maen ke rumah”
“Siapa Mbak Fik?”
“Her”
“Tadi ngasih berkas ke
Papa sih, cuma dia juga ngasih bingkisan buat kamu. Cie cie cie, sekarang Aya udah mulai lope-lope an sama cowok”
Ada perasaan tidak
nyaman menyelusup. Perasaan yang saya jaga seminggu ini agar tidak mengganggu
sidang skripsi ternyata sedikit berhasil. Duh, kenapa cuma sedikit? Karena
sebenarnya saya melakukannya dengan perjuangan. Malam-malam saya seperti mimpi
buruk karena ingat tanggal 4 September. Saya ingin sekali menikah, tetapi tidak
tega melangkahi Mbak Fika. Melihat wajah Mama dan Papa yang nantinya akan malu
dengan perkataan orang-orang, saat putri bungsunya melangkahi kakaknya.
Dada saya mendadak
sakit sekali membayangkannya. Akhirnya saya memilih ke kamar. Saya membenamkan
wajah saya ke dalam bantal dan menangis sepuasnya. Tiba-tiba ada yang mengetuk
pintu kamar. Saya bergegas mengusap air mata yang beranak-pinak dan segera
membuka pintu.
“Ini nggak mau dibuka,
Ay?” Mama membawakan bingisan berpita pink. Saya mencoba tersenyum. “Kamu habis
nangis ya?” Saya mencoba mengelak tapi insting
Mama lebih peka. Saya tidak menjawab malah mencoba mengalihkan perhatian dengan
pura-pura membuka bingkisan yang dibawa Mama. Bukan membaik, tetapi hati saya
tambah sakit melihat bingkisan berupa kotak musik yang berisi bride & groom yang berputar-putar. Saya
membaca pesannya juga “Semoga ilmunya bermanfaat ya, Ay J”. Membaca nama pengirimnnya membuat
hati saya semakin sakit.
Tanpa diberi aba-aba
saya menangis dan memeluk Mama. “Lho kok malah nangis. Ada apa?” tangisan saya
tambah menjadi.
“Ssssttt... udah ah.
Papamu bilang, Her anak yang baik dan pantas menjadi imam kamu, Nak. Jadi kamu
jangan berpikir macam-macam untuk menundanya”
“Tapi Maaah...”
“Tidak ada ibadah yang
saling mempersilakan” Mama memotong kalimatku. “Kamu paham tentang itu.
Mbakyumu rela kalau kamu duluan menikah. Papa sama Mama juga tidak keberatan.
Jadi kamu jangan berpikir macam-macam tentang bayangan yang kamu buat sendiri”
Pintu kamar saya
berderit. Mbak Fika menghampiri saya. “Kamu apa-apaan sih, Ay. Kalau kamu cinta
sama Her, yaudah nikah aja duluan gak apa-apa. Ikut sama Her ke Belanda bulan
depan” pernyataan Mbak Fika membuat saya membelalakkan mata.
“Belanda?”
“Iya, Ay. Her
dipromosikan untuk pengembangan perusahaan di Belanda. Makanya itu dia ngelamar
langsung ke Papa dan minta ijin langsung ke Mbak Fika tadi sore. Tadinya mau
ketemu kamu juga, tapi kamu belum pulang. HP-nya hilang, jadi nggak bisa
ngehubungin kamu” saya memeluk Mbak Fika. Beban yang menggayut di hati saya
seminggu ini seakan mencair.
***
“Saya nggak mimpi kan
ya?”
“Kenapa emang?”
Pria yang mengenakan denim dan sepatu kets di samping saya tersenyum.
“Sebulan lalu saya
dibuat tidak bisa tidur oleh pria yang tiba-tiba mengajak nikah, trus seenaknya
pergi tanpa kabar. Saya menghadapi sidang skripsi dan jawaban lamaran itu
dengan hati yang tidak enak sendirian. Tetapi kemarin bahagia saya dibayar
lunas saat akad, sekarang ada di bandara menunggu boarding pesawat menuju
Belanda.... Dan..”
Telunjuk Mas Her
menutup bibir saya. “Udah ya, jangan banyak bicara lagi Ayaang. Terima kasih
sudah mau menjadi istri Mas. Menemani Mas. Terima kasih...” Mas Her mencium
kening saya lembut.
“Terima kasih juga
karena Mas Her telah menggenapkan dien Aya ya” saya menggenggam tangannya erat.
Dan menanggalkan kata “Saya” saat bercakap-cakap dengan pria yang pernah saya
temui di angkot. Dan sekarang menjadi suami saya.
-END-
"Tulisan ini diikutkan dalam Giveaway Kisah Cinta Bunda 3F - #LoveStory"
Sweet banget sihhhh... menikah tanpa pacaran itu keren.. dan gentle man versi sy krn langsung berani menghadap ke ortu. Hihihi
BalasHapuskeknya aku harus berguru padamu Mbak Ruli :))))
HapusBaru ini baca yg endingnya happy :-)
BalasHapusHihihi, biar nggak melow galaaau Mbak Hana :D
HapusHappy ending :D
BalasHapusCc ke Mbak Maya nih, Mas :D
HapusYey, akhirnya nikah
BalasHapuspuanjang
:))
Hapusyah cuma sampai 5... dibuat juga donk yang versi The Series :D
BalasHapusMas Irwin yang bikin yak biar kayak tersanjung :p
Hapusaaaa, banyak giveaway..pengen ikutan yg ini jugaa
BalasHapushihihi, semangat Mbak Niaaa! :)
Hapuswah suka sama endingnya :)
BalasHapushihi, mau bikin yg sad ending gak tega Mbak :D
HapusWah cie cie ... fiksinya keren
BalasHapusMakasih Mbak Nisa :)
HapusAkhir kisah yang membahagiakan :)
BalasHapusHwaaaahhhh Melting uyyy ssma Her
BalasHapusHhheeee
Akaka, mau jadi Maya yak? :p
HapusBikin buku dong hehhehdh
BalasHapushihihi, duet sama Mbak ya :))
Hapusjodoh gak kemana. Dari ketemu di angkot akhirnya berjodoh :D
BalasHapusAjaibnya jodoh Mbaaak :))
HapusEndingnyaa manisss.. kemarin baca punya orang versi sedihnya hehe
BalasHapusskrng kayaknya uda biasa aja ya mba saling melangkahi tp kalo di jawa tetap ada adatnya
Iya Ay, di Jawa adatnya masih kental syekaliii, hehe
Hapuskalau menurut agamam memang seperti inilah ya, meniah tanpa pacaran tapi taaruf. good luck ya. Maaf baru bisa mampir ke blognya
BalasHapusAaa, Makasih Mbak Lidya :*
Hapussukses ya mbak GA nya, salut sama teman2 yang bisa nulis non fiksi dan fiksi
BalasHapusMakasiih, Mbak Ev :))
Hapuskereenn,,, jadi ikutan tersapu.. eh tersipu ;;)
BalasHapus