Featured Slider

Pernikahan Tahun Kedua

Ujian yang disambut sukacita adalah pernikahan


Sebenernya nggak mau menuliskan tentang ini, tapi kok ya sayang banget melewatkannya. Saya inget banget (meskipun tidak berusaha mengingatnya), tapi memang auto-remember kalo tanggal 25 Desember saya pernah melakukan akad nikah 👰. Entah kenapa, saya bisa saaaaangat detail tentang sesuatu, mulai dari tanggalnya, momennya dan segala pernak perniknya, salah satunya adalah momen nikah. 

2 tahun nikah ngapain aja? Kalo bisa dibilang, saya kayak ospek masuk perguruan tinggi. Kenalan sama kampusnya yang bernama keluarga, kenal dekan dan civitas akademikanya (keluarga suami). Ini kenapa analoginya begini ya? Tapi memang benar. Saat memutuskan menikah dengan seseorang, kita juga harus siap menikahi keluarganya.

Di tahun pertama, kami berdua jauh-jauhan, Jakarta-Klaten-Solo, di tahun kedua, kami ngumpul di Klaten. Di tahun kedua ini, kami sudah bertiga dengan Ray. Hadiah dari Allah yang membuatku naik level karena belajar hal-hal baru sebagai ibu.

Baca juga: Pernikahan tahun pertama

Komunikasi tanpa kode

Komunikasi menjadi kunci penting kami, terutama saya yang sukanya main kode. Ada 2 hal mendasar yang menjadi perbedaan saya dan suami. Perasaan saya lebih peka dan lebih tanggap harus ngapain dalam situasi tertentu. Saya bisa tahu seseorang sedang marah dan menganalisis sebab marahnya karena apa. Sifat ini ada plus minusnya, plusnya saya bisa lebih berempati, minusnya saya sering pusing sendiri karena sering menebak nebak karakter seseorang. Fix, kebiasaan ini turunan dari Bapak saya.

Kalau tipe suami, dia lebih logis. Kalau mau sesuatu, ya bilang, jangan dipendam. Huhu. Saya ngarepnya kalau dia itu paham apa mau saya karena itu hal-hal yang umum. Misalnya, saat Ray nempel seharian sama saya, pengennya dia inisiatif megang. Tapi dia punya pandangan kalau Ray ini beneran nggak mau dipegang orang lain, termasuk papinya. Jadi dia nggak nawarin untuk menggantikan.

Baca juga: Anak bau tangan ibunya. Trus kenapa?

Saya menggugu di kamar karena saking capeknya nggendong Ray, capek hati kenapa suami nggak nawarin nggendong. Huhu. Dan setelah kami bicarakan, ternyata maksud kami berbeda. Akhirnya, saya nggendong Ray, suami memijat tengkuk saya sambil bilang (((SABAAAAR))). Trus, ada kelanjutannya "Kalo Adik butuh sesuatu, lagi sebel, mendingan diomongin, jangan dikodein, biar Mas tahu". Atau kalau beneran saya kadung marah, hampir selalu "Mas salah lagi ya? Di bagian mana? Coba bilang". Yakali, marah dan sebel harus bilang :((

Ternyata saya sering capek sendiri kalo main kode, atau mengendap keinginan. Saya belum bisa lepas dari kebiasaan "mengkode" ini. Tapi pelan-pelan saya belajar berkomunikasi dengan baik. Saya sering sebal karena harus menerjemahkan keinginan Bapak yang suka mengkode, mungkin suami juga sebal kalau dia harus menjelma jadi cenayang meraba keinginan saya. Dan saya memposisikan menjadi dia. Oke, kuharus belajar komunikasi tanpa kode. Katakan saja sejujurnya *NYANYI*.

Kompromi tingkat tinggi

Tidak apple to apple membandingkan jobdesk suami dan istri. Mendingan dilakukan sebisanya siapa (suami atau istri) dan tidak menghitung lebih capek siapa. Kalau salah satu tidak bisa melakukan suatu hal, ganti dengan hal lain.

Awal punya Ray, waktu saya tersita untuk mengurusnya. Nyuci, nyetrika, nyapu berasa borongan. Adanya komunikasi yang clear, semula merasa kerjaan bertumpu di saya, setelah dibagi, kami berdua sama-sama enak.

Memegang Ray itu sudah 1 pekerjaan sendiri. Mandiin, nyusuin, nidurin, dan segala kebutuhannya hampir selalu sama saya. Apalagi 4 bulan pertama, saya mati-matian adaptasi karena Ray hobby begadang siang malam dan nyusunya saaaaangat kuat. Tiap 1-2 jam menyusu. Kalau habis magrib tidur sebentar (buat ngecharge energi), jam 10 malam sampai shubuh ngajak main begadang.

Dan pernah, paginya hanya tidur setengah jam trus bangun sepanjang hari. Kalau tidur harus dipangku, kalau ditaruh di bed langsung bangun. Ini anak kenapa nggak ada capeknya, huhuhu. Karena siklus Ray yang begitu, saya sempat mengalami baby blues bahkan hampir Postpartum Deepression. Huhuhu.

Karena mengurus Ray, nyuci, nyetrika diambil alih suami. Emosi saya labil tingkat tinggi. Sering minta diantar pulang ke rumah ibu. Dan yang paling absurd minta naik kereta. Kalau bukan kompromi dari suami, mungkin di usia Ray 2.5 bulan nggak diijinkan naik kereta meskipun cuma ke Jogja, ahaha.

Sebelum 40 hari, saya juga udah pergi-pergi ke alun-alun. Hanya di dalam mobil saja beli batagor trus pulang. Saat saya tiba-tiba nangis sendiri, dia memeluk dan memijit tengkuk. Saya sadar sedang baby blues bahkan hampir kena PPD. Makanya saya mencari informasi tentang itu dan sharing sama suami. Makanya, dia menjadi support system saya untuk "tetap waras" ngurus anak.

Alhamdulillah, usia 5 bulan Ray tidurnya sudah kondusif. Saya juga sudah terbiasa dengan begadang (ditemenin suami). Saya menikmati perkembangannya dan "menerima" emosi yang kadang bergejolak. Nangis ya nangis, kalau kesel ya ngomong agar tersalurkan.

Buat bapak-bapak, baby blues dan PPD itu bukan hoax. Jadi kalau istri kalian sedang mengalaminya (semoga saja tidak), please temani dia, peluk erat dia. Jangan menganggapnya manja dan mengada-ada. Percayalah, istri kalian juga sedang melakukan win-win solution terhadap dirinya sendiri. Mengalaminya sendiri, saya sempat kehilangan makna kebahagiaan menjadi istri dan ibu. Huhuhu

Melihat sesuatu dari sudut pandang berbeda

Tahun 2018, kami berdua jadi freelancer. Bagi tetangga kami, kami berdua nggak punya kerjaan, ahaha. Makanya, tiap ditanya kerja apa yang notabene basa basi, saya bilang "di Rumah momong Ray". Case closed, ga ada pertanyaan lain. Lha kalau saya cerita, mereka juga nggak mudheng, kesannya nanti saya cerita apa yang saya kerjain kok bisa dapat duit padahal di rumah.

Saya juga nggak mencoba meluruskan kalau mereka memiliki kesan seakan-akan kami pengangguran. Trus gimana perlengkapan buat anak? Jangankan ke tetangga, awalnya orangtua saya sendiri sering menanyakan "Kamu butuh apa, wuk?" (pertanyaan halus pengganti "kamu punya uang nggak? Ini lho, bapak ibu punya, dipake aja).

Padahal kami berdua merasa cukup, makan enak, keperluan Ray juga cukup. Bekerja di rumah, nggak pake seragam dan nggak punya kantor bukan berarti PENGANGGURAN lho ya, ahaha. Untungnya, orangtua memahami pilihan kami saat ini.

Apakah akan selamanya freelancer? Enggaaaaak. Karena jujur, saya butuh penghasilan tetap. Sebenarnya suami sempat ditawari untuk bekerja kantoran lagi, cuma sayangnya belum pas. Nggak pas lokasi kerja atau nggak pas di hati dia (passion). Nah, kalo saya lagi nunggu pengumuman akhir cpns. Keluarga besar seneng banget karena lokasi kerjanya di Solo, dekat keluarga. Rasanya mereka yang paling greget menyambut cpns an tahun ini.

Setahun ini, kami berdua belajar melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Beberapa penolakan yang sempat membuat saya merasa down, suami selalu mengusap-usap kepala saya dan bilang "Nggak apa-apa, coba lagi".

Setahun pernikahan ini, saya banyak mendapatkan insight baru dari suami. Dan di bawah ini beberapa contohnya.

Birul walidain nggak setengah-setengah

Saya sempat merasa worry karena kami berdua menjadi freelancer. Konsekuensinya adalah pendapatan tidak menentu. Jadi saya harus pandai-pandai dalam mengatur keuangan. Berbeda dengan suami. Dia woles banget dan tidak menyesal resign dari pekerjaannya. Untuk beberapa orang, pikiran tersebut sangat nyeleneh. Istri hamil kok malah resign, ahahaha.

Baca juga: Hal yang Membuat Bapak Ibu Bahagia

Ibroh pertama adalah kami berdua benar-benar birul walidain sama orangtua. Baik orangtua saya maupun dari suami. Kapan lagi coba, bisa nemenin kemana saja? Kata suami. Kami berdua menemani bapak ibu entah cek ke rumah sakit atau makan bersama.

Kami selalu meyakinkan mereka bahwa tidak ada kamus merepotkan dalam keluarga. Karena kadang-kadang mereka sungkan bilang kalau butuh sesuatu. Takut merepotkan kami, huhu.


Menyamakan visi dan misi pernikahan (lagi)

Menikah itu juga berarti kita belajar seumur hidup. Kita dibuat takjub dengan hal baru yang harus kita pahami agar rumah tangga tetap melaju dan tidak karam di tengah jalan. Contoh saja suami yang ingin resign dari pekerjaan. Sebagai istri bagaimana harus menyikapi? Bagaimana ke depannya?

Dalam perjalanan, kami sepakat mengurangi riba. Salah satunya tidak mengambil KPR. Hal yang semula membuat saya worry, "Masa iya beli rumah ga bisa pake KPR? Kan mahal?", huhu. Tapi lama-lama saya paham dan ikut mendalami tentang ini. Kami baru menerapkan hal ini di keluarga kami tanpa nyinyirin yang lain.

Lha emang awalnya nggak sama visi misinya? Untuk hal-hal yang bersifat prinsip, alhamdulillah sejalan. Tapi seiring berjalannya waktu, ada perbedaan diantara kami. Saya pribadi bersyukur perbedaan itu masih bisa selaras. Apakah mengganggu? Awalnya iya, tapi dengan kompromi, semuanya menjadi luwes.

Menemani masa emas perkembangan dan pertumbuhan Ray

Yang tidak kalah penting ketika kami berdua menjadi freelancer adalah kami berdua bisa menemani Ray di usia golden age nya. Sampai saat ini, Ray hampir 24 jam sama saya. Dia juga tidak kekurangan kasih sayang Papinya karena memang kapan pun waktu mau bermain, Papinya bisa.

HP kami berdua banyak foto dan video mengenai tumbuh kembang Ray. Dan hal ini saaaangat kami syukuri.

Komitmen pernikahan

Dari awal pernikahan, meskipun banyak kompromi tingkat tinggi, ada hal-hal prinsip yang tidak bisa diganggu satu sama lain. Salah satunya, saya menganut prinsip monogami. Saya tidak memaksakan suami untuk mengikuti saya, tapi kalau itu diingkari, berarti hubungan selesai, na'udzubillah.

Kelihatan adem ayem bukan berarti bebas dari masalah. Kami berdua saling belajar. Dalam berjalannya waktu, saya tidak percaya penuh tentang pernikahan. Mungkin rasionya adalah 90% percaya, dan 10% nya merasa abu-abu (tidak percaya kalau pernikahan itu membahagiakan).

Saya pernah merasa takut, benar-benar takut, kalau prosentase 10% itu mengikis. Makanya, saya selalu belajar tentang komunikasi dan respek (yang berkali-kali masih remidi). Saya selalu bilang tentang perasaan saya, pemikiran saya, apa mau saya, kemudian menyelaraskan dengan suami.

Apakah selalu sama? Tidak. Dan kalau ada satu hal yang belum ketemu ujungnya saling setuju, biasanya kami membiarkannya dulu dan tidak memaksakannya.

Kami tidak mau terlihat baik-baik saja namun dalam hati menyimpan bara yang membara.

Jadi, semoga kami bisa saling belajar untuk senantiasa bertumbuh sama-sama. 



5 komentar

Hai, terima kasih sudah berkunjung dan membaca! Let's drop your comments ya. Insya Allah akan berkunjung balik :)