Engkau menciptakannya dengan cinta dan Engkau juga yang memanggilnya karena rindu...
Menuliskan penggalan kalimat yang sempat ditulis Mas Bedul di whatsapp story, lagi-lagi membuat genangan di mataku. Sudah hampir 2 Minggu kepergian Bapak, semakin kuat rasa ikhlas itu menguji. Ah iya, sabar juga yang menantang menuntut pembuktian. Ikhlas dan sabar katanya menjadi kunci. Teorinya begitu, tapi saat ini aku disuruh praktik.
Memori Bersama Bapak
Sabtu bersama Bapak adalah zargon me time kami. Karena hampir setiap Sabtu, aku mengagendakan makan bersama atau mengantarkan beliaucheck up rutin bareng Ibu. Makanya, aku pikir Sabtu ini aku sudah bisa memulai pekerjaan yang tertinggal. Ternyata tidak. Setelah google photo milikku menarik mundur momen satu tahun lalu. Iya, memori bersama Bapak.
Hari ini, satu tahun yang lalu, bahkan aku masih ingat percakapannya. |
Akhirnya, aku ingin mengurai pelan-pelan melalui tulisan ini. Agar lebih lega dan siapa tahu aku bisa menang menaklukkan bab sabar dan ikhlas.
Bapak,
Setelah flash back lagi, ternyata tanpa sadar aku selalu menyelipkan Bapak di setiap keputusanku. Saat aku galau-galaunya lulus kuliah, mau kuliah lagi atau lanjut kerja, Bapak cuma bilang "Kerja dulu saja, Ndhuk, cari pengalaman". Tanpa babibu, aku menyimpan formulir pendaftaran S-2 dan mengemas baju ke dalam koper untuk ikut ke Jakarta. Untuk mencari kerja. Waktu itu aku sudah menjalani hari pertama ujian TPA di pasca UNS, dan Minggu depannya ujian di UGM. Dua-duanya aku tinggalkan tanpa kuteruskan. Kalau dipikir-pikir sekarang, kenapa dulu ga nyobain dulu sampai selesai? Nego sama Bapak buat kuliah lagi?
Saat aku menyadari mimpi buat kuliah lagi, aku memutuskan buat pulang, padahal saat itu aku jatuh cinta setengah mati sama Jakarta dan ingin berkarir disana. Aku memilih Solo biar bisa dekat sama kamu, Pak.
Memilih pekerjaan, scope wilayahnya sudah aku sortir jadi Solo-Klaten-Jogja kayak bis Mira. Padahal Bapak tahu, mimpiku dulu pengen jadi diplomat keliling dunia.
Membeli rumah, aku dan suami survey HANYA sekali dan langsung jatuh hati. Hanya karena di ujung jalan dibangun mushola yang bisa Bapak dan ibu pakai untuk jamaah saat ikut dengan kami tinggal di Solo *cryyyyyyyyyyyy*.
Dan saat aku memutuskan beli mobil, trus pengin belajar nyetir sendiri, itu juga karena pengen bisa nganterin Bapak sama Ibu kemana-mana. Nganter check up leluasa, nganter makan keluar kalau lagi nggak selera makan. Sesederhana itu, Pak. Padahal sebelumnya aku gagal berkali-kali belajar nyetir dan lebih nyaman naik kereta atau naik motor. Dan saat ini, aku mati-matian menata hati kalau mau belajar nyetir mobil. Karena pasti aku inget lagi sama Bapak.
Ibu sesekali tergugu, karena setiap saat inget Bapak. Saat selera makan Ibu hilang, kemarin aku memutuskan untuk beli sop iga yang menurutmu lezatnya tiada dua. Kami datang rombongan saat sepi. Saat semua makanan tersaji, Ibu tergugu lagi. Aku menghela napas panjang lagi, menghampiri Ibu dan memeluknya tanpa bicara. Kami menangis bersama-sama sampai lega. Bukan karena kami tidak ikhlas, tapi dadaku benar-benar sesak sekali, Pak.
Mas Bedul bilang, kalau meskipun Bapak sudah pergi, tapi tetap selalu ada di hati kami. Mataku sembab sekali. Hatiku remuk entah tidak terperi. Banyak orang memintaku kuat dan semangat. Semakin menyugesti kuat dan semangat, rasanya semakin jatuh lagi dan lagi.
Tidak ada komentar
Hai, terima kasih sudah berkunjung dan membaca! Let's drop your comments ya. Insya Allah akan berkunjung balik :)