BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia yang mempunyai penduduk dengan mayoritas beragama Islam, adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, dalam diri setiap muslim tertanam kewajiban untuk menegakkan pilar Agama Islam yang lima atau Rukun Islam, yaitu Syahadat, Sholat, Zakat, Puasa, dan Haji. Fokus kepada zakat, yang secara fungsi memiliki hakekat membagi harta dari yang kaya atau kelebihan dalam harta untuk diberikan kepada yang lebih membutuhkan, berdasar fungsi tersebut tidak salah apabila zakat dapat dikategorikan sebagai senjata melawan kemiskinan. Konsekuensi wajib dalam pelaksanaan zakat, membuat wajib zakat menanggung dosa apabila tidak melaksanakannya.
Membayar zakat merupakan suatu kewajiban bagi umat islam. Tetapi adanya Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 Tentang Zakat, ternyata belum dapat membantu untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat Indonesia, mulai dari pemungutan wajib zakat hingga penyaluran zakat yang terangkum dalam Undang-undang tersebut, tetapi tidak mempunyai kekuatan dalam pemaksaan, seperti halnya pemaksaan dalam pemungutan pajak. Hal tersebut menjadikan potensi zakat dalam tujuannya kurang maksimal, terbukti dengan belum adanya pengurangan masyarakat miskin yang signifikan.
Secara lebih rinci, pada bulan Maret tahun 2008 penduduk Indonesia yang masih berada di bawah garis kemiskinan sebesar sebesar 34,96 juta orang (15,42 persen), sedangkan pada bulan Maret tahun 2007 jumlah penduduk miskin sebesar 37,17 juta orang (16,58 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 2.21 juta orang. (Berita Resmi Statistik No. 37/07/Th. XI, 1 Juli 2008). Hal tersebut memang menunjukan kemajuan dalam upaya pemerintah mengentaskan kemiskinan, tetapi angka tersebut belum menjadi upaya maksimal terhadap pendayagunaan zakat, terutama pendayagunaan zakat profesi di Indonesia untuk mengentaskan kemiskinan, mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.
Menurut Eri Sudewo, (Ketua I BAZNAS) potensi zakat ansich di Indonesia sebesar dalam kisaran antara 1,08-32,4 triliyun pertahun, dengan asumsi terdapat 18 juta Muslim kaya dari 80 juta Muslim yang menunaikan zakat perbulan dengan kisaran 50-150 ribu rupiah (http://demustaine.blogdetik.com/2008/08/27/zakat-dan-kemiskinan). Potensi tersebut berasal dari pendapatan wajib zakat yang belum terbaca detail dalam pembahasan zakat pada umumnya, berbeda dengan sumber pendapatan dari pertanian, peternakan dan perdagangan, sumber pendapatan dari profesi tidak banyak dikenal di masa generasi terdahulu. Namun bukan berarti pendapatan dari hasil profesi terbebas dari zakat, karena zakat secara hakikatnya adalah pungutan terhadap kekayaan golongan yang memiliki kelebihan harta untuk diberikan kepada golongan yang membutuhkan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Zakat_Profesi)
Potensi zakat profesi tersebut menjadi berpengaruh terhadap peran dari zakat selama ini, karena kurang terwacanakan dengan baik, wajib zakat yang sadar, melakukannya secara pribadi siapa yang membutuhkan dalam lingkungan sekitarnya, sedangkan yang tidak sadar bersikap cuek saja setelah menunaikan zakat mal dan zakat fitrah, juga karena telah menganggap melaksanakan kewajibannya dan membayar pajak penghasilan.
Maka, berdasar pemaparan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk mengetahui lebih mendalam dengan membuat karya tulis yang berjudul, “Potensi Pendayagunaan Zakat Profesi sebagai Upaya dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia”
B. Rumusan Masalah
Berawal dari adanya potensi pendayagunaan zakat profesi, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam tentang masalah tersebut. Adapun rumusan masalah yang kami angkat adalah bagaimanakah potensi pendayagunaan zakat profesi sebagai upaya dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan objektif
a. Untuk melakukan analisis potensi pendayagunaan zakat profesi sebagai upaya dalam pengentasan kemiskinan di indonesia.
b. Untuk malakukan analisis upaya-upaya yang seharusnya dilakukan dalam pendayagunaan zakat profesi sehingga dapat berpotensi mengurangi angka kemiskinan di Indonesia.
2. Tujuan subjektif
a. Guna mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, sekaligus untuk mengembangkan kemampuan penulis dalam mengkritisi persoalan-persoalan Hukum Islam terutama tentang masalah Hukum Zakat.
b. Untuk mengikuti Lomba Karya Tulis Ekonomi Islam yang diadakan oleh Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan dan pembangunan ilmu Hukum khususnya Hukum Islam mengenai potensi pendayagunaan zakat profesi sebagai upaya dalam pengentasan kemiskinan di indonesia.
b. Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi sebagai bahan acuan bagi penelitian di masa yang akan datang.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan sumbangan pengetahuan dan pemahaman bagi masyarakat atau pembaca mengenai potensi pendayagunaan zakat profesi sebagai upaya dalam pengentasan kemiskinan di indonesia.
b. Memberikan bahan masukan dan gagasan pemikiran kepada masyarakat atau pembaca mengenai potensi pendayagunaan zakat profesi sebagai upaya dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Umum tentang Zakat
Kata zakat banyak ditemukan di dalam Al Qur’an, baik dalam bentuk ma’rifah (definisi) maupun dalam bentuk nakirah (indefinite). Dalam bentuk definisi disebutkan 33 kali dan biasanya disebutkan dalam 1 ayat bersama dengan shalat sedangkan dalam bentuk indefinite kata zakat terdapat dalam 2 ayat, yaitu dalam surat Al Kahfi ayat 13 dan ayat (Yusuf Qardawi, 1993 : 39). Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan dari kekayaan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada mereka yang berhak menerimanya, dengan aturan-aturan yang telah ditentukan di dalam syara’ (Abdul Ghofur Anshori, 2006 : 12).
Zakat merupakan kewajiban masyarakat berdasarkan peraturan hukum dengan ukuran yang pasti telah ditentukan. Zakat merupakan bentuk ibadah yang amat penting dan mempunyai tujuan tertentu yang tidak hanya bernilai ibadah semata tetapi mempunyai dimensi sosial dan manfaatnya dapat dipakai sebagai jaminan sosial (Sudharno Shobron, 2003 : 222).
Zakat Profesi
Zakat profesi yaitu zakat yang dikeluarkan dari hasil profesi (pekerjaan) seseorang baik itu dokter, arsitek, notaris, ulama atau da’i, karyawan, guru dan lain-lain (Abdul Ghofur Anshori, 2006 : 86). Hasil profesi merupakan sumber pendapatan (kasab) yang tidak banyak dikenal di masa salaf, karena itu zakat profesi tidak banyak dibahas dalam kitab-kitab fiqih, khususnya dalam masalah zakat. Meski demikian, harta yang didapatkan dari hasil profesi tersebut bebas dari zakat. Sebab pada hakikatnya zakat adalah pungutan harta yang diambil dari orang-orang kaya, untuk dibagikan kepada orang-orang miskin diantara mereka sesuai ketentuan syari’at.
Menurut Yusuf Qardhawi, hasil usaha seperti gaji pegawai, upah karyawan, pendapatan dokter, insinyur, advokat dan lain-lain yang mengerjakan profesi tertentu, juga seperti pendapatan yang diperoleh dari modal yang diinvestasikan di luar sektor perdagangan seperti pada mobil, kapal, percetakan, tempat-tempat hiburan, dan lain-lainnya, wajib terkena zakat, dengan persyaratan 1 tahun dan dikeluarkan pada waktu diterima.
Nishab zakat profesi setara dengan nishab zakat tanaman dan buah-buahan, sebesar 5 wasaq atau 652,8 kg gabah, setara dengan 520 kg beras, kadar zakatnya sebesar 2,5 % (Al-kisah No. 19/10-23 September 2008). Dalam zakat profesi, penghasilan yang dihiting nishabnya adalah pendapatan bersih, yakni setelah dikurangi kebutuhan rutin, seperti untuk makan, biaya sekolah dan sebagainya. Jumlah bersih tersebut juga telah dikurangi pembayaran utang yang dimiliki sang calon muzakki (wajib zakat), baik utang kontan maupun utang cicilan yang sudah jatuh tempo. Dan zakat yang harus dikenakan adalah 2,5% dari pendapat bersihnya.
B. Tinjauan Umum tentang Kemiskinan
Menurut Alfian dalam bukunya “Kemiskinan Struktural: Suatu Bunga Rampai” penyebab kemiskinan ada dua macam :
1. Kemiskinan akibat struktur disebut sebagai kemiskinan structural yang didefinisikan sebagai “kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur social masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang tersedia bagi mereka.”
2. Kemiskinan kultural. Kemiskinan ini diakibatkan oleh nilai-nilai budaya yang dianut olah masyarakat yang ikut berperan dalam membentuk serta melanggengkan kemiskinan.
Definisi Kemiskinan :
• Schiller (1979), kemiskinan adalah ketidaksanggupan untuk mendapatkan barang-barang dan pelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan sosial yang terbatas.
• Levitan (1980), kemiskinan sebagai kekurangan barang-barang yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standard yang layak.
• Emil Salim (1981), mendefinisikan bahwa kemiskinan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok.
• Friedman (1979) , kemiskinan adalah ketidaksamaan untuk mengakumulasi basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial itu adalah: Pertama, modal produktif atas aset; Kedua, sumber keuangan; Ketiga, organisasi sosial dan politik; Keempat, jaringan sosial (network) untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang, pengetahuan dan ketrampilan yang memadai; Kelima, informasi-informasi yang berguna untuk kehidupan
(www.unsrat.ac.id/UserFiles/File/seminarPaperPDF/Ferdinand%20Kerebungu%)
Secara umum penduduk miskin dapat dibedakan menjadi dua yaitu miskin kronis (chronic poor) dan miskin sementara (transientpoor). Miskin kronis adalah penduduk miskin yang berpenghasilan jauh di bawah garis kemiskinan dan biasanya tidak memiliki akses yang cukup terhadap sumber daya ekonomi, sedangkan miskin sementara adalah penduduk miskin yang berada dekat garis kemiskinan Jika terjadi sedikit saja perbaikan dalam ekonomi, kondisi penduduk yang termasuk kategori miskin sementara ini bisa meningkat dan statusnya berubah menjadi penduduk tidak miskin.(Berita Resmi Statistik No. 47 / IX / 1 September 2006.)
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode merupakan cara utama yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian, jumlah dan jenis yang dihadapi. Akan tetapi dengan mengadakan klasifikasi yang berdasarkan pada pengalaman, dapat ditentukan teratur dan terpikirnya alur yang runtut dan baik untuk mencapai suatu maksud. Adapun pengertian penelitian adalah suatu kegiatan yang terencana yang dilakukan dengan metode ilmiah bertujuan untuk mendapatkan data baru guna membuktikan kebenaran dari suatu gejala / hipotesa yang ada. (Bambang Sunggono, 1991: 21).
A. Jenis Penelitian
Penelitian dilihat dari jenisnya ada dua macam yaitu penelitian sosiologis (lapangan) dan penelitian normatif yang hanya bersumber pada bahan kepustakaan (library research). Jika suatu penelitian dilihat dari sudut sifatnya dikenal ada tiga jenis yaitu penelitian eksploratoris, deskriptif dan eksplanatoris. Penelilitian diskriptif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memberi data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejalanya untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu didalam memperkuat teori-teori lama didalam menyusun teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 1984:10).
Berdasarkan definisi di atas, maka penelitian yang penulis susun merupakan penelitian deskriptif. Penelitian ini dimaksudkan untuk memecahkan masalah yang ada saat ini, dengan jalan mengumpulkan data dan kemudian menyusun atau mengklasifiksikannya, selanjutnya dianalisis dan menginterprestasikan data untuk kemudian diperoleh suatu hasil.
Adapun tipologi penelitian hukumnya termasuk penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Dalam penelitian ini, kegiatan tidak hanya terbatas pada pengumpulan data dan penggunaanya, tetapi lebih penting adalah analisis dan intepretasi atas data yang telah didapat agar dapat diketahui maksudnya (Soerjono Soekanto dan Sri Marmuji,1990: 15).
B. Jenis dan Sumber Data
1. Jenis Data
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka sebab penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Data sekunder tersebut diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan berupa buku referensi, jurnal, koran dan internet yang berkaitan dengan potensi zakat profesi dalam mengentaskan kemiskinan.
2. Sumber data
Sumber data merupakan tempat dimana data diperoleh. Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder yaitu tempat kedua diperoleh data. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer ialah bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat. Adapun yang digunakan dalam penelitian ini adalah Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder ialah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer, dalam Penelitian ini yang memakai buku referensi, jurnal dan media massa seperti koran dan internet.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier ialah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan hukum sekunder, misalnya bahan dari media internet, kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan sebagainya. (Soerjono Soekanto 2001:13).
C. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam suatu penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam penulisan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik studi pustaka atau collecting by library untuk mengumpulkan dan menyusun data yang diperlukan (Lexy.J.Moleong, 2005 : 216-217).
C. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Lexy J. Maleong, 2001:103). Penulis akan menggunakan model analisis interaktif (interaktif model of analisis), yaitu data yang dikumpulkan akan dianalisa melalui tiga tahap, yaitu mereduksi data, menyajikan data dan menarik kesimpulan. Dalam model ini dilakukan suatu proses siklus antar tahap-tahap, sehingga data yang terkumpul akan berhubungan dengan satu sama lain dan benar-benar data yang mendukung penyusunan laporan penelitian (HB. Sutopo, 2002 :35). Tiga tahap tersebut adalah:
1. Reduksi data
Kegiatan yang bertujuan untuk mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting yang muncul dari catatan dan pengumpulan data. Proses ini berlangsung terus-terus menerus sampai laporan akhir penelitian selesai.
2. Penyajian data
Dari data yang telah dikumpulkan dan telah direduksi kemudian disajikan menjadi informasi yang selanjutnya menjadi bahan untuk penarikan kesimpulan yang meliputi berbagai jenis keterangan.
3. Menarik kesimpulan
Setelah memahami arti dari berbagai hal yang meliputi berbagai hal yang ditemui dengan melakukan pencatatan-pencatatan peraturan, pernyataan-pernyataan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, akhirnya peneliti menarik kesimpulan.
Berikut ini kami berikan ilustrasi bagan dari tahap analisis data:
Dengan model analisis ini maka peneliti harus bergerak diantara empat sumbu kumparan. Setelah analisis data selesai, maka disusun secara logis dan sistematis. Logis artinya memenuhi prinsip-prinsip logika baik secara deduksi maupun induksi. Sedangkan sistematis berarti bahwa hasil yang didapat merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Potensi Pendayagunaan Zakat Profesi sebagai Upaya dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia
A. Potensi Zakat Profesi dalam Mengentaskan Kemiskinan
DR. Yusuf Qardhawi mengungkapkan, sedikitnya ada 5 usaha yang dapat dilakukan umat Islam dalam mengatasi kemiskinan. Salah satu dari usaha tersebut adalah dengan membayar zakat bagi yang telah mencapai batas kepemilikan harta tertentu (nishab). Zakat yang dibayarkan oleh orang-orang kaya kepada orang yang membutuhkan, tidak hanya menimbulkan kebaikan dan manfaat bagi orang yang menerima. Lebih dari itu, zakat juga mendatangkan kebaikan bagi yang menunaikannya terkait dengan fungsi zakat yang mensucikan harta, dan berpotensi untuk mendapatkan pahala yang berlipat (Yusuf Qardhawi, 1993 : 44). Salah satu zakat sebagai suatu kewajiban yang harus ditunaikan adalah zakat profesi.
Dasar hukum yang disandari masalah zakat profesi adalah Firman Allah SWT :
”... dan pada harta-harta mereka ada untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak dapat bagian”(QS Adz Dzariyat ayat 19)
”Wahai orang-orang yang beriman, infaqanlah (zakat) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik” (QS Al Baqarah ayat 267)
Serta hadist Nabi Muhammad SAW, ”Bila zakat bercampur dengan harta lainnya, ia akan merusak harta itu” (HR Al Bazar dan Al Baihaqi).
Potensi dana zakat di Indonesia pada tahun 2007 lalu mencapai Rp 9,09 triliun. Data ini diperoleh dengan asumsi pada tahun 2007 ada 29,065 juta keluarga sejahtera dari sekitar 87 persen penduduk Muslim yang membayar zakat rata-rata Rp 684.550 per tahun per orang (http://www.pkesinteraktif.com/co
ntent/view/2781/213/lang,id/). Dengan demikian, apabila seseorang dengan hasil profesinya menjadi kaya, wajib atas kekayaannya itu zakat. Namun jika hasilnya tidak mencukupi kebutuhan hidup (dan keluarganya), ia justru menjadi mustahiq (penerima zakat).
Zakat profesi memang tidak dikenal dalam khasanah keilmuan islam, sedangkan hasil profesi yang berupa harta dapat dikategorikan ke dalam zakat mal atau zakat harta. Dengan demikian, hasil profesi seseorang apabila telah memenuhi ketentuan wajib zakat, wajib baginya untuk menunaikan zakat. Apabila setiap orang yang mempunyai profesi dan berpenghasilan melaksanakan ketentuan zakat profesi, maka zakat profesi dapat berkontribusi dalam upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia apabila pengelolaannya efektif.
Bagi pegawai yang setiap bulannya mendapat gaji tetap tentu tidak sulit menghitung nishab zakatnya. Tetapi hal tersebut tidak berlaku untuk orang-orang yang pendapatnnya tidak teratur, seperti dokter, advokat, kontraktor, atau penjahit. Untuk menghitungnya, Yusuf Qardhawi memberikan 2 alternatif, yaitu : Pertama, bagi yang berpenghasilan besar diberlakukan nishab dalam setiap jumlah pendapatan atau penghasilan yang diterima. Kedua, mengumpulkan gaji atau penghasilan yang diterima berkali-kali dalam waktu tertentu, pada waktu itulah zakat penghasilan bersih dapat diambil nishabnya setelah mencapai 1 tahun (AlKisah No. 19/10 – 23 Sept. 2007).
Jenis zakat yang erat kaitannya dengan zakat profesi adalah :
1. Jika hadiah tersebut terkait dengan gaji maka ketentuannya sama dengan zakat profesi/pendapatan. Dikeluarkan pada saat menerima dengan kadar zakat 2,5%;
2. Jika komisi, terdiri dari 2 bentuk : pertama, jika komisi dari hasil prosentasi keuntungan perusahaan kepada pegawai, maka zakat yang dikeluarkan sebesar 10% (sama dengan zakat tanaman), kedua, jika komisi dari hasil profesi seperti makelar, dll maka digolongkan dengan zakat profesi. Aturan pembayaran zakat mengikuti zakat profesi.
3. Jika berupa hibah, terdiri dari dua kriteria, pertama, jika sumber hibah tidak di duga-duga sebelumnya, maka zakat yang dikeluarkan sebesar 20%, kedua, jika sumber hibah sudah diduga dan diharap, hibah tersebut digabung kan dengan kekayaan yang ada dan zakat yang dikeluarkan sebesar 2,5% (http://id.wikipedia.org/wiki/zakat_profesi).
Faktanya, zakat profesi belum dilaksanakan secara menyeluruh oleh umat Islam di Indonesia padahal zakat profesi berpotensi sebagai salah satu upaya dalam pengentasan kemiskinan di Insonesia. Hal tersebut dikarenakan lemahnya regulasi dalam mengatur, pemaksaan dan pemberian sanksi, mengingat zakat merupakan bagian dari rukun islam yang mempunyai hukum wajib bagi yang telah memenuhi nishab. Dalam zakat profesi, penghasilan yang dihitung nishabnya adalah pendapatan bersih, yakni setelah dikurangi kebutuhan rutin lainnya.
B. Upaya Pemberdayaan Zakat Profesi Dalam Mengentaskan Kemiskinan
Adanya potensi zakat profesi yang belum terwacanakan memerlukan upaya dalam memberdayakan potensi tersebut dalam mengentaskan kemiskinan, hal tersebut dapat terdiri dari :
1) Peningkatan Tingkat Pendidikan Masyarakat.
Kualitas sumberdaya manusia sangat terkait dengan pendidikan masyarakat. Kebijakan Wajib belajar sembilan tahun kiranya patut ditinjau ulang untuk ditingkatkan menjadi dua belas tahun, sehingga tuntutan minimal masyarakat berpendidikan SMA. Kebijakan ini perlu diiringi dengan kebijakan lain yang dapat menampung dan mengatasi anak putus sekolah yang cenderung menjadi anak jalanan. Dengan meningkatnya pendidikan masyarakat kualitas sumberdaya manusia menjadi lebih baik sehingga kesadaran masayarakat akan masa depan menjadi lebih baik. Kondisi ini akan mendorong masyarakat untuk lebih berkreasi dalam meningkatkan taraf hidupnya.
2) Menciptakan Lapangan Kerja.
Untuk mengimbangi meningkatnya pendidikan masyarakat pemerintah perlu menciptakan lapangan kerja. Pendidikan yang telah ditingkatkan, apabila tidak diimbangi dengan lapangan pekerjaan yang sesuai maka akan muncul penganguran. Disini dalam memenuhi munculnya pekerja atau akibat dari tingginya pendidikan, maka perlu sebuah sikap wirausaha untuk mempersiapkan diri dari segala kondisi.
3) Membudayakan Entrepreneurship.
Dengan membudayanya sikap Entrepreneurship pada masyarakat diharapakan masyarakat dapat berpartisipasi dalam mengurangi angka pengangguran, sebab mereka dapat menciptakan lapangan kerja untuk diri sendiri dan orang lain. Dengan kata lain peran entrepeneur sangat besar, yaitu: (1) menambah produksi nasional(2) menciptakan kesempatan kerja (3) membantu pemerintah mengurangi pengangguran (4) membantu pemerintah dalam pemerataan pembangunan (5) menambah sumber devisa bagi pemerintah (6) menambah sumber pendapatan negara dengan membayar pajak
Hal tersebut merupakan bagian dari konsep zakat produktif, yaitu pemberian zakat untuk memberikan dorongan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.Mengingat pemenuhan kebutuhan hidup telah diisi oleh zakat konsumtif, maka arah dari penyaluran zakat profesi ini lebih bersifat zakat produktif.
BAB V
PENUTUP
A. SIMPULAN
Berdasarkan analisis potensi pendayagunaan zakat profesi di atas, maka dapat kami simpulkan sebagai berikut :
1. Pendayagunaan zakat profesi berpotensi mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Akan tetapi hal tersebut belum menjadi pedoman fiqih bagi mayoritas umat islam di Indonesia sehingga potensi zakat profesi belum mampu optimal dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia.
2. Upaya pemberdayaan zakat profesi dalam pengentasan kemiskinan, dalam hal pemungutan dapat terlaksana seperti pemungutan zakat biasa yaitu melalui masjid, BAZ sehingga dengan potensi yang besar, zakat profesi memerlukan arah penempatan zakat yang benar-benar diperlukan oleh asnaf. Penempatan zakat tersebut tidak hanya bersifat konsumtif, melainkan dapat bersifat produktif. Seperti halnya, peningkatan tingkat pendidikan masyarakat, menciptakan lapangan pekerjaan, membudayakan sifat kewirausahaan dan lain sebagainya.
B. REKOMENDASI
1. Pemerintah harus terus mendorong upaya-upaya optimalisasi pengelolaan zakat profesi, yakni dengan membuat regulasi zakat yang dapat memposisikan peran regulator, operator dan pengawas sesuai dengan fungsinya serta adanya hukum zakat yang memaksa wajib zakat untuk menunaikan zakatnya, melihat potensi zakat cukup besar dalam upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia.
2. Pemerintah ikut mensosialisasikan bahwa zakat merupakan salah satu wadah sosial yang dapat membantu mengentaskan kemiskinan bangsa, sehingga kedermawanan menjadi style masyarakat di Indonesia.
Featured Slider
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar
Hai, terima kasih sudah berkunjung dan membaca! Let's drop your comments ya. Insya Allah akan berkunjung balik :)