BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penegakan hukum (law enforcement) merupakan salah satu satu faktor yang signifikan terhadap sukses tidaknya reformasi hukum di Indonesia. Salah satu contoh belum berhasilnya reformasi hukum di Indonesia sebagaimana diketahui, selama 10 tahun terakhir reformasi di Indonesia belum menunjukkan hasil yang belum optimal. Salah satu contoh belum berhasilnya reformasi di Indonesia adalah law enforcement dalam hal illegal logging. Hal tersebut dibuktikan dengan maraknya kasus illegal logging yang penanganannya masih lemah dan sangat memprihatinkan.
Wakil Ketua I DPRD, Komaruddin Watubun, SH menyayangkan penanganan kasus ilegal logging di Papua, di mana sampai saat ini tidak satupun pelaku yang dinyatakan bersalah, padahal, data menyebutkan bahwa negara dirugikan jutaan dollar akibat illegal logging di Papua (http://konservasipapua.blogspot.com/2008/04/jayapura-penanganan-kasus-illegal.html). Kasus ini mengindikasikan bahwa substansi hukum di Indonesia masih lemah serta adanya keterlibatan antara oknum aparatur negara dalam tindak illegal logging tersebut.
Daerah Kalimantan Barat yang juga kecolongan kayu-kayunya oleh para illegal loggers, lalu dijual ke negeri tetangga. Paling tidak, bila per hari 5.000 meter kubik kayu Ketapang masuk ke Sarawak, maka Rp 32,40 Trilyun per tahunnya uang Indonesia lari ke kantong negeri tetangga. Direktorat V Tipiter Mabes Polri menghitung kerugian negara akibat pembalakan liar seluas 7.000 hektar sebesar Rp. 202,086 Milyar. Penghitungan ini didapat dari barang bukti yang ada di 19 kapal sebanyak 9.227 meter kubik kayu. Satu meter kubik kayu bernilai Rp 18 juta atau RM 6.000. Dari BB ini saja, negara telah dirugikan senilai Rp 166,086 Milyar. Dari empat sawmill yang disita Mabes Polri milik para tersangka, terdapat barang bukti sebanyak 2.000 meter kubik kayu olahan yang nilainya Rp 36 juta (http://nopay98.wordpress.com/2008/04/10/kalkulasi
-kerugian-negara-akibat-illegal-logging)
Hutan memberikan manfaat secara tidak langsung terhadap kehidupan manusia, yang seringkali justru tidak ternilai harganya. Hutan berperan sebagai pengatur sistem tata air sehingga mampu mencegah banjir di musim hujan dan ancaman kekeringan di musim kemarau. Bahkan, dunia internasional mengakui bahwa keberadaan sumber daya hutan sebagai salah satu bagian terpenting bagi terwujudnya keseimbangan planet bumi secara lintas generasi melalui fungsinya untuk menyerap emisi berbagai gas dan polutan beracun yang menjadi penyebab meningkatnya efek rumah kaca serta menipisnya lapisan ozon.
Ironisnya, fenomena kehutanan bertolak belakang dengan realita yang ada. Hutan yang memberikan manfaat berupa sumbangan besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi tersebut, dihasilkan tanpa mempertimbangkan kelestarian hutan. Keberhasilan pengusahaan hutan justru diikuti dengan banyaknya isu kerusakan. Harus diakui bahwa Indonesia mengalami kerusakan hutan yang cukup tinggi.
Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2003, luas hutan yang rusak atau tidak dapat berfungsi optimal mencapai 43 juta hektar dari total 120,35 juta hektar dengan laju degradasi dalam tiga tahun terakhir mencapai 2,1 juta hektar pertahun. Terjadi penurunan luas hutan atau deforestasi seluas 300.000 hektar/tahun (tahun 1970-an), meningkat menjadi 600.000 hektar/tahun (tahun 1981), dan menjadi 1.000.000 hektar/tahun (pada tahun 1990). Data deforestasi nasional pada tahun 1985-1997, tidak termasuk Papua, tercatat seluas rata-rata seluas 1.600.000 hektar/tahun. Dari hasil pengamatan citra landsat tahun 2000 diketahui bahwa deforestasi periode 1997-2000 mencapai rata-rata 2.830.000 hektar/tahun untuk lima pulau besar, termasuk Maluku dan Papua (Harian KOMPAS, 25 September 2007)
Hal yang benar-benar nyata mencoreng hukum di negara kita dan membuktikan keperkasaan illegal logging adalah vonis bebas Adellin Lis tersangka kasus korupsi dan illegal logging yang divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Medan pada 5 November 2007. Pada akhirnya Mahkamah Agung memutuskan terdakwa Adelin Lis bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan menjatuhkan pidana penjara 10 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan,” kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA Nurhadi, di Gedung MA, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Jumat (1/8).
Adelin juga harus membayar uang pengganti Rp 119.802.393.040 dan US$ 2.938.556,24. Jika dalam waktu 1 bulan uang tidak dibayar, maka Adelin dikenai hukuman 5 tahun penjara. Dengan putusan ini, maka MA membatalkan putusan Pengadilan Negeri Medan No 2240 Bid B tahun 2007 yang menjatuhkan vonis bebas pada Adelin (Harian KOMPAS, 2 Agustus 2008).
Secara ilmiah patut diprediksi dengan fakta minimalisnya hukuman bagi pelaku illegal logging menjadi faktor penyebab suburnya kasus illegal logging, karena hukuman yang diputuskan tidak menyebabkan efek jera terhadap pelakunya. Berdasarkan konsep tersebut, maka pengkajian urgensi reformasi sistem hukum dalam law enforcement kasus illegal logging menjadi signifikan untuk dilakukan. Lebih lanjut perlu ditawarkan gagasan sebagai upaya reformasi hukum terhadap sistem hukum yang ada, agar tujuan hukum yaitu terciptanya kehidupan masyarakat yang tertib dan berujung pada kesejahteraan masyarakat dapat tercapai.
Maka, penulis tertarik untuk mengetahui lebih mendalam dengan membuat karya tulis yang berjudul, “Urgensi Reformasi Sistem Hukum dalam Law Enforcement Kasus Illegal Logging di Indonesia”
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah law enforcement dalam kasus illegal logging di Indonesia?
2. Upaya apa sajakah yang dapat dilakukan untuk mereformasi sistem hukum dalam law enforcement kasus illegal logging di Indonesia?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Illegal Logging
Pengertian illegal logging pada dasarnya tidak pernah secara eksplisit didefinisikan dengan tegas. Namun, terminologi illegal logging dapat dilihat dari pengertian secara harfiah yaitu dari bahasa inggris. Dalam The Contemporary English Indonesian Dictionary (Salim dalam Sukardi, 2005 : 71) illegal artinya tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum, haram. Dalam Black’s law Dictionary illegal artinya “forbidden by law ; unlawful “ artinya dilarang menurut hukum, atau tidak sah, “log” dalam bahasa inggris artinya batang kayu atau kayu gelondongan dan “logging” artinya menebang kayu dan membawa ke tempat gergajian. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa illegal logging adalah menebang kayu kemudian membawa ketempat gergajian yang bertentangan dengan hukum atau tidak sah menurut hukum (Salim dalam Sukardi, 2005 : 71).
Dalam Inpres RI Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Illegal (Illegal Logging) dan Peredaran Hasil Hutan Ilegal di Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Puting, istilah illegal logging diidentikkan dengan istilah penebangan kayu illegal (tidak sah), istilah illegal logging disinonimkan dengan penebangan kayu ilegal.definisi lain dari illegal logging adalah berasal dari temu karya yang diselenggarakan oleh LSM Indonesia Telapak tahun 2002, yaitu bahwa illegal logging adalah operasi/kegiatan kehutanan niyang belum mendapat izin dan yang merusak (Sukardi, 2005 : 72).
Illegal logging merupakan tindakan kontradiktif yang mengindikasikan wujud tidak mensyukuri karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia. Oleh sebab itu illegal logging dianggap sebagai pengingkaran terhadap pendayagunaan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila.
B. Tinjauan Umum tentang Illegal Logging
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (http://www.solusihukum.com artikel/artikel49.
Kajian mengenai efektivitas penegakan hukum tentang illegal logging dilihat dari beberapa indikasi. 5 indikasi yang mempengaruhi efektivitas penegakkan hukum adalah :
a. Hukum/Undang-Undang, mengenai pemberlakuan undang-undang seiring dengan asas dan tujuan yaitu agar supaya undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif;
b. Penegakkan hukum, kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabar di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup;
c. Sarana dan prasarana mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peraalatan yang memadai, keuangan yang cukup;
d. Masyarakat penegakkan hukum berasal dari masyarakat yang tujuan untuk mencapai kedamaiaan masyarakat, sesuai dengan maksud dan tujuan dari penegakkan hukum;
e. Kebudayaan mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik, sehingga di anut dan apa yang di anggap buruk sehingga dihindari (Soerjono Soekanto, 1985 : 5).
Menurut A. Hamzah bahwa penegakan hukum (law enforcementt) merupakan mata rantai terkhir dalam siklus pengaturan (regulatory chain) perencanaan kebijakan (policy planning) tentang lingkungan (Supriadi, 2006 : 267). Adapun program penegakan hukum lingkungan nasional mencakup :
1. Pengembangan sistem penegakan hukum
2. Penentuan, kasus-kasus prioritas yang perlu diselesaikan secara hukum
3. Peningkatan kemampuan aparat penegakan hukum
4. Peninjauan kembali undang-undang gangguan (M. Daud Silalahi, 2001 : 215)
C. Tinjauan Umum tentang Sistem Hukum
Menurut Lawrence M. Friedman, tiga pilar yang sangat penting dalam pembangunan sistem hukum, yaitu :
1. Substansi hukum (undang-undang, peraturan-peraturan, norma-norma hukum, putusan pengadilan)
2. Struktur hukum (aparatur pembuat undang-undang dan penegak hukum)
3. Kultur hukum (nilai-nilai dan sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum), kultur hukum juga bisa berupa persepsi masyarakat tentang hukum, harapan-harapan masyarakat terhadap hukum dan pandangan mereka mengenai peranan hukum dalam masyarakat, untuk berjalannya suatu sistem hukum (Esmi Warasih, 2005 : 81-82).
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode merupakan cara utama yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian, jumlah dan jenis yang dihadapi. Akan tetapi dengan mengadakan klasifikasi yang berdasarkan pada pengalaman, dapat ditentukan teratur dan terpikirnya alur yang runtut dan baik untuk mencapai suatu maksud. Adapun pengertian penelitian adalah suatu kegiatan yang terencana yang dilakukan dengan metode ilmiah bertujuan untuk mendapatkan data baru guna membuktikan kebenaran dari suatu gejala hipotesa yang ada. (Bambang Sunggono, 1991: 21).
A. Jenis Penelitian
Penelitian dilihat dari jenisnya ada dua macam yaitu penelitian sosiologis (lapangan) dan penelitian normatif yang hanya bersumber pada bahan kepustakaan (library research). Jika suatu penelitian dilihat dari sudut sifatnya dikenal ada tiga jenis yaitu penelitian eksploratoris, deskriptif dan eksplanatoris. Penelilitian diskriptif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memberi data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejalanya untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu didalam memperkuat teori-teori lama didalam menyusun teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 1984:10).
Berdasarkan definisi di atas, maka penelitian yang penulis susun merupakan penelitian deskriptif. Penelitian ini dimaksudkan untuk memecahkan masalah yang ada saat ini, dengan jalan mengumpulkan data dan kemudian menyusun atau mengklasifiksikannya, selanjutnya dianalisis dan menginterprestasikan data untuk kemudian diperoleh suatu hasil.
Adapun tipologi penelitian hukumnya termasuk penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Dalam penelitian ini, kegiatan tidak hanya terbatas pada pengumpulan data dan penggunaanya, tetapi lebih penting adalah analisis dan intepretasi atas data yang telah didapat agar dapat diketahui maksudnya (Soerjono Soekanto dan Sri Marmuji,1990: 15).
B. Jenis dan Sumber Data
1. Jenis Data
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka sebab penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Data sekunder tersebut diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan berupa buku referensi, jurnal, koran dan internet.
2. Sumber data
Sumber data merupakan tempat dimana data diperoleh. Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder yaitu tempat kedua diperoleh data. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer ialah bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat. Adapun yang digunakan dalam penelitian ini adalah UUD 1945 Amandemen, UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder ialah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer, dalam Penelitian ini yang memakai buku referensi, jurnal dan media massa seperti koran dan internet.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier ialah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan hukum sekunder, misalnya bahan dari media internet, kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan sebagainya. (Soerjono Soekanto 2001:13).
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi dokumen (library research) yaitu mengumpulkan data sekunder melalui identifikasi buku referensi dan media massa seperti koran, internet serta bahan lain yang masih ada hubungannya dengan penelitian ini. Kemudian melakukan analisis isi terhadap bahan hukum yang di kumpulkan yang bersangkutan dengan permasalahan penelitian selanjutnya dikonstruksikan secara sistematis sehingga menjadi data yang siap pakai.
C. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Lexy J. Maleong, 2001:103). Penulis akan menggunakan model analisis interaktif (interaktif model of analisis), yaitu data yang dikumpulkan akan dianalisa melalui tiga tahap, yaitu mereduksi data, menyajikan data dan menarik kesimpulan. Dalam model ini dilakukan suatu proses siklus antar tahap-tahap, sehingga data yang terkumpul akan berhubungan dengan satu sama lain dan benar-benar data yang mendukung penyusunan laporan penelitian (HB. Sutopo, 2002 :35). Tiga tahap tersebut adalah:
1. Reduksi data
Kegiatan yang bertujuan untuk mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting yang muncul dari catatan dan pengumpulan data. Proses ini berlangsung terus-terus menerus sampai laporan akhir penelitian selesai.
2. Penyajian data
Dari data yang telah dikumpulkan dan telah direduksi kemudian disajikan menjadi informasi yang selanjutnya menjadi bahan untuk penarikan kesimpulan yang meliputi berbagai jenis keterangan.
3. Menarik kesimpulan
Setelah memahami arti dari berbagai hal yang meliputi berbagai hal yang ditemui dengan melakukan pencatatan-pencatatan peraturan, pernyataan-pernyataan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, akhirnya peneliti menarik kesimpulan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penegakan Hukum (Law Enforcement) dalam Kasus Illegal Logging di Indonesia
Pembangunan berkelanjutan merupakan upaya sadar dan terencana untuk menggunakan dan mengelola sumber daya secara bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatklan taraf hidup (Gatot P. Soemartono, 1991: 69) salah satunya adalah pelestarian dan pengelolaan hutan dengan baik. Oleh karena itu, kasus illegal logging yang marak terjadi di Indonesia perlu mendapatkan penanganan yang serius terutama dari aspek yuridis, yaitu dalam hal penegakan hukum (law enforcement) yang bertujuan untuk memberikan efek jera untuk para illegal loggers.
Banyak penebang liar atau illegall loggers yang tidak ditangkap dan diproses di pengadilan, atau ditangkap dan telah sampai pada proses pemeriksaan di pemeriksaan di persidangan tetapi dijatuhi putusan bebas. Faktanya adalah penanganan kasus ilegal logging di Papua, di mana sampai saat ini tidak satupun pelaku yang dinyatakan bersalah, padahal, data menyebutkan bahwa negara dirugikan jutaan dollar akibat illegal logging di Papua (http://konservasipapua.blogspot.com/2008/04/jayapura-penanganan-kasus-illegal.html). Situasi paling memprihatinkan bahwa sektor publik kehutanan tidak kunjung mampu merumuskan jalan keluar untuk mengatasi bencana ini karena kompleksnya permasalahan serta banyaknya pihak/instansi pemerintah yang terlibat dalam simpul upaya penanganan praktek illegal logging ini (Angga Prayoga, 2007 : 4).
Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2003, luas hutan yang rusak atau tidak dapat berfungsi optimal mencapai 43 juta hektar dari total 120,35 juta hektar dengan laju degradasi dalam tiga tahun terakhir mencapai 2,1 juta hektar pertahun. Terjadi penurunan luas hutan atau deforestasi seluas 300.000 hektar/tahun (tahun 1970-an), meningkat menjadi 600.000 hektar/tahun (tahun 1981), dan menjadi 1.000.000 hektar/tahun (pada tahun 1990). Data deforestasi nasional pada tahun 1985-1997, tidak termasuk Papua, tercatat seluas rata-rata seluas 1.600.000 hektar/tahun. Dari hasil pengamatan citra landsat tahun 2000 diketahui bahwa deforestasi periode 1997-2000 mencapai rata-rata 2.830.000 hektar/tahun untuk lima pulau besar, termasuk Maluku dan Papua (Harian KOMPAS, 25 September 2007).
Keseriusan pemerintah dalam menangani kasus illegal logging adalah dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mencabut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan dan tuntutan perkembangan keadaan. Namun, keluarnya undang-undang tersebut belum memberikan sumbangsih yang berarti dalam law enforcement kasus illegal logging di Indonesia yang semakin marak.
Pada tahun 2005, Telapak/EIA mengungkap adanya penyelundupan kayu besar-besaran yang melibatkan aparat militer dan polisi di seantero Papua. Secara dramatis, operasi ini berhasil mengurangi aliran kayu curian. Akan tetapi, 2 tahun sejak operasi ini digelar tak ada seorang pun yang seharusnya bertanggungjawab atas aktivitas illegal logging tersebut yang dihukum. Dari 186 nama tersangka yang disebut polisi, hanya 13 yang sudah dijatuhi hukuman, itu pun dengan masa hukuman paling lama 2 tahun (http://konservasipapua.blogspot.com/2008/04/jayapura-penanganan-kasus-illegal.html). Hukuman tersebut dirasakan tidak seimbang dibandingkan dengan kerugian yang telah dialami oleh pemerintah akibat illegal logging. Minimalisnya hukuman tersebut bisa menjadi momok yang akan membuat illegal logging semakin membudaya.
Hal yang masih hangat dibicarakan publik adalah kasus Adelin Lis, terdakwa kasus korupsi dan illegal logging. “Mahkamah Agung memutuskan terdakwa Adelin Lis bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan menjatuhkan pidana penjara 10 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan,” kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA Nurhadi, di Gedung MA, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Jumat (1/8).
Adelin juga harus membayar uang pengganti Rp 119.802.393.040 dan US$ 2.938.556,24. Jika dalam waktu 1 bulan uang tidak dibayar, maka Adelin dikenai hukuman 5 tahun penjara. Dengan putusan ini, maka MA membatalkan putusan Pengadilan Negeri Medan No 2240 Bid B tahun 2007 yang menjatuhkan vonis bebas pada Adelin (Harian KOMPAS, 2 Agustus 2008). Vonis tersebut seharusnya dijatuhkan terhadap Adelin Lis saat persidangan di Pengadilan Negeri Medan. Akan tetapi, karena kesalahan dakwaan yang dijatuhkan kepadanya maka dia divonis bebas. Hal tersebut seharusnya tidak terjadi apabila terdapat payung hukum yang kuat.
Berdasarkan fakta-fakta diatas mengindikasikan bahwa Law Enforcement dalam kasus illegal logging masih sangat rendah.hal tersebut justru menjadi salah satu faktor penyebab maraknya illegal logging. Hal ini dipicu oleh putusan pengadilan mengenai sanksi yang dijatuhkan terlalu ringan. Tidaklah sebanding antara keuntungan materiil yang diperoleh illegal loggers yang mencapai Milyaran rupiah dibandingkan dengan sanksi denda yang diputuskan Majelis Hakim yang hanya berkisar ratusan juta rupiah. Bahkan banyak yang bebas dari dakwaann yang disebabkan adanya persekongkolan untuk melancarkan aksi illegal logging. Dengan demikian justru menjadi pemicu illegal loggers untuk melakukan hal serupa.
B. Upaya yang Dapat Dilakukan untuk Mereformasi Sistem Hukum dalam Law Enforcement Kasus Illegal Logging di Indonesia?
Law enforcement dalam illegal logging tidak dapat dilakukan secara parsial sebab law enforcement itu tidak hanya sekedar mengenakan sanksi oleh aparat. Akan tetapi, perlu juga pembinaan budaya hukum. Selain kedua hal tersebut, aspek yang tidak kalah pentingnya adalah pembenahan substansi atau materi perundang-undangan.
Ketiga hal tersebut adalah komponen yang telah lama digagas oleh Friedman. Berikut, penulis akan memaparkan secara detail berbagai upaya yang seyogyannya dilakukan untuk melakukan reformasi sistem hukum.. Upaya yang dapat dilakukan untuk mereformasi sistem hukum dalam law enforcement kasus illegal logging di indonesia dikaitkan dengan teori yang dikemukakan oleh Friedman. Upaya tersebut dilakukan agar dapat memberikan efek jera kepada pelaku yang terkait dengan illegal logging. Komponen sistem hukum yang perlu direformasi antara lain :
1. Reformasi substansi hukum
Dalam hal ini, yang penulis maksud reformasi substansi hukum adalah upaya perubahan, pembenahan, perbaikan terkait dengan isi/materi perundang-undangan yang mengatur kasus illegal logging.
Tata urutan perundang undangan Indonesia yang tercantum dalam UU No 10 Tahun 2004 Pasal 7 ayat 1 menjelaskan tata urutannya sebagai berikut:
a. Undang Undang Dasar 1945
b. Undang-undang/Peraturan pengganti Undang
c. Peraturan Pemerintah
d. Peraturan Presiden
e. Peraturan daerah
Kasus-kasus illegal logging semakin marak terjadi disebabkan oleh peraturan perundang-undangan yang tidak secara tegas mengena terhadap pelaku illegal logging. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan reformasi terhadap undang-undangnya sehingga terdapat payung hukum yang kuat untuk mengadili dan memutus para pelaku illegal logging.
2. Reformasi struktur hukum
Struktur hukum meliputi : aparatur pembuat undang-undang dan penegak hukum. Aparatur penegak hukum meliputi pengacara, jaksa, hakim dan pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.
Aparat penegak hukum di Indonesia dalam menangani kasus illegal logging masih belum memahami dengan baik dan benar tentang law enforcement dalam kasus illegal logging. Contohnya, penanganan kasus ilegal logging di Papua, dimana sampai saat ini tidak satupun pelaku yang dinyatakan bersalah, padahal, data menyebutkan bahwa negara dirugikan jutaan dollar akibat illegal logging di Papua (http://konservasipapua.blogspo
.com/2008/04/jayapura-penanganan-kasus-illegal.
Sebagai polisi yang bertugas sebagai penyidik dan penyelidik, seharusnya bersikap cepat dan sigap dalam menangani suatu kasus, dalam hal ini adalah kasus illegal logging. Akan tetapi dalam hal ini, polisi belum memahami dan mengerti dengan baik dan benar akan law enforcement dalam kasus illegal logging. Vonis bebas Adellin Lis yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri Medan pada tangal 5 November 2007 juga merupakan ketidakpahaman seorang hakim dalam memutuskan suatu kasus. Hakim menganggap kasus Adellin hanya kesalahan administrasi saja. Padahal semua orang sudah memprediksikan bahwa Adelin Lis akan dijatuhi hukuman. Walaupun sudah diputuskan oleh Mahkamah Agung dan Adelin Lis ditetapkan bersalah, tetapi sampai saat ini Adelin masih menjadi buronan.
Seyogyannya para aparat penegak hukum mengerti dan memahami akan law enforcement khususnya dalam kasus illegal logging sebagaimana dengan amanah yang telah disampaikan kepadanya. Sehingga Law enforcement dalam kasus illegal logging dapat berjalan dengan baik.
3. Reformasi kultur hukum
Kasus korupsi sudah tidak asing lagi di telinga kita. Bahkan suap- menyuap sudah membudaya di kalangan aparat penegak hukum. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa hukum di Indonesia dapat diperjualbelikan dan dikompromikan dengan uang. Apabila hal tersebut dibiarkan, maka dimungkinkan akan terjadi mosi tidak percaya rakyat terhadap hukum di negara kita.
Vonis bebas Adelin Lis dikarenakan juga dia tidak terbukti melakukan illegal logging dikarenakan mempunyai Surat Hak Pengusahaan Hutan (HPH) melalui surat Menteri Kehutanan Nomor 805 Tahun 1999 (C:\adellin lis adobe\Adelin Lis Divonis Bebas « Nasril Bahar_files\Adelin Lis Divonis Bebas « Nasril Bahar.htm). Hal tersebut dirasa janggal, ketika seorang pelaku illegal logging malah mendapatkan izin dari pemerintah.
Pada tahun 2005, Telapak/EIA mengungkap adanya penyelundupan kayu besar-besaran yang melibatkan aparat militer dan polisi di seantero Papua. Secara dramatis, operasi ini berhasil mengurangi aliran kayu curian. Akan tetapi, 2 tahun sejak operasi ini digelar tak ada seorang pun yang seharusnya bertanggungjawab atas aktivitas illegal logging tersebut yang dihukum. Dari 186 nama tersangka yang disebut polisi, hanya 13 yang sudah dijatuhi hukuman, itu pun dengan masa hukuman paling lama 2 tahun (http://konservasipapua.blogspot.com/2008/04/jayapura-penanganan-kasus-illegal.html). Keterlibatan aparatur negara dalam kasus illegal logging akan menyebabkan kasus tersebut semakin membudaya dan tidak akan ada rasa takut terhadap hukum, karena oknum aparat negara juga ikut menyukseskan kasus itu.
Oleh karena itu diperlukan pembenahan rekulturisasi agar law enforcement dalam kasus illegal logging di Indonesia dapat berhasil. Upaya tersebt dapat dilakukan dengan cara berikut :
a. Adanya pembenahan moral bersama dan menanamkan pentingnya law enforcement dalam kasus illegal logging.
b. Adanya tekad bersama adanya perubahan perilaku
c. Adanya komitmen bersama mengenai law enforcement dalam kasus Ilegal logging di Indonesia.
Ketiga komponen sistem hukum tersebut tidak dapat berdiri sendiri, karena antara satu dengan yang lainnya saling berkelindan. Untuk mewujudkan reformasi sistem hukum, maka negara perlu mereformasi ketiganya secara holistic dan komprehensif.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan sesuai perumusan masalah, maka kesimpulannya:
1. Penegakan hukum (law enforcement) dalam kasus Illegal logging di Indonesia masih lemah, hal tersebut dibuktikan oleh minimalisnya sanksi yang dijatuhkan terhadap pelaku illegal logging bahkan ada yang kasusnya tidak diperkarakan.
2. Upaya yang dapat dilakukan untuk mereformasi sistem hukum dalam law enforcementt kasus illegal logging di Indonesia dengan melakukan reformasi sistem hukum yang dapat meliputi reformasi substansi, struktur dan kultur.
B. REKOMENDASI
1. Berdasar kesimpulan poin pertama maka, sebaiknya pemerintah mengadakan reformasi sistem hukum dalam hal law enforcement terhadap kasus illegal logging. Sehingga ada kejelasan hukum mengenai pengaturan kasus illegal logging yang merugikan Negara di bidang ekonomi, ekologi dan budaya.
2. Agar Pemerintah dan DPR selaku pembuat kebijakan pembuat peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan illegal logging dengan ancaman pidana maksimum, bahkan kalau perlu hukuman mati agar menimbulkan efek jera..
Featured Slider
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar
Hai, terima kasih sudah berkunjung dan membaca! Let's drop your comments ya. Insya Allah akan berkunjung balik :)