Asslamu’alaykum Pak,
Aku menunggu hari ini. Semoga surat
ini sampai padamu sebagai telepati rinduku. Tepat Sabtu ya, dan sampai saat
surat ini kutulis, aku belum men-dial
angka 1 selama 3 detik. Yang berarti akan bercengrkrama lama untuk menceritakan
5 hari terakhir seperti biasanya.
Dari shubuh, aku dinas Pak—nyuci,
nyetrika, ngepel dan pekerjaan lainnya. Bu Ani masih pemulihan, jadi bagi tugas
rumah dibagi rata. Tapi nanti malam selepas Isya, aku akan men-dial angka 1—meneleponmu. Aku inginmengucapkan
langsung, tapi seperti yang lalu, aku yakin kamu sendiri lupa hari ini hari
apa.
Sepanjang sujudku, aku tidak
luput menyelipkanmu Pak. Sungguh. Dan tidak lupa menambahkan bidadarimu di
belakang namamu. Semoga kalian berdua sehat dan bahagia selalu (menulis ini aku
meleleh—cengeng). Itu karena aku merindukanmu. Lebih pasnya, masih merasa
menjadi tanggunganmu. Kamu bilang begitu kan, Pak? Mendengarnya aku sedih.
Pak, kita berdua saling memiliki
intuisi yang sama. Yang membuat Ibu iri padaku karena aku yang selalu kau
tanyakan setiap Sabtu. Sampai handphone
selalu kau taruh di sakumu menungguku. Kata Ibu begitu. Mendengar ini, aku
terharu Pak (tuh kan aku meleleh lagi). Kenapa saat membuat tulisan surat
untukmu, aku selalu cengeng begini? Itu karena aku sangat menyayangimu, Pak.
Bidadarimu selalu bercerita
tentangmu yang mengeluhkan diriku beberapa akhir ini. Kesehatanmu menurun. Dan Ibu
mencurahkan keras kepalamu untuk tidak mau datang ke dokter. Kata Ibu, kau
menanyakan apakah aku menyinggung pernikahan? Aduh, kenapa tidak menanyakan
langsung padaku? Bapak lebih tau tentangku kan? Atau takut menyinggungku?
(dalam kallimat ini aku butuh kekuatan untuk melanjutkan suratku ini).
Kamu selalu begitu, Pak. Menceritakan
teman-teman sebayaku yang beranjak menikah. Bahkan sudah punya anak 2. Sedangkan
aku belum sama sekali mengutarakannya. Malah memintamu untuk mendoakanku bisa
sekolah di tahun ini. Jawabanmu klise
sekali. Berulangkali aku bercerita padamu kan? Aku tidak akan pernah
mengecewakanmu (lagi), tentang ini. Tetap selipkan aku pada doamu ya. Pasti kamu
akan bilang, tanpa ku minta, dengan senang hati akan kau lakukan dengan
bidadarimu (genangan ini membuncah).
Bapak 67 tahun, Ibu 60 tahun dan
sekarang aku 25 tahun. Sabar ya Pak. Meski aku juga sedang belajar remidi tentang makna sabar
(mati-matian), karena seberapapun aku gagal melakukannya dengan baik. Aku akan
melakukannya berulang kali, semampuku.
Pagi ini ada beberapa yang
menanyakanku valentine, seperti yang
sudah-sudah—AKU TIDAK MERAYAKAN. Kecuali memelukmu dan mengucapkan doa-doa saat
aku di dekatmu. Dan segera meneleponmu, bercerita panjang lebar untuk mengobati
haus rindumu (riduku juga), jika aku jauh darimu.
Pak, cukup ya. Mataku sudah
sembap. Dio pasti menanyaiku nanti. Deandra juga sudah menunggu. Aku akan
meneleponmu nanti. Semoga surat ini sampai padamu. Ah iya, aku mencintaimu dan
sangat menyayangimu Pak, begitu juga dengan bidadarimu yang satu itu. Semoga kalian
sehat selalu. Amin.
With love : Dik Nur
For : Bapak yang hari genap 67
tahun *peluk
Tidak ada komentar
Hai, terima kasih sudah berkunjung dan membaca! Let's drop your comments ya. Insya Allah akan berkunjung balik :)