Saya baru benar-benar menyadari kalau hubungan saya dengan ibu banyak lukanya adalah ketika Bapak pergi. Saya jatuh bangun belajar, trial eror hanya agar bisa ngobrol enak sama Ibu. Terkesan sepele, tapi dampaknya mendalam sekali bagi saya.
Padahal diksi obrolan Ibu sekarang ini juga sering diobrolkan dengan saya dulu, tetapi hal itu yang justru menjadi trigger dan membuat obrolan kami jauh dari rasa nyaman. Ujungnya, saya memilih lebih banyak diam, karena takut reaksi saya menyakiti Ibu. Sikap ini keliru lagi, karena Ibu merasa didiamkan, "salahnya apa?". Hanya ada salah dan salah banget. Ngobrol salah, diam juga salah banget.
Luka dan Doktrin Masa Kecil
Saya menyadari ada luka itu, sebelumnya saya melawan sekuat tenaga, menghindari dengan emosi agar lekas pergi. Tetapi, sikap-sikap itu yang membuat saya semakin marah tidak terkendali. Akhirnya, saya menerima satu per satu. Mengizinkannya hadir pelan-pelan meskipun sesak sesekali, tapi saya memberika ruang untuk "rasa sakit, marah, kecewa sekaligus kasihan terhadap Ibu" yang pada waktu itu mungkin juga menanggung luka, capek dan segala perasaan nanar namun tidak bisa menjabarkannya.
Yang membuat saya menerima juga adalah, saat ini saya bisa minta tolong, dan harus berbuat apa selanjutnya untuk mengatasinya--meski tidak atau belum sepenuhnya berhasil. Tapi saya membayangkan betapa kesulitannya Ibu waktu itu? Di usia 40 nya memiliki saya, yang menurutnya, masa kecil saya sangat strugling pengasuhannya. Label nakal, susah diatur, sulit dibilangi dan label-label lainnya dilekatkan kepada saya dan sampai sekarang pun obrolan itu yang menjadi pemantik rasa tidak nyaman itu.
"Kowe ndhisik ngeyele sak pole, flek paru-paru kudu ngobati raoleh telat, yen telat dibaleni meneh". Padahal dulu Bapak juga sering mengobrolkan tentang ini, plek ketiplek sama. Bapak juga mengeluhkan hal yang sama seperti Ibu. Tapi saya tidak tersinggung sama sekali, obrolan itu menjadi bumbu kenangan, oooh ternyata memang susah banget ya dulu ngatur saya pas kecil. Tapi, ketika Bapak tidak ada, Ibu mengeluhkan itu seperti kaset rusak, diulang-ulang, dan saya merasa marah sekali. KENAPA? SAYA FRUSTASI DENGAN PERASAAN SAYA SENDIRI. TERNYATA KAMI BERDUA SAMA-SAMA TERLUKA. Sehingga, obrolan kami isinya hanya amarah.
Obrolan kaku itu makin diperparah karena doktrin yang Ibu tanamkan dari kecil kalau membalas kata-kata atau perintah orang tua itu adalah durhaka dan dosa. Padahal obrolan yang enak itu dua arah, bagaimana bisa ngobrol enak tapi intonasinya menyebalkan? Misalnya, Ibu menyuruh saya menambah anak lagi, biar dapat perempuan, sekalian yang repot, katanya. Hal ini diulang-ulang yang pada akhirnya saya bilang, saya cukup punya tiga anak lelaki dan mau fokus membesarkannya. Saya menjawab lugas dan selalu sama jawabannya. Hingga pada suatu momen saya bilang kalau tidak nyaman dianjurkan hal demikian, apalagi Ibu pernah mendoakan secara khusus untuk ini. Ibu sempat marah karena mungkin jawaban saya melukainya, tapi anjuran Ibu pun melukai saya dan merusak obrolan-obrolan selanjutnya. Memproses ini butuh waktu yang panjang sekali. Dan Ibu paham, obrolan tentang menambah anak, tidak sering lagi menjadi pembahasan kami. TAPI TERNYATA MASIH BANYAK DIKSI-DIKSI OBROLAN LAIN YANG MENYULUT LUKA-LUKA MASA KECIL SAYA *Cry.
Honestly, saya tidak menyerah menghadapi Ibu. Sesekali gagal, tapi saya mencoba lagi dan lagi.
Berproses
Suami yang menjadi saksi proses saya sampai sekarang ini. Tidak jarang saya menangis sesenggukan di mobil karena diksi-diksi obrolan Ibu seperti silet yang di waktu tertentu membuat saya setengah mati memplester mulut saya agar tidak menjawab dengan reaktif, sehingga kami berdua sama-sama terluka.
Ibu menjadi prioritas saya dan membuat saya open minded mencoba hal-hal baru agar hubungan kami berdua nyaman satu sama lain. Ibu tidak perlu lagi sungkan atau rikuh dan menganggap beliau adalah beban. Padahal saya dan ketiga kakak lelaki saya sama-sama menjaga bagaimana beliau bisa menikmati hari senjanya dengan suka cita.
Saya sedang adaptasi dengan jadwal kuliah dan tugas-tugas. Sabtu yang biasanya libur, sekarang zooming seharian. Kelihatannya leha-leha karena bisa disambi ina inu, tapi ternyata harus fokus on camera 100 menit bahkan lebih per mata kuliahnya.
Sampai pada, Jumat saya mengosongkan jadwal untuk mengantar Ibu chek up karena Budhe Endang jadwalnya bentrok nganter Ibunya. Mood Ibu mungkin sedang lagi nggak bagus, jadi pas ditanyain mau hari apa kontrolnya, bukan jawab fokus malah kepleset "Yen raiso ngeterke kabeh tak akon liyane" *NANGIS BANGET. Saya sama sekali ga merasa terbebani, bahkan budhe pun selalu rutin melakukannya. Tapi untuk menyusun hari yang match, obrolannya bisa jadi keliru. Jumat saya kosongkan untuk nganterin Ibu dan biasanya kami me time lunch sebelum jemput anak-anak pulang sekolah.
Sampai pada undangan mendadak di Kamis Sore...... :(
![]() |
Malamnya, saya menyusun ulang jadwal Jumat. Ray berangkat lebih pagi bareng Budhe Endang (saya sounding beeeerkali-kali), karena seminggu terakhir Ray lebih memilih berangkat bareng Benterang yang konsekuensinya pasti telat, huhu. Saya mengantar Ben sekalian ngedrop Ibu ke RS. Sounding ke Ibu gak kalah tricky, karena kalau kepleset diksinya, bubaaaar semua-muanya.
![]() |
Budhe Endang adalah partner di segala cuaca :))))) |
"Bu, aku izin langsung ke kampus ya, kemarin ada undangan mendadak, rencananya mau berangkat siang, tapi mending aku berangkat pagi aja daripada nanti pulangnya kemalaman", wajah Ibu agak berubah. Tapi aku meneruskan "Aku udah bilang Iqbal, nanti jam 10 an aku telpon, ya. Maaf ya, Bu", Bahasaku pake Jawa alus, memastikan mood Ibu tetap baik dan tidak merasa tersinggung serta beranggapan kalau "saya tidak mau menemaninya padahal kemarin bilang bisa".
![]() |
Kloter kedua berangkat pagi, paket combo kalo berangkat gak telat no drama |
Inti Cerita Tulisan Ini
Saya menemui Prof sesuai jadwal Beliau. Hal pertama yang ditanyakan setelah saya duduk adalah "Eh Mbak, Lha trus Ibu gimana? Sakit apa?", saya cerita sedikit tentang Ibu dan Beliau juga menceritakan kalau mertua beliau memilih tinggal dengan Beliau dan Istrinya.
"Oh jaga baik-baik berliannya di rumah ya, Mbak. Orangtua, apalagi seorang Ibu itu doanya luar biasa hebatnya. Saya ga mungkin bisa seperti ini tanpa doa Ibu saya", hati saya hangat, saya menahan air mata saya.
"Merawat orangtua itu tidak selalu mulus....", lanjut Beliau.
"Berat ya, Prof?", saya menimpali agak berat. Karena teorinya aja yang gampang, tapi praktiknya seperti pasang surut mengusahakannya.
"Iya, justru disitu letak ibadahnya. Mereka seperti bayi yang punya nafsu. Kalau ngurus bayi kan enak ya, tapi kalau orangtua, pikirannya seperti bayi yang punya nafsu. Itulah ibadah terindahnya", Ambyar pertahanan saya ingat Ibu yang harusnya hari ini bisa mengantarkan seharian, ternyata lusut.
Air mata saya berurai.
Beliau menyerahkan SK jaminan pembiayaan kuliah saya.
"Saya mengucapkan selamat karena sudah mulai kuliah, insya Allah tepat waktu lulusnya ya, Mbak. Selanjutnya, karena sekolahnya masih disini, nanti kalau tidak mengganggu kuliah, saya minta tolong dibantu kalau kampus butuh bantuan Mbak Aya.....", 2 hal ini saya tanggapi dengan anggukan.
"Dan yang terakhir pesan saya, JAGA IBU", Beliau mengulangnya lagi. Anggukan saya makin dalam.
Saya kemarin merasa berpeluh sekali, merasa terbebani dengan perasaan sedih Ibu yang lebih sedih karena saya gagal mendaftar beasiswa. Beliau tidak bisa tidur berhari-hari hanya mau bilang "Besok kalau uangnya kurang, pake tabunganku, Nduk" *cryyyy. "Insya Allah cukup, Buk. Rasah menggalih ya, doakan cukup. Tabungane dingge seneng-seneng Ibu", Beliau baru bisa tenang. Saya yang gagal, beliau yang lebih pilu.
Mungkin saya sedang memproses luka-luka kecil yang saya lalui dulu. Tapi satu hal yang pasti, saya tidak pernah menyalahkan Ibu karena saya yakin Beliau dulu juga telah mengusahakan yang terbaik yang beliau bisa. Saat ini Beliau mungkin juga sedang berproses, karena sebelumnya Beliau selalu makmum penuh sama Bapak. Apa yang diputuskan Bapak, Beliau selalu taat dan patuh. Dan sekarang ini Beliau mungkin sedang pelan-pelan juga menata hatinya.
"Kalau butuh apa-apa, ada aku ya, Bu. Ibu gak merepotkan sama sekali. Aku tinggal satu atap nemenin Ibu nggak kemana-mana. Maafkan aku banyak kurangnya"
![]() |
Me time kami berdua :) |
Tidak ada komentar
Hai, terima kasih sudah berkunjung dan membaca! Let's drop your comments ya. Insya Allah akan berkunjung balik :)