Featured Slider

Antrian di Rumah Sakit

2 Minggu lalu saya mengantar ibu mertua ke rumah sakit setelah beberapa kali fisioterapi di puskesmas, tapi Ibu masih mengeluhkan nyeri di tangan kanannya. Saya selalu menganjurkan beliau buat periksa-periksa-periksa, dan akhirnya beliau mau.

Sakit jangan disepelekan, karena kalo udah numpuk bisa berabe. Dulu ibuku (kandung) juga menyepelekan tentang kesemutan di tangan kanannya. Tapi saat diperiksa di rumah sakit ternyata harus diopname. Telat dikit aja bisa kena stroke. Huhu. Ternyata kesemutan di tangannya merupakan gejala stroke. Akhirnya, sejak tahun 2013, ibu rutin terapi dan cek up serta minum obat sampai hari ini.

Kalo jadwal periksa tiba, biasanya spare waktu seharian. Dari pagi sampai ashar. Mulai antri pendaftaran, antri tensi dan antri obat. Pakai bpjs memang gratis penanganannya. Tapi butuh effort buat mengurusnya. Sebut saja "antrinya ga nahan". Tapi buat yang tiap bulan check up, bpjs sangat membantu. Dan antrian bejibun membuat para pasiennya mendapat kenalan baru karena merasa senasib sepenanggungan.

Kebijakan baru

Balik lagi ke cerita ibu mertua. Jadi Minggu lalu, 4 kali datang ke Rumah Sakit yang dirujuk, baru berhasil. Kebetulan ada kebijakan baru kalau setiap rujukan harus melalui Rumah Sakit berjenjang. Awalnya RS tipe D dulu, baru ke C, trus ke D dan paling akhir ke RS tipe A.

Jadi nggak bisa ujug-ujug langsung ke RS tipe A, kecuali darurat atau BAYAR.

Nah, pertama datang jam 7, ternyata kehabisan kuota. Hari kedua datang jam 6, habis lagi. Trus datang jam 5, tetep kehabisan. Di hari keempat, saking effortnya, suami datang ke RS duluan buat antri pendaftaran, jam 3. Barulah ketika dapat kuota, sekitar jam 8 ibu mertua diantar ke Rumah Sakit.

"Ya Allah Mas, aku udah dua kali datang kesini tetep gak dapet kuota? Trus aku harus datang jam berapa?", kata saya pada satpam pas ikut ke RS di hari kedua.

"Lha saya yang udah kelima kali aja juga belum dapet, Mbak", ada bapak-bapak menyahut. Saya langsung mingkem. Ternyata ada yang perjuangannya lebih berat, ahaha.

"Yaudah, saya daftar umum saja Mas. Yang bayar gapapa", timpal saya.

"Kuotanya habis Mbak. Tetep gabisa daftar", jawab satpamnya ramah.

Astaga. Kuota 60 itu ternyata juga buat pasien umum juga. Huhu. Saya langsung menuju ruang tunggu dan mengajak ibu mertua dan suami pulang.

Untuk pasien lama cenderung lebih enak karena bisa daftar sehari sebelumnya via whatsapp. Tapi untuk pasien baru harus daftar manual dan mengisi form.

Kemarin datang ke RS tiga kali nggak dapat kuota juga. Padahal ibu sudah antri di kursi duduk. Tapi ternyata satpamnya keliru membagikan nomor antrian, huhu. Yang seharusanya antri dan dapat kuota duluan malah ga dapat, tapi yang baru datang dapat. Akhirnya banyak pasien yang marah.

Suami dan ibu memutuskan pulang lagi (dan lagi). Mau marah juga percuma, buang-buang energi. Apalagi kalau marah pagi-pagi bisa berimbas ke mood yang berantakan seharian *nehi*.

Akhirnya di kedatangan keempat kalinya (kalo kelima bisa bonus payung!), dapat kuota juga. Itupun antrian terakhir. Yang awal-awal sudah di-booking via online.

Antrian lagi
Antrinya ga nahaaan

Setelah berhasil memeriksakan ibu mertua, giliran ibu saya sendiri. Ibu sebenarnya senang bisa cek up satu rumah sakit dengan bapak. Tapi membayangkan perjuangan antriannya membuat beliau hampir patah arang di awal. "Yaudah bayar aja di RS lama nggak apa-apa, wuk", katanya. Saya bilang, insya Allah dapat Bu.

Akhirnya saya menyusun rencana *epik banget kan yhaaaa, antri RS sampe bikin rencana? Ahaha*. Suami mau nggak mau harus mengantri lagi dari sepertiga malam.

Sorenya, ibu agak worry. Kebiasaan beliau kalau keesokan hari ada acara pasti pikirannya jalan terus akhirnya gelisah sendiri. Kayak misalnya besok mau ke Semarang naik mobil, h min 3 berangkat sudah sibuk sendiri ini-itu. Awalnya sempat gemas tapi lama-lama terbiasa.

Kalau sudah begitu, saya menenangkannya nggak cukup sekali dua kali, berkali-kali. Tapi setidaknya itu bisa mengurangi rasa gelisah beliau. 

Nah, saat jadwal cek up bapak dan ibu tiba, pas banget hari Senin. Jam tiga malam, suami udah gercep ke RS. Saya sudah menyiapkan surat rujukan, bpjs, ktp buat pendaftaran. Kebetulan bapak sudah saya daftarkan via online. Jadi tinggal mendaftarkan ibu saja.

Fyi, poliklinik yang paling ramai di RS adalah poli syaraf, jantung dan penyakit dalam. Bapak poli dalam dan ibu poli syaraf yang pasiennya rata-rata sudah sepuh.

Ibu sudah mulai tenang saat suami ngabarin kalau beliau dapat antrian ketiga. Buset, jam tiga sudah ada yang antri sebelumnya? Yang effort buat antri bukan cuma kami lho, banyak pasien lain yang rela menginap. Makanya kalau mau ngomel apa ngeluh, kadang saya suka malu dengan pasien sepuh yang mengurus sendiri.

Setelah memastikan dapat kuota. Jam 8 saya minta tolong Mas Jundi buat ngedrop bapak dan ibu ke RS. Saya juga ikut sama Ray. Suami yang begadang memutuskan tidur di mobil. Saya yang meneruskan urusan administrasi. 

Bapak cek lab dan langsung ke poli penyakit dalam untuk di tensi. Sementara ibu langsung saya antar ke poli  syaraf yang antrinya masha Allah banyak sekali. Tempat duduknya full dan beberapa pasien sampai duduk di lantai. 

Poli syaraf bersebelahan dengan poli kandungan dan anak. Makanya banyak ibu dan bayi yang ikut mengantri di barisan poli syaraf. Saya menggendong Ray yang tidur pulas dikira mau memeriksakan ke dokter anak. 
Ray pules diajak rungsing pagi-pagi

Setelah memastikan ibu selesai administrasi dan tinggal menunggu pemeriksaan, saya pamit menunggu di mushola yang kebetulan areanya luas dan friendly buat Ray. Di luar RS, saya berpapasan dengan banyak pasien yang harus kecewa karena tidak kebagian kuota.

"Kulo pun ping pitu mriki ki, Mas. Kapan saget diprikso?"

Langkah saya terhenti. Mendadak hati saya pilu diremas-remas mengamati Mbah-Mbah yang mungkin sebaya dengan bapak saya menanyakan kepada satpam. 

Apalah saya yang waktu kemarin 2 kali datang sudah jumawa dan pengen ngamuk. Tapi beliau menyebutkan angka tujuh dengan paraunya mengharapkan segera diperiksa. Ah, perasaan melankolis mendominasi saya kala itu.

Semoga sehat selalu semuanya! Menuliskan ini sedikit membuat lega. Karena toh nggak bisa protes dengan kebijakan atau keadaan :).

Punya pengalaman antri di rumah sakit saat memeriksakan diri atau keluarga? Rasanya super zuper ya, ahaha.

Ray nunggu di Mushola


5 komentar

  1. mbak, kalau boleh tahu RS yang kuotanya selalu habis itu tipenya apa? Setahuku klo tipe C atau D kuotanya habis, nanti BPJS akan buka rujukan untuk yg tipe B.
    CMIIW

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tipe C Mi. Yang buka rujukan ke RS B itu dari BPJS langsung atau harus dari dokter keluarga dulu? Soalnya dsri dokter keluarga hanya dikasih opsi mau RS A atau B yang notabene tipe C dan D dan semuanya pakai kuota (sama2 antri bejibun juga) Mi :D

      Hapus
    2. dari dokter keluarga (faskes 1) nya mbak.
      jadi klo tipe C dan D kapasitasnya sudah memenuhi, nanti pilihan RS yang tipe A atau B akan muncul.

      cuma nggak tahu juga sih, sistemnya BPJS kayak gimana. aturannya makin ketat. hohoho.

      Hapus
    3. Btw, semoga Bapak dan Ibu segera diberi kesembuhan ya Mbak :)

      Hapus
  2. Antri itu memang membosankan ya mbak, tapi gimana mau gak mau harus mengantri.

    BalasHapus

Hai, terima kasih sudah berkunjung dan membaca! Let's drop your comments ya. Insya Allah akan berkunjung balik :)