Ben...
Terima kasih telah berjuang dengan Ibu
Malam itu, semesta memberikan tanda
Kamu ingin bertemu sesuai afirmasiku
***
Waaa, menuliskan ini buat refleksi, dan saya selalu tersenyum mengenangnya. Bahwa persalinanku—BERKESAN. Saya mengalami sakitnya kontraksi, tapi saya menguasai diri. Saya tetap merasakan sakitnya pembukaan, tapi saya menyadari hal itu menandakan kalau saya akan cepat bertemu Ben. Di dalam sana, Ben juga sedang berjuang menemukan jalan, dan saya sebagai Ibu harus memudahkannya dengan berdaya.
Dan, inilah cerita pertemuan pertama kami.....
Hal yang tidak pernah saya sesali adalah mendalami kelas yoga dan latihan napas di Bidan Kita. Manfaatnya tidak hanya pas persalinan, tapi sampai sekarang! Napas lebih panjang, emosi lebih tertata dan recovery tubuh saya lebih cepat. Saya merasa gerakan saya enak, tidak terganggu dengan jahitan bekas lahiran yang perih, ataupun terngiang kala kontraksi yang menyakitkan. Karena, saya melalui dengan sadar, tenang dan diarahkan oleh provider yang tepat.
Baca selengkapnya di: Latihan napas dan yoga di Bidan Kita
Berat Badan Ben Besar
Sejak janin Ben berusia 32 weeks, saya belum menyadari kalau BB-nya over karena dokter waktu itu bilang tidak apa-apa. Setelah dokter saya kembali praktik, saya baru sadar kalau BB-nya sudah over. Bahkan di usia kandungan 34 weeks, beratnya sudah 3.1 kilo *senyum kecut*. Hal yang membuat saya meminta second opinion dan mengganti birth plan adalah ketika beliau nge-joke kalau saya harus operasi SC. Sebagai dokter sebenarnya hal tersebut hal yang wajar disampaikan sesuai dengan kompetensinya terhadap kondisi saya. Saya pun juga tidak mengelak kalau nantinya harus SC, tapi entah kenapa saya nggak suka sama becandaannya, huhu.
Btw, birth plan saya adalah melahirkan di bidan. Ada 2 tempat yang saya jadikan wish list. Saat terjadi risiko pun, saya sudah menentukan pilihan ke dokter siapa. Nah, saat usia kandungan saya sudah 36 weeks, saya ke klinik yang ada praktik SPOG-nya. Saya menjadikan list karena dulu waktu Ray, saya pernah yoga disini dan ada praktik dokter spesialisnya, sehingga saya berasumsi kalau nanti persalinannya akan dihandle dokter, tidak hanya bidan.
Seperti biasa, suami menunggu di mobil dengan Ray. Wajahnya kusem karena parkir mobilnya susah. Hal ini yang membuat kami berdua nggak sreg, selain lokasinya jauh. Dan hal lain yang membuat kami mencoret dari birth plan adalah ketika dokternya merujuk saya untuk opname di minggu depannya. Beliau bilang kalau BB Ben 3.8 kilo *amazing*. Saya minta diulang lagi USG-nya, apakah memang sebesar itu, tapi beliau bilang kalau BB-nya besar sekali dan lebih baik dikeluarkan minggu depan di usia 37 weeks.
Saya seperti dipaksa flashback di persalinan pertama, ketika saya harus diinduksi dengan 2 ampul cairan karena pembukaan Ray macet dan ketuban rembes. Waktu itu, saya masih minim pengetahuan, belum kenal latihan napas, yoga pun cuma bisa dihitung jari kanan.
Baca selengkapnya: Pengalaman Melahirkan Anak Pertama
Saat membayar di kasir, saya bertanya lebih jauh tentang anjuran dokter tersebut pada bidan. Seperti dugaan saya, nantinya akan diinduksi lewat infus. Dan persalinannya, meskipun disitu ada praktik dokter, tapi ketika persalinan yang menangani adalah bidan dengan bantuan dokter BY PHONE, bukan secara langsung. Anggap saja saya yang gagal paham, tapi karena saya sudah nggak sreg, saya tidak meneruskannya.
Bidan Kita, jawabannya
Setelah berdiskusi dengan suami, saya menghubungi hotline Bidan Kita untuk dijadwalkan konsultasi dengan Bidan Yessie. Ah iya, saya tetap melakukan treatment dan mengontrol pola makan, agar BB Ben tidak menyentuh angka empat, wkwkwk. Bye-bye es teh, nasi, kue dan gengnya. Saya lebih mengasup buah dan sayur serta wajib minum air putih 3 liter.
Setelah selesai meeting dari Jogja, saya langsung ke Bidan Kita siang itu. Sebelumnya saya sudah sering nonton Bidan Yessie di instagram dan youtube, dan pertemuan pertama kami membuat saya mantap untuk bersalin disini. Saya cerita tentang BB Ben yang over, dan beliau melakukan USG dengan seksama sambil menjelaskan secara medis dengan bahasa yang saya pahami dan membuat saya lebih tenang.
Tenang bukan karena diiming-imingi kemudahan melahirkan, tapi saya dimotivasi untuk memberdayakan diri. Makanya PR saya banyak sekali. Setelah beberapa kali di-USG, BB Ben 3.45. Saya direkomendasikan untuk periksa ke Dokter Adi yang praktiknya di JIH untuk memastikan BB ini. Karena bagaimanapun, BB janin besar di perut memiliki beberapa risiko saat persalinan. Tapi bukan hal mustahil juga untuk melakukan persalinan secara pervaginam secara aman dan nyaman.
Bidan Yessie juga meminta saya untuk cek Gula Darah Sewaktu untuk memastikan saya tidak mengalami diabetes gestasional. Saya dan suami pun mengagendakan untuk kontrol ke Dokter Adi. Saya mendaftar via whatsapp yang lebih fleksibel. Alhamdulillah, hasilnya baik. BB Ben bukan 3.8 kilo seperti yang saya khawatirkan, tapi hasilnya sama seperti saat periksa di Bidan Kita, yaitu 3.4 kilo. Hasil GDS pun juga bagus. Kurang lebih saran Dokter Adi sama dengan Bidan Yessie; olahraga, rileks dan menjaga pola makan.
Saya masih tetap pergi ke kantor. Kerjaan bisa beres, saya pun bisa sekalian olahraga. Kalau di rumah hawanya mager, huhu. Kalau ke kantor, saya bisa power walking di peron stasiun, terus lanjut naik turun tangga ketika naik BST. Sampai halte masih jalan kaki lagi sampai kantor. Nah, pas di kereta saya bisa meditasi dan latihan napas selama 30 menit. Fyi, kereta bandara 1 gerbong cuma saya sendiri, jadi suasana hening gerbong membantu saya untuk meditasi. Makan dan minum juga tertib.
Selain itu, emosi saya stabil banget. Meskipun capek badan, kalau sudah sampai rumah, saya bisa meluk-meluk Ray dan nemenin dia mainan. That's why, saya lebih memilih work from office daripada work from home sampai usia kehamilan 38 minggu. Karena saya bisa menang banyak :D. Saya memutuskan di rumah per tanggal 25 Februari 2021.
Mengumpulkan Hormon Oksitosin
Siang itu, dua sahabat saya datang ke rumah. Mereka menawarkan mau diajak kemana, mau makan apa. Kami bertiga tiga hari nggak ketemu saja rasanya sudah satu abad. Sebenarnya, saya sudah mengalami flek, tapi darahnya hanya sedikit dan warnanya tidak tegas. Tapi saya tidak cerita ke siapapun tentang hal itu.
"Halah say, paling adiknya Ray ki setelah kami berdua pulang trus kontraksi”, seloroh Esti dengan gaya khasnya.
“Ayaa mau diantar kemana atau ingin makan enak apa sebelum lahiran?” Yuni menimpali.
Kami bertiga haha hihi dengan cerita random yang membuat kadar oksitosin saya meningkat. Sorenya saya masih keluar makan nasi goreng bareng Ray dan papinya. Perut saya sesekali mengencang. Sesampai di rumah, saya menemani Ray sampai tertidur. Papinya lembur kerjaan sampai shubuh seperti biasanya.
Jam 12 malam, saya terbangun karena merasakan sensasi perut yang kurang nyaman. Saya melepas pelukan Ray lalu beranjak ke kamar mandi. Ternyata celana dalam saya basah karena banyak lendir darah. Kontraksi perut sudah mulai intens, dan saya menghitungnya dengan aplikasi kontraksi nyaman Bidan Kita. Makin lama makin intens. Akhirnya saya telepon ke hotline Bidan Kita dan diminta ke Klinik kalau kontraksinya sudah interval 5-1-1.
Saya masih jalan kaki di dalam rumah, melakukan gymball dan mengatur napas. Saya meminta suami untuk memasukkan tas yang sudah saya siapkan jauh hari ke dalam mobil. Suami paham kalau saya sedang mengalami kontraksi dan segera memasukkan beberapa perlengkapan ke dalam mobil.
Saya pamitan sama Bapak Ibu di kamarnya. Ada air mata bening di mata Bapak yang saat itu sedang mengaji. Saya minta didoakan agar persalinan kali ini lancar. Ibu dan Budhe Endang melambaikan tangan di depan pintu. Lagi-lagi saya fokuskan napas sambil membenahi posisi duduk agar lebih tegak. Suami menggenggam tangan saya menguatkan.
Persalinanku Minim Trauma
Ben hadir sesuai afirmasi saya....
Suami lelah karena belum tidur, tapi saya yakin beliau semangat bertemu anak keduanya. Sesampainya di Bidan Kita, Mbak Ety dan Mbak Zulfa membukakan pintu. Sebelum diperiksa, saya ke kamar mandi dan tiba-tiba ada air berwarna hijau keluar banyak sekali. Itu adalah air ketuban dan sudah hijau, huhuhu. Saya mencoba rileks dan tidak panik.
Mbak Ety melakukan VT, dan saat itu saya sudah pembukaan 7. Secara bergantian, Mbak Ety dan Mbak Zulfa memeriksa denyut jantung Ben di dalam perut. Sekitar jam 5, saya pindah ke ruang bersalin dan suami mencari mushola untuk salat shubuh.
Suara Bidan Yessie khas sekali dari luar ruangan. “Hallooooo..... bagaimana?”, ini pertemuan kedua kami dan beliau haaaaaangat sekali. Entah bagaimana harus mendeskripsikannya, tapi yang jelas, beliau bisa membuat saya lebih berani dan percaya diri untuk persalinan ini. Bau aromatherapy yang membuat saya lebih rileks, pendampingan bidan yang luuuuuuuar biasa cekatan. Alunan musik yang membuat saya lebih fokus pada napas daripada sakitnya kontraksi.
Bidan Yessie menawarkan beberapa pilihan posisi yang paling optimal untuk keluarnya janin. Saya juga diajari mengenali tubuh saya sendiri melalui napas. Selama 3 jam itu, saya trial error tentang napas yang paling nyaman untuk bertemu dengan Ben. Kalau kemarin ujiannya hanya melalui cubitan dan sebongkah es batu, saat itu adalah ujian yang sebenarnya—kontraksi.
Sekali dua kali aba-aba, Bidan Yessie dengan sabar memberikan pendampingan yang warbiasak. Mengusap kepala saya dengan olesan aromatherapy dan menyuruh suami saya untuk melakukan hal yang sama.
“Yuk napasnya dipanjangin lagi, iyaaaaak gitu, pinteeer!”, beliau sekalipun tidak menjustifikasi kalau napas saya ternyata pendek. Ada yang ngusap-usap punggung saya yang panas. Ada yang menggenggam jemari dan menyemangati saya. Ada juga yang menyuapi saya. Suami mengusap kepala saya dengan wajah pias memaksakan tenang.
Saat kontraksi datang, saya mencoba mengenali tubuh saya. Menghirup napas sepaaaaanjang mungkin. Dan mengejan dengan mengatur napas kembali. Sempat terlintas menghitung waktu, tapi pikiran itu saya buang jauh-jauh. Ada rasa ingin menyerah, tapi sekali lagi hasrat saya berpasrah untuk bertemu Ben kembali. Semakin hebat sensasi kontraksi, semakin dekat saya akan bertemu Ben.
Rambut Ben sudah kelihatan, air mata saya mengambang, tenaga dan energi saya kumpulkan lagi. Napasku patah-patah, tapi doaku terarah. Bidan Yessi mengarahkan panggul saya, memilihkan posisi yang paling nyaman dan menunggu pelan-pelan. Jam 8, kontraksi semakin hebat, napas kupanjangkan lagi, doa kurapal dalam hati. Senter kepala Bidan Yessie menyala. Saya merasakan jari Bidan Yessie seperti menyangga kepala Ben agar pelan-pelan keluar. Tiga kali mengejan, akhirnya tangis Ben pecah.
Saya diinfus karena banyak darah yang keluar. Dua kali diinjeksi bagian paha. Dan dijahit dua. Saya takjub saat tahu BB Ben 4.36 kilo. Dengan ridho Allah, kami bertemu dengan indah. Pemulihannya pun cepat. Saya memahami tentang makna gentle birth tidak lagi dalam tataran teori, tapi mempraktikkannya sendiri.
Untuk cerita post partum di Bidan Kita, saya ceritakan di post kedua ya. Tentang treatment-nya, biayanya dan hal menyenangkan lainnya.
Assalamualaikum, mba Aya, salam kenal :) Kebetulan saya lagi penasaran juga sama Bidan Kita, ditunggu kelanjutannya ya mba, terimakasih 😊
BalasHapusMba kalau boleh tau brp biaya di bidan kita?
BalasHapus