Featured Slider

Post Partum Depression Warior

2022 seperti roll coaster buat saya. Fisik dan psikis saya ditempa. Rasanya tiap pagi isinya hanya keluh kesah *cry*.

Belajar menjadi Ibu sepanjang masa

Saya belum sempat menceritakan tentang persalinan Sea. Bahkan Sea juga sudah disunat pun belum sempat mendokumentasikannya seperti Ray dan Ben. Bukan karena tidak mau, tapi setelah melahirkan Sea, saya merasa ada yang berbeda. Sinyal seperti saat setelah melahirkan Ray. Tiap hari rasanya lelah tidak berkesudahan. Pagi, siang, sore rasanya gelisah dan cemas. Yang ujungnya adalah AMARAH. 

Saya tidak baik-baik saja

Dulu, ketika melahirkan Ray, saya merasa dipaksa bahagia. Disuruh bersyukur yang ternyata membuat makna blur. Padahal, bersyukur sambil merasakan capek itu tidak apa-apa. Tidak selalu menjadi perempuan yang kuat juga tidak mengapa. Sesekali menampilkan sisi rapuh, juga manusiawi. Sayangnya, saya tidak ada yang mengajari untuk memeluk emosi-emosi negatif itu. Cenderung disuruh mengabaikan dan diburu-buru diusir pergi. Sehingga ketika perasaan itu datang lagi, seperti membangunkan sisa emosi negatif lainnya yang membekas. 

Perasaan tidak nyaman yang mengendap

Sejak kecil, saya dilatih untuk sat set wat wet. Merasa bangga kalau bisa mengerjakan sesuatu dalam satu waktu. Istilah kerennya adalah multitasking. Tapi semakin kesini, saya justru belajar untuk pelan-pelan dan tidak tergesa-gesa. Kelihatannya mudah, tapi praktiknya menguras tenaga. Karena kebiasaan yang sudah terbangun tadi. Jika tidak melakukan apa-apa, padahal memang waktunya istirahat, rasanya seperti tidak produktif, huhu. 

Setelah melahirkan Sea, memori masa kecil saya hadir. Hal yang dulu saya kira baik-baik saja, ternyata tidak. Saat ini seperti menggerus dan meremas nadi tanpa ampun. Hal ini membuat saya tidak bergairah dan menikmati obrolan dengan Ibu saya. Pola pengasuhan beliau membangunkan memori-memori lain yang membuat saya terluka. 

Saya benci dengan sikap Ibu (dulu) waktu saya masih kecil, tetapi saya merasa kasihan dalam waktu yang bersamaan. Ibu seperti mendikte saya harus bisa apa saja. Mengkritik apa yang saya lakukan. Padahal sebelumnya saya tidak apa-apa. Tapi ternyata saya hanya menahan diri dan memaklumi. Doktrin kalau dikasih tau orang tua tidak boleh membantah dan harus patuh, saya lakukan tanpa sungkan (waktu itu). Dan hari ini, saya seperti terlihat tidak penurut (lagi), karena tidak diberi ruang untuk diskusi. Tidak ditanya apakah saya suka atau tidak. Apakah sedang sedih. Atau perasaan tidak nyaman lain yang tidak mendapatkan validasi. Di sisi lain, saya merasa kasihan pada Ibu. Karena mungkin dulu Ibu tidak atau belum memiliki keterampilan untuk mengolah perasaan anak-anaknya. Bahkan mungkin belum bisa memvalidasi perasaan sendiri. Menganggap dirinya selalu baik-baik saja. Tidak mengizinkan badannya istirahat padahal sedang sakit dan terus mengurus rumah dan keempat anaknya. 

Selama ini kami berdua ternyata tidak terlalu bagus cara komunikasinya. Karena ada penengah Bapak. Saya sefrekuensi dengan Bapak yang sekaligus bisa mempengaruhi keputusan Ibu. Jadi selama menikah, apa yang diputuskan Bapak, maka Ibu akan makmum. Saya cukup ngobrol sama Bapak saja tentang apa-apa, karena pada akhirnya Ibu akan setuju kalau Bapak setuju.Setelah Bapak tidak ada, Ibu seperti hilang arah dan mulai belajar untuk memutuskan apa-apa sendiri. Emosinya pun kacau balau yang berpengaruh pada fisiknya. Yang biasanya check up 1 bulan sekali, jadi ada tambahan fisioterapi 2 minggu sekali bahkan pernah seminggu sekali. 

Menghadapi Ibu

Ada momen dimana Ibu sulit sekali diajak kompromi. Melanggar pantangan Dokter sampai mau menyerah untuk mati saja (karena merasa badannya sakit semua). Kami pernah mengobrol empat mata dan sesenggukan sama-sama, dan ini bisa beberapa kali saking Ibu merasa bingung terhadap perasaan dan badannya. 

Sikap tegas saya dianggap keliru. Ibu merasa sering dimarahi, sehingga hubungan tidak nyaman itu muncul lagi. Ibu butuh terapi tapi tidak mau berangkat. Tidak boleh angkat-angkat berat tapi mentah saja nasihat dokter. Badannya tidak bisa dibohongi, keesokan hari pasti kaku dan tidak bisa jalan. Diskusi dan bujukan-bujukan itu hampir setiap hari saya lakukan. Seperti membujuk Ray yang harus ke dokter untuk vaksin, tapi dengan cara yang elegan tanpa harus ada amarah. 

Kami berdua jatuh bangun mengelola emosi setelah ditinggal orang yang kami cintai. BAPAK. 

Baca juga: merawat orang tua wajib sehat lahir batin

Tidak mudah, tapi harus dijalani. Untuk menghadapi Ibu, saya harus memastikan kalau kondisi badan dan emosi saya harus oke. Karena ketika dalam posisi capek, saya justru akan terpancing marah. Ibu menyuruh saya lebih bersyukur karena punya ina inu. Harus kuat momong anak seperti beliau dulu. Menganjurkan punya anak perempuan yang diulang berkali-kali padahal saya tidak nyaman dan merasa kerepotan. 

"Sekalian repot", ungkapan yang membuat saya marah. Karena yang repot adalah saya, bukan mereka. 

Menghadapi Ibu, mengurus anak-anak, pekerjaan, menjadi istri membuat saya melupakan jadi diri sendiri. Hal-hal ini yang membangunkan inner child saya. Kabar baiknya, saya menyadari sedang tidak baik-baik saja dan tidak sungkan meminta bantuan. 

Post Partum Depresion

Setiap hari merasa kelelahan, malas makan padahal sehari tidak makan, emosi labil, menangis tergugu, napas pendek-pendek, cemas, dada rasanya sesak. Sebulan terakhir kondisi ini yang saya rasakan. 

Koneksi sebagai anak, ibu, istri bahkan diri sendiri seperti hilang. Saya sama Ibu obrolannya memilih topik yang aman, yang tidak menyebabkan kami berdebat panjang. Saya cerita kondisi dan perasaan saya pada suami. Semula kami baik-baik saja dan lebih merasa tenang. Tapi pada akhirnya saya lebih defensif ketika suami tidak bisa memberikan arahan seperti yang saya mau atau butuhkan. 

Sepanjang jalan nangis, rasanya kepala banyak kunang-kunangnya

"Kalau aku capek, aku harus ngapain ya?", saya ingat betul isakan tangis di mobil dan bertanya demikian. Suami menjawab " Istirahat". Jawaban sederhana yang membuat saya marah. Bagaimana bisa istirahat kalau anak-anak nempel terus. Rutinitas yang rasanya membosankan dan melelahkan dari pagi ke pagi lagi. Isi kepala penuh sekali dan saya bingung harus menguraikannya darimana. 

Hingga akhirnya saya menjadwalkan ke psikolog. Btw, suami mungkin juga bingung menghadapi saya. Dan lebih memilih diam karena takut reaksinya membuat saya lebih marah. Padahal saya menganggap diamnya adalah bentuk tidak peduli. Koneksi ini yang membuat kami kaku. Sama-sama merasa serba salah. 

I need help


Selain suami, setiap hari, jika sensasi rasa cemas dan ketidaknyamanan itu mulai hadir, saya whatsapp sahabat saya. Texting segala hal. Dia juga menanyakan hal-hal yang kelihatannya sepele. Ayaa sehat? Sudah makan? Semoga hari ini menyenangkan yaa. Hal-hal seperti itu. 

Ketika bertemu psikolog, belum mulai sesi saja saya sudah bercucuran air mata. Beliau tidak menjeda dan memberikan tisu. 1,5 jam saya menceritakan kondisi saya. Ada beberapa hal yang disarankan yang membuat saya lebih baik (saat ini) 

1. Penerimaan 

Menerima segala perasaan yang ada. Ketika cemas dan emosi hadir, tidak buru-buru diusir. Kalau selama ini selalu mengusir rasa tidak nyaman, dilatih pelan-pelan. 

Saat Dokter menyampaikan hal itu, untuk tahap ini saya sudah menerima kalau sedang tidak baik-baik saja. Berlatih untuk pelan-pelan padahal sebelumnya saya ga tau ilmunya. Dan ternyata saya benar, tinggal melatih dan mengasahnya saja. Plis, jangan denial kalau misal kalian sedang tidak baik-baik saja dan justru pura-pura kuat atau bahagia. Karena menurut saya itu sangat menyakitkan dan menyedihkan :(

2. Memeluk diri sendiri setiap bangun tidur atau mau tidur

Saya diajari memeluk seperti posisi kupu-kupu. Belajar berterimakasih dan minta maaf sama diri sendiri. Untuk hal ini, sebenarnya saya juga pernah dan sempat melakukan, tetapi tidak menjadikannya kebiasaan secara konsisten. 

Selama ini, mungkin kita tanpa sadar terlalu keras pada diri sendiri, sehingga lupa mengapresiasi. Kalau pikiran saya lagi beneran ruwet dan bundet, selain memeluk diri sendiri, saya memanjangkan napas. Teknik yang pernah diajarkan bidan kita saaaaangat bermanfaat untuk pemulihan PPD ini. Sadar napas kalau kita berharga :) 

Baca juga: belajar napas di bidan kita

3. Reframming dan memunculkan memori baik

Kalau kondisi saya saat ini, memori masa kecil berkelindan dan merangsek tanpa permisi. Membuat dada saya sesak. Menjadi Ibu itu seperti ditodong rasa bersalah dari segala arah. Sudah merasa memberikan yang terbaik, tapi ada ruang yang menuntut dengan pertanyaan yang menyerap emosi; apakah keputusanku benar? Apakah sudah menjadi Ibu yang baik? Hingga pada satu titik mengulang mantra "Anak-anakku tidak butuh Ibu sempurna, tapi Ibu yang tenang", sambil menerapkan poin 2.

Jika kenangan buruk pola asuh Ibu yang dulu saya anggap keliru hadir, saya disarankan menghadirkan momen-momen manis dan terbaik dari Ibu. Mencari dan mengingatnya pelan dan berulang *menuliskan ini saja saya bisa menangis*. Saya yakin, Ibu dulu sudah memberikan versi terbaiknya tanpa bermaksud mengabaikan saya. Saya memaafkan dan menghadirkan ingatan baik bersama Beliau. 

4. Beri batasan dan ruang

Kita tidak berteman tidak apa-apa. 5 tahun terakhir sejak menjadi Ibu, circle saya mengerucut. Merasa tidak harus berkewajiban untuk memiliki teman yang banyak. Percaya diri melakukan apa-apa sendiri yang bagi sebagian banyak orang terasa aneh. Ternyata makan atau nonton sendiri memberikan ruang untuk mengenal lebih jauh apa mau kita tanpa harus pura-pura. 

Memberikan batasan apa yang perlu dipikirkan atau apa yang perlu diabaikan. Jangan sampai kita justru terbalik melakukan keduanya. Caranya bagaimana? Ada di poin 5.

5. Journalling

Menuliskan hal-hal yang membuat kita harus atau tidak harus dilakukan. Menuliskan apapun yang kita rasakan ternyata bisa lebih membuat lega. Untuk hal-hal yang lebih privasi, saya menulis dengan tangan di buku. Tulisan di blog ini saya publish untuk mengenang, bahwa nanti ketika saya insya allah lulus dari PPD, saya bisa membacanya sambil tersenyum :) 

Untuk yang merasa tidak baik-baik saja, pelan-pelan pulih ya. Rasakan sensasinya. Khususnya yang sedang mengalami PPD. Jangankan mengurus bayi, memeluk diri sendiri rasanya butuh energi. Tidak apa-apa. Rasamu valid. Tidak perlu membandingkan dengan yang lain prosesnya. Karena semua memiliki path masing-masing. 

Tidak melulu lekas pulih demi bayimu, tapi untukmu terlebih dulu. Himpun seluruh hal baik untuk mendukungmu. Siapapun yang membuat nyaman, genggam erat-erat dan peluk mereka agar bisa tersalur energi positifnya. 


Tertawa itu hanya chasingnya.  Tapi Rasa tenang itu ada dalam hati yang tahun ini aku usahakan setengah mati

Ketika kamu merasakan hal sama di atas dan mengganggu aktifitas sehari-hari, cari bantuan profesional. Curhat pada teman, keluarga bahkan suami belum tentu menjadi jalan keluar karena memang mereka mungkin tidak paham harus apa dan bagaimana. Ke psikolog atau psikiater bukan berarti kamu gila, justru kalau kamu tidak diobati akan mengarah kesana. Ke Dokter tidak melulu diresepkan obat, diagnosis yang tepat akan membantumu pelan-pelan pulih. 

Mari songsong 2023 dengan berani dan berenergi! :) 


2 komentar

  1. Berkisah tentang perjuangan seorang ibu, hmmmm....gak akan lepas dari yang namanya menitikkan air mata.

    Mbak Aya, mari kita sambut 2023 dengan penuh sukacita bersama keluarga tercinta daaaaaan jangan lupa takaran kasih sayang untuk diri sendiri dipenuhi 🤗🤗

    BalasHapus
  2. Dek Aya... sebelum malam pergantian tahun ini, saya ditakdirkan Allah mampir ke sini.
    Ngga kerasa, ada bulir di sudut mata, juga sesak yg sama, seperti rasa yg tertuang dlm tulisan Dek Aya.
    Ya, saya juga berjuang dek... bahkan sempat merasakan dan bilang ke suami, "kirim aku ke rumah sakit jiwa saja."
    Peluk dari jauh, selamat menyongsong hari² yg baru ya Dek, salam utk keluarga ❤️

    BalasHapus

Hai, terima kasih sudah berkunjung dan membaca! Let's drop your comments ya. Insya Allah akan berkunjung balik :)