Featured Slider

Hei, ini tahun kabisat!

Baru nyadar kalo tahun ini adalah tahun kabisat :D. berarti hari ini langka yaa, hanya setiap 4 tahun sekali muncul (kekeke). Nothing special sih, tapi seenggaknya masih ketemu dengan tahun-tahun kabisat seperti ini.
“Kenapa?”
“Yah, seneng aja”
“Alasannya?”
“ Seneeeeng aja”
“Loh kok gitu?”
“Emang Kenapa?”
“Ini yang nanya siapa, yang jawab siapa”
Ckckck…
“Emang kalo seneng sama sesuatu, kita harus butuh alesan ya? Contohnya sekarang. Apa aku harus mengeluarkan bejibun alesan hanya untuk mengatakan kalo aku suka hari ini itu tahun kabisat. Lah ribet amat caramu untuk bahagia”
“Bukan, bukan itu maksudku. Tapi biasa aja kali, gak usah teriak-teriak kalo ini tahun kabisat. Lagian juga gak ada special-spesialnya selain muncul 4 tahun sekali”
“Okay, udah berapa kali kamu ketemu tahun kabisat? Heh?”
“Eh? Mmmm? Ngapain harus menghitung? Repot-repot amat”
“Berapa kali?”
“Mmm, 5 kali. Tuh kan aneh, ngapain juga menghitung umur sama tahun kabisat. Aneh!”
“Iya kan, kamu nganggep aneh lagi, lebih aneh lagi kenapa kamu butuh alasan untuk bahagia kalo hal-hal sederhana aja bisa membuatmu lebih bahagia. Misal umur kamu dipatok 65 tahun”
“Yah, makin aneh”
“Kalo kamu dipatok umur sewajarnya umur manusia, sebutlah 65 tahun. Berarti kamu bakalan ketemu dengan 16 kali tahun kabisat. So, masih 11 kali kesempatan bertemu tahun kabisat. Nah, mau kamu warnai apa aja tahun-tahun kabisatmu :D”

Hanya membicarakan tentang tahun kabisat, bagaimana kita mengisi setiap tahunnya? Berapa kabisat yang kita lewati? Berapa kabisat lagi yang tersisa?.. itu saja.

-END-

Solo, 29 Februari 2012
Read More »

MEMBACA DAN MENULIS

Aku mudah lupa, lebih tepatnya sulit mengingat kata-kata sulit yang sebenarnya lazim kutemui. Memang, hobby-ku membaca, tetapi untuk hal yang 1 ini (lupa-Red), aku masih mencari obat yang paling ampuh untuk mencegah lupa atau setidaknya menepis agar tidak semakin akut. Gluk-gluk-gluk, aku pernah melupakan satu hal yang sebenarnya simple untuk kuingat tetapi penting. Semakin mengingat, semakin pening. Macam mana ini aku, umur 22 tahun saja sudah seperti umur 40 puluhan.
Cliiiiiiiiing, akhirnya pelan-pelan aku menemukan trik dan tipsnya. Cukup membantu, dan saat aku lupa aku pelan-pelan mengingatnya, tapi kalo gagal mengingat beberapa waktu, aku melihat contekan tulisan yang aku buat, yah bisa ditebak, aku menuliskannya. Entah menuliskan di notes hp, kertas kecil ajaibku (Aku punya buku khusus untuk mencatat hal-hal yang menginspirasiku). At least, aku bisa –lumayan- ingat dan mengeryitkan kening saat aku mencoba mengingat-ingat kata-kata penting.
Ah iya, Shinkansen--. Aku pernah belajar keras mengingatnya. Kereta ekspres Jepang. Tetapi intonasinya yang awalnya sulit membikin betul aku kesulitan untuk mengingat. And saat aku membacanya berulang-ulang, menuliskan dalam top list note yang membuatku lupa, akhirnya aku ingat. Mmm, Endorser--. Apa itu? Dulu aku bertanya-tanya maknanya, mencari-cari dan mengingat-ingat maksud kata itu. Kalo kalian membaca buku, trus di belakangnya ada komentar-komentar tentang kelebihan buku itu, nah itu namnya endorser. “Buku ini mengajarkan banyak hal, kesederhanaan, cinta kasih. Dan paling mengharukan halaman 66”, gitu-gitu deh.
Nah, masih banyak kata-kata lain yang menjadi top list note-ku. Mencoba mengingat-ingat, semakin diingat semakin ingat, bukannya mlah semakin lupa :p. setelah mebaca, aku menuliskannya, membaca lagi, menuliskan lagi dst.

Solo, 29 Februari 2012
Read More »

NULIS DONG :D

Mulai hari ini pengen banget istiqomah nulis-apapun :D. Program sehari 1000 kata yee! Ah, memang konsistensi seringkali dipertanyakan, berjubel alasan dan alibi kesibukan untuk menunda tulisan. But, kali ini, pagi di sela packing pindahan, aku menanamkan tekat untuk melakukannya. Yah, menulis--apapun di sekitarku. Moga aja bermanfaat untukku, untukmu dan semua :p

Bye!

Pagi-Solo, 28 Februari 2012
Read More »

BANGUN PAGI

Alarm, niat, tekatku untuk bangun pagi. Simple saja, shubuh waktu adzan berkumandang dan menahan diri untuk tidak tidur lagi. Ah, kata ibuku dulu, “Anak wedok ki ojo tangi awan-awan, kudu tandang gawe ngewangi ibune”, kalimat itu sampai hafal seperti mantra di luar kepala. Ibuku memang begitu, melafalkan suatu wejangan tanpa menjelaskan kenapa wejangan itu harus dilakukan. Tetapi, semakin dewasa (eh menua maksudnya :D) aku semakin paham adagium-adagium yang diberikan ibuku sejak kecil.

Focus saja tentang bangun pagi, fyuh rasanya aku malu dengan kakak ipar keduaku. Bayangkan saja, dia bangun jam 4.30 sampai 21.00-22.00 malem, tiap hari man! Mmm, percaya atau tidak, aku mulai belajar sebisa mungkin bangun pagi. Atau paling tidak, saat aku sudah bangun tidak beranjak untuk tidur lagi. Simple kan? Tapi menurutku aku masih belajar keras memaksakan untuk hal yang satu ini. BANGUN PAGI DAN TIDAK TIDUR LAGI.

Pemahaman-pemahaman baru yang membuatku mengerti bagaimana sesuatu itu harus dilakukan tanpa harus menuntut penjabarannya di awalnya. Jangan tanyakan mengapa dulu? Tetapi dengarkan, pahami dan lakukanlah dengan baik. Menjadi pendengar yang baik menurutku lebih baik daripada menjadi pembicara hebat yang hanya menyampaikan teori-teorinya saja. Yang menjelaskan secara detail tetapi dirinya tidak sepenuhnya paham dengan penjelasannya sendiri.

At least, kamu mau belajar dan belajar sambil menekankan bahwa adagium-adagium seperti “harus bangun pagi agar rejeki tidak dipatuk ayam” ada benarnya. Analogi seperti itu hanya untuk memudahkan pemahaman anak kecil. Jika anak kecil saja mafhum dengan hal itu, kenapa kita tidak! Get up earlier J..

Solo, habis jobfair UGM 6 Februari 2012

Read More »

DEMI MASA

Tanaka mempersiapkan pagi itu, sebaik-baiknya. Setumpuk kertas berisi risetnya yang pagi itu harus dikonsultasikan dengan pembimbingnya. Tanaka memang sudah melewatkan 1 periode wisuda di kampusnya. Oh iya, sistem wisuda di kampusnya diadakan per cawu, jadi setiap 4 bulan sekali ada momentum sakral yang diimpikan tiap mahasiswa s-1.

Memakai kemeja hijau dengan stelan rok panjang coklat, Tanaka mematut-matut dirinya di depan cermin sambil berkomat-kamit, semoga kali ini dosennya tidak banyak mau lagi tentang risetnya. 15 menit menunggu, 30 menit masih setia akhirnya 47 menit dosen paruh baya itu datang ke kantor. Tanaka berlari sambil membawa setumpuk kertas hasil risetnya. “Gemana Tan? Sudah fix semua hasilnya?”, Dosen itu menoleh sambil berjalan menuju ruangannya. Tanaka hanya senyum-senyum deg-degan sebenarnya.

Dia menyerahkan semua hasil Tugas Akhir beserta data risetnya. Pak Paul membuka-buka riset sambil membenah-benahkan kacamatanya. “Hasil revisi terakhirmu mana, Tan?”, Pak Paul mulai serius. Tanaka mengeluarkan segepok kertas lagi dari tas gendongnya. “Ini kemarin teori yang sudah saya rubah berdasarkan arahan Pak Paul. Nah, data-data risetnya juga sudah saya lampirkan di belakang, Pak”, Tanaka mencoba menjelaskan. “Pak, saya bisa ikut wisuda periode ini nggak ya?”, Tanaka bertanya hati-hati. “Lha kamu ngapain lulus cepet-cepet, bukannya tahun ini ada remunerasi?”, Jawaban Pak Paul membikin betul dahi Tanaka mengeryit. “Bukan begitu Pak, tapi saya pengin sekali ikut wisuda periode ini, kan saya sudah ketinggalan periode kemarin”, Tanaka menambahkan. “Tenanglah Tan, kan masih ada wisuda cawu I dan II tahun depan”, Jawaban Pak Paul sontak mengagetkan Tanaka.

Suasana ruangan menjadi pengap, padahal AC-nya semilir. Seakan berubah menjadi sesak. “Mmmm, kalo saya pindah riset lapangan gemana, Pak”, Tanaka menggigit bibirnya. “Oh, silakan. Kalo kamu mampu menyelesaikannya untuk mengejar wisuda cawu III tahun ini”, Pak Paul dengan cepat menjawab. Hanya sepersekian detik saja, semuanya bisa berubah. Riset yang berjubel yang hampir setahun ini dikerjakan Tanaka berputar haluan. Baru kemarin Tanaka menyelesaikannya sampai titik, tetapi Pak Paul masih memerintahkan koma untuk risetnya. Tanaka membenahi kertas-kertas di meja Pak Paul sambil pamit dan minta restu. Mencium tangannya dan bilang terima kasih.

Di luar ruangan, Gading, Donce, Septa menunggu sambil senyum-senyum melambai-lambaikan tangannya. Mereka kaum seperjuanganku yang juga saling menyemangati menyelesaikan tugas akhir. 3 lelaki hebat yang juga tidak kenal lelah menyelesaikan tugas akhirnya. Bedanya, Gading sudah ujian minggu kemarin, otomatis ikut wisuda cawu III tahun ini. Donce dan Septa berjuang ikut wisuda cawu I tahun depan. Dan aku, yang 1 tahun terakhir setia dengan risetku, melewatkan 2 periode wisuda tak ingin kehilangan momen wisuda cawu III tahun ini. Waktunya masih 2 bulan, tetapi untuk banting setir melakukan riset dari awal lagi, seakan-akan idenya masih abu-abu.

Tanaka masih mencoba tersenyum membalas keriuhan sahabat-sahabatnya. “Hei Tan, gemana rayuan maut? Berhasil membujuk Pak Paul ACC tugas akhirmu?”, Donce bersemangat. “Ayo Tan, kapan ujiannya? Minggu ini? Minggu depan?”, Septa tak kalah semangatnya. Tanaka masih berjalan memeluk kertas-kertas hasil risetnya. “Tan, Pak Paul udah ACC?”, Gading mempersilakan duduk. Tanaka masih tersenyum simpul. Duduk dengan seksama dan meletakkan semua kertas-kertas itu di pangkuannya.

“Aku ganti”, Tanaka menghela nafasnya. “Apaaaaa?!!!”, Donce, Septa dan Gading melotot seperti koor yang diberi aba-aba. “Maksud kamu apa Tan?” “Ah, kamu jangan becanda Tan?” “Bukannya riset kamu udah fix ya?”, mereka seperti wartawan menyerbu dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat Tanaka tiba-tiba meluapkan cairan bening itu. Oh tidak, baru kemarin dia 7 hari 7 malam seperti orang kesetanan mengerjakan riset-riset itu. Siang jadi malam, malam jadi siang. Baru tadi pagi, dia sms mau menemui dosen ganteng itu, yakin akan mendapat anggukan untuk ACC ujian akhirnya. Tapi kali ini, Tanaka benar-benar menangis memeluk setumpuk kertas yang seminggu terakhir ini mengubah ritme tidurnya.

“Doakan aku, kawan”, Tanaka menatap teman-temannya satu persatu meskipun dia sendiri belum tau riset apa yang harus dia kerjakan untuk mengejar wisuda cawu III tahun ini. Hanya sepersekian detik saja, semuanya bisa berubah. Riset yang berjubel yang hampir setahun ini dikerjakan Tanaka berputar haluan. Baru kemarin Tanaka menyelesaikannya sampai titik, tetapi Pak Paul masih memerintahkan koma untuk risetnya. Dan akhirnya, Tanaka memutuskan memulai dari awal.

2 bulan

Hari-hari Tanaka setelah memutuskan pindah total sangatlah penut perjuangan. Disamping harus mengurus tugas administrasinya, dia harus mengurus administrasi perpindahan riset di kampusnya yang terkenal ribet. Pindah riset bukanlah hal yang gampang, mengingat Tanaka pindah total. Tanaka harus mengurus surat-menyurat yang di dalamnya harus ada tanda tangan 5 dosen sekaligus sebagai persetujuan. Belum lagi, tiap dosen mengintrogasinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan penjelasan panjang.

Minggu pertama, Tanaka masih membenahi perasaannya yang nanar, mengumpulkan kekuatan dan sampai saat ini dia masih belum menemukan judul dan rumusan masalah untuk riset terbarunya. Sampai di penghujung Minggu kedua, haris senin, Tanaka bertemu Pak Jauhari. “Eh, kamu Nak, apa kabar? Udah kerja dimana sekarang?” pertanyaan Pak Jauhari membuatku meringis. “hehe, belum Pak. Ini masih nyari ide buat riset”, “Saya kira, kamu sudah lulus dari dulu, Nak”, Pak Jauhari dengan senyum khasnya menenangkan. “Oiya Pak, Bapak berkenan membimbing saya?”, Tanaka memberanikan diri. Keberanian yang akhir-akhir ini muncul tiba-tiba, tanpa dipikirkan, tanpa diskenario. Dia menceritakan kronologi riset sebelumnya. “Okelah Nak, saya bantu. Kamu kerjakan sambil ngurusi administrasimu biar cepet selesai. 2 bulan cukup untuk menyelesaikannya. Besok pagi jam 9, kamu ketemu saya untuk mendiskusikan lebih lanjut. Jangan lupa kamu harus bawa outline”, Penjelasan Pak Jauhari menyejukkan. “Ah iya Pak, ketemu di ruangan Bapak ya?”, binary wajah Tanaka yang seminggu terkhir tenggelam, muncul kembali. Anggukan Pak Jauhari menutup pertemuan penuh makna itu. 10 menit yang membuat semuanya berubah. Minggu kemarin, 10 menit pertemuannya dengan Pak Paul juga merubah segalanya. Detik ini pertemuan yang tidak disengaja antara Tanaka dan Pak Jauhari menjadi air bening untuk mengejar wisuda cawu III tahun ini.

2 bulan ini Tanaka khusuk meneliti tentang galeri batik solo carnival. Ide simple tetapi Tanaka mengkaji lebih mendalam. 2 bulan ini selain mengerjakan itu, dia juga harus menyelesaikan urusan administrasi perpindahan obyek penelitiannya. Peluh, tangis, rasa deg-degan bercampur saat dia harus mengetik tuts-tuts keybord menyusun hasil risetnya. Tanaka seakan ingin membiarkan kelelahan, ketakutan dan kepenatannya menyerah sendiri dengan tekatnya yang sudah bulat, lulus wisuda cawu III tahun ini. Entahlah, apa yang menyebabkan Tanaka kekeh seperti itu. Mungkin saja karena dia kecewa melewatkan 2 periode kelulusan sebelumnya, atau karena karena karena? Aah, hanya dia dan Tuhan yang tau.

1 bulan berlalu layaknya jet, dan Tanaka hampir menyelesaikannya. 85 % tugas akhir itu sudah fix dikerjakan. Mondar-mandir riset ke galeri Solo Batik Carnival, ngurus administrasi yang hampir sebulan belum selesai. Tapi, pagi itu dia bergegas ke kampus pagi-pagi. Gladys salah satu teman kampusnya ujian akhir. Ada 8 orang yang ujian, berarti menurut perhitungan berarti bisa sampai sore ujiannya. Peserta ujian harus menunggu seperti undian lotre, jadi sebelumnya mereka belum tau akan maju di urutan ke berapa. Gladys yang memakai stelan blazer rapi membaca sekali lagi tulisannya.

Detik-detik jarum jam berputar, tetapi dosen-dosen penguji belum semuanya datang. Petugas ujian mondar-mandir membagikan kertas absensi ujian. Jam 09.00 belum juga dimulai, “Dosen penguji belum lengkap, Dik”, petugas itu menjawab pertanyaan yang sebelumnya ingin Tanaka tanyakan. Tanaka menghela nafas dalam.

Akhirnya ujian dimulai jam 09.45. memangnya sistem pengujian seperti apa? Bukankah dosen penguji juga tau kalau hari ini, jam 7 teng ada ujian? Ada dosen yang sudah datang, tapi hilir mudik entah sibuk ngapain. Waktu cepat sekali, tiba-tiba jam 12.00, tetapi tidak demikian buat Gladys. Dia mulai cemas, setiap 10 menit sekali beranjak ke toilet. Tanaka pamit sebentar untuk dhuhur sebentar di mushola kecil dekat dengan ruang ujiannya.

Jam 2 berlalu, tiba-tiba salah satu dosen penguji mendadak ijin. Padahal masih 3 peserta ujian lagi hari itu, Gladys dan ada 2 lelaki lagi. “Maaf, ujian terpaksa dipending, saya ada keperluan mendadak yang tidak bisa ditinggalkan”, salah satu dosen penguji menjelaskan. Wajah Gladys berubah layu. “Saya tidak mau kalo hanya menguji sendirian, karena di peraturan Rektor, menguji skripsi minimal harus 2. Karena pembimbingnya daritadi pagi ijin, dan Pak Yatno juga ijin, berarti dengan terpaksa ujian ditunda”, Bu Ami menambahkan.

Dari semalam belajar, menyiapkan snack, materi, belum lagi menghadapi rasa nervous yang berkepanjangan selama semalam. Dari pagi stand by di kampus, 7 jam menunggu harap-harap cemas, dan sekarang hasilnya ditunda. Harusnya siding ujian dimulai jam 07.30 tapi realitanya jam 10.45 baru dimulai. Sebenarnya apa prioritas pendidik sekaliber dosen saat ini? Apakah waktu begitu mudahnya untuk diingkari? Dengan mudah memutuskan “pending”, “nanti ya”, “masih ada kesempatan lain”. Tanaka tiba-tiba sesak, menenangkan Gladys. Ingatannya memutar ke masa 1 bulan yang lalu, “Lha kamu ngapain lulus cepet-cepet, bukannya tahun ini ada remunerasi?”, . “Tenanglah Tan, kan masih ada wisuda cawu I dan II tahun depan”.

“Kamu tau Ding, Bapakku 64 tahun, ibuku 60 tahun dan aku 22 tahun. Aku hanya ingin melewatkan waktu dengan bapakku lebih lama. Ketiga kakakku melewati wisudanya, pernikahannya bahkan mengurus anak-anaknya, bapak ibuku masih bisa menemani mereka. Bapak ibuku menyaksikan prosesi yang menurutku sakral untuk dilewatkan. Demi waktu, demi masa depanku, aku sedikitpun takkan pernah sudi menyia-nyiakan ataupun menggampangkan waktu, karena aku tak mau merugi kalau-kalau aku tak bisa melewatkan masa-masa itu bersama bapak ibuku”, ucap Tanaka lirih. Akhirnya Gading yang duduk disampingnya paham kenapa Tanaka semangat 45 untuk lulus tahun ini. Dan kalian tau nasib Gladys? Dia masih menunggu jadwal ujian entah minggu ini, minggu depan atau bahkan minggu lusa. Ah, Demi waktu, demi masa depanmu, jangan pernah sekali-kali sudi menunda apa yang harus kamu kerjakan sekarang, karena besok kamu punya pekerjaan lain yang mungkin lebih pelik dari ini..

By : Cahaya theprinces

Solo, 2 Februari 2012

***END***

Read More »

PEMBELAJAR SEJATI

Fresh graduate yang sedang berihtiar menjaring rejeki. Sepertinya aku suka mengamat-amati sekitarku. Sekeliling yang belum aku pahami dengan baik sebelumnya. Seseorang yang hanya sebatas menyapa, tetepi mendadak dekat memberikan banyak pelajaran. Memang, beberapa akhir ini aku tenggelam dalam rutinitas yang berkutat dengan anak-anak. Pagi nyuci, mandi dan ikut test-test, sorenya baca buku, ngajarin PR anak-anak trus nidurin mereka, sampai warung tutup baru aku beranjak ke kamar dan nonton film sampai aku benar-benar mengantuk. Sempurna 1 minggu hal-hal seperti itu berlangsung.

Ah iya, banyak hal yang aku pelajari dari hasil pengamatanku. Aku berhasil memaksa hatiku untuk belajara lurus dan pasti berdebar saat melenceng sedikit saja. Ingin sekali menjadi pembelajar sejati, belajar tentang apapun, dari yang remeh temeh hingga yang kompleks. Misal saja, memasang klan gas elpiji untuk memasak, menyalurkan pipa selang bensin dari drum biru supaya lebih ringan jika ditakar, memasak masangan yang simple (tempe, tahu, sup cs). Meskipun itu semua rutinitas, hal itu menentramkanku.

Belajar, belajar, belajar. Dulu, aku menganggap pengakuan dari orang lain membuatku semangat untuk menyelesaikan sesuatu, dan aku merasa tertantang saat orang lain berhasil menyalip pencapaianku. Tetapi untuk apa semua itu? Sekarang aku baru mengerti, memahami, bahwa selama apapun kita bernafas, kita adapalah pembelajar, yah pembelajar sejati. Belajar bersabar, belajar bekerja dengan baik, belajar memasak, belajar bernegosiasi dan belajar hal-hal lainnya yang belum kita bisa.

Aku paham, sesempurna apapun seseorang pasti ada cacatnya, dan bagaimana cara seseorang itu menggunakan kecacatan itu sebagai lading untuk belajar dan bersyukur. Saat ini hujan di rumahku, seperti biasa, aku melantunkan doa terindahku, “BERIKANLAH PEKERJAAN YANG BAIK DAN REJEKI YANG BAROKAH”. Aku belajar memanfaatkan momen-moment penting untuk berdoa. Menyesuaikan hati agar selalu lurus padaNya. Tetapi kembali lagi, aku ingin sekali menjadi pembelajar sejati, yang tidak pernah puas akan ilmuku tetapi merasa cukup atas segala apa yang telah Dia berikan. Belajar dari masa ke masa, sampai aku sendiri benar-benar paham bahwa sebenarnya aku bukan apa-apa, sampai aku sendiri belajar untuk jujur akan kemampuanku tanpa harus munafik memamerkan kepada orang lain. Sampai aku sendiri mengerti, bahwa pujian-pujian itu hanya akan melenakanku. Selamat belajar Ayaa J

Klaten di waktu hujan,

Ba’da isya 19.35

Minggu. 12 Februari 2012

Read More »

Selamat Ulang Tahun, Pak...

Sekarang Bapak 64, Ibu 56, Mas Agus 37, MAs Jundi 34, Mas Joko 31 dan Aku 22 Tahun. Kulitmu semakin legam dan kasar. Garis dahimu jelas ketara. Aku memandangimu dengan segala cinta dan penghormatanku. Entah kenapa, aku selalu terharu melihat sebegitu besarnya kasih yang kau curahkan selama ini. Lalu, aku sudah memberikanmu apa?
“Selamat Ulang Tahun, Pak”, ucapku lirih. Kau menoleh tersenyum bijaksana terpancar. Aku menggayut bahumu yang masih kuat menjadi penopangku. “Doakan Bapak sehat ya, Nduk”, jawaban itu sempurna mewakili semuanya.
Aku sangat menyayanginya, mencintainya. Lelaki hebat sepanjang masa. Ada pertama untukku, dan selalu saja begitu. Selalu berhasil membujukku untuk melakukan hal-hal yang kubenci. Dan ia-lah yang menanamkan nilai itu. Nilai takut kepadaMu, nilai kebajikan meski hanya setitik.
Oh, aku ingin waktu sehat untuknya lebih lama. Menjaganya dengan cerita-cerita dan impian masa depan yang menjanjikan. Tetapi, meski usia senja menggerusnya, ia tetaplah setegar karang melindungiku. Dan yang selalu aku ingat dari setiap perkataanmu, “Bapak ikut andil memilihkan surge dan nerakamu, Dik”, dengan pernyataan itu seakan aku memahami, saran-kritik-pilihan dari Bapakku takkan pernah menyesatkanku.
Bapak, dik Nur Sayang Bapak karena allah :)
Solo, 15 Februari 2012
Read More »

SEDERHANA

Berulangkali aku selalu mengucapkan kata itu. Bahkan menyisipkannya dalam kalimat. Karena memang sederhana membuatku merasa lega, tentram namun tetap menarik. Kamu sederhana. Aku ingin menyelesaikannya dengan sedrhana. Hidup sederhana. Berpakaian sederhana. Pokoknya sederhana saja dalam hidup.

Meskipun sederhana, hidup tetap elegan. Bayangkan saja yang memakai make up berlebihan, sepatu bermerk internasional, tas yang harganya selangit dan baju-baju yang memerlukan budget yang amboy banyaknya. Tetapi sebenarnya apa yang mereka dapat? Pujian? Applause meriah? Atau kepuasan? Oi, kepuasan itu takarannya apa? Apakah unlimited seperti modem-modem yang kita ini? Unlimited pun tetap ada batasan waktunya. Lalu apa? Untuk kepuasan hati? Ah, bukan itu!

Aku pernah demikian sebenarnya, membeli sepatu bermerk, berwarna-warni menyesuaikan baju yang aku pakai. Memakai accesoris agar kelihatan bling-bling. Dan memakai tas model paling baru biar kelihatan keci dan trendi. Tetapi setelah pulang, aku juga melepaskan semuanya! Sepatu itu hanya berada di rak, accesoris itu juga, iya. Tas-tas itu juga sudah tidak menarik lagi kalo sudah menggantung di kamar.

Lalu esok, esok dan esoknya lagi akan bermunculan brand-brand baru yang akan membuat kita melupakan tas, sepatu dan accesoris lama. Dan begitu berulangkali. Sampai kapan? Sampai kepuasan tercukupi? Padahal kepuasan itu unlimited? Tidak ada batasan waktu seperti modem-modem yang kita pakai. Lalu seperti apa? Toh, orang lain juga hanya sekedar memuji padanan sepatu, tas dan accesoris yg menempel saja. Selebihnya tidak bertanggungjawab kalau-kalau esok keuangan kita amburadul.

Dalam hal ini, aku memutuskan untuk SEDERHANA. Yah belajar sederhana sampai kapanpun! Meski kalian mencibirku tak mengetahui brand-brand terkenal itu, meski kalian mencemoohku tida memakai itu semua. Tetapi, menurutku SEDERHANA itu melegakan. Demikian!

Solo, 3 Februari 2012

Read More »

Miss-Ter

Agaknya lucu, saat les tadi Mr. Dolphi, mentor yang menurutku cerdas, nyengir karena pertanyaanku. “Any question?”, tiba-tiba aku mengacungkan jari. “oh, tolong ulangi penjelasan exercise 11 Miss”, aku menunduk berpikir keras tentang pertanyaanku.

Semua tertawa, dan aku masih menggigit ujung pulpenku. Mr Dolphi juga tersenyum simpul mendengar pertanyaanku. “Lah, saya bener-bener bingung dengan exercise 11 Mis----Ter”, aku menambahkan. Semua tertawa lagi. “Oh, tadi Aya belum selesai kalimatnya, maksudnya Mister”, Mr Dolphi tersenyum.

Setidaknya aku mengalahkan rasa malu untuk bertanya yang belum aku tau. Ah, besok test toefl like, Man! Niatnya mau pulang, tapi urung karena wajib belajar exercise yang belum ku mengerti.

Tiba-tiba ada suara ketukan pintu, ternyata ada petugas yg membagikan sepotong coklat dengan selembar tulisan yang menempel di stick pengaitnya. Ternyata uforia valentine-days juga menyirep ELTI. Meski aku tidak merayakannya, dan semoga tidak terpengaruh dengan uforia itu, aku mengantongi cokltat itu. “Kalian tidak membaca tulisan yang menempel di stick coklat itu”, Mr Dolphi bertanya. Aku lalu mengambil coklat itu kembali dari tas.

“Yah, bayar lagi Miss--?”, aku sontak kaget dan kelas kembali tertawa. “Ah tidak, itu untuk biaya masuk les yg masuknya April. Moga aja gaju mentor juga naik”, Mr Dolphi langsung menimpali..”Ooooo…”, paham-paham..

Belajar dari ini, malu bertanya sesat di jalan. Mending dianggap bodoh daripada harus dianggap pintar. Jadi, bertanyalah saat kamu memang benar-benar belum tau ilmunya. Bisa jadi kamu akan tersesat di pekatnya gelap saat kamu malu untuk menanyakan hal-hal yang belum kamu ketahui. Bye!

Solo, 15 Februari 2012

Read More »

Selamat Ulang Tahun, Pak...

Sekarang Bapak (64), Ibu (56), Mas Agus (37), MAs Jundi (34), Mas Joko (31) dan Aku (22) Tahun. Kulitmu semakin legam dan kasar. Garis dahimu jelas ketara. Aku memandangimu dengan segala cinta dan penghormatanku. Entah kenapa, aku selalu terharu melihat sebegitu besarnya kasih yang kau curahkan selama ini. Lalu, aku sudah memberikanmu apa?

“Selamat Ulang Tahun, Pak”, ucapku lirih. Kau menoleh tersenyum bijaksana terpancar. Aku menggayut bahumu yang masih kuat menjadi penopangku. “Doakan Bapak sehat ya, Nduk”, jawaban itu sempurna mewakili semuanya.

Aku sangat menyayanginya, mencintainya. Lelaki hebat sepanjang masa. Ada pertama untukku, dan selalu saja begitu. Selalu berhasil membujukku untuk melakukan hal-hal yang kubenci. Dan ia-lah yang menanamkan nilai itu. Nilai takut kepadaMu, nilai kebajikan meski hanya setitik.

Oh, aku ingin waktu sehat untuknya lebih lama. Menjaganya dengan cerita-cerita dan impian masa depan yang menjanjikan. Tetapi, meski usia senja menggerusnya, ia tetaplah setegar karang melindungiku. Dan yang selalu aku ingat dari setiap perkataanmu, “Bapak ikut andil memilihkan surge dan nerakamu, Dik”, dengan pernyataan itu seakan aku memahami, saran-kritik-pilihan dari Bapakku takkan pernah menyesatkanku.

Bapak, dik Nur Sayanga Bapak karena allah :)

Read More »

Bisa Menulis ala Tere Liye

Tanggal 20 Januari 2012 kemarin aku beli buku online di tbodelisa milik tere liye. 3 buku sekaligus yang judulnya : Kau aku dan sepucuk angpau merah, bidadari-bidadari surga dan elliana. Di dalam salah satu buku tersebut, aku menuliskan “kapan bertemu?”. Dan tanggal 30 Januari 2012, aku bertemu dengan Begawan itu, yang tulisannya memberikan pemahaman yang baik, yang membuatku menganggukan kepala, yang membuatku trenyuh meneteskan air mata.


baru kemarin aku menuliskan inginku untuk belajar, dan hari ini aku bertemu, mendengarkan takzim




Kaos Oblong, sandal jepit, Darwis Tere Liye


kalo mau download materi yang sy dapet pas workshop pagi itu bisa diunduh disini


Tidak ada aturan baku menulis. Menulislah karena kamu harus menulis, bukan karena orang menginginkan tulisanmu.











Read More »