Featured Slider

Dokter Onkologi untuk Dinda


Dinda mendadak gamang. Banyak bintang di kepalanya. Kemungkinan-kemungkinan terburuk hadir di mimpinya. Bagaimana kalau prasangkaku benar? Apa peganganku? Pertanyaan itu berkeliaran bebas akhir-ahir ini.

Setiap mandi, Dinda penasaran dengan benda asing di lipatan pahanya.

Dia membuka laptopnya dan googling memasukkan kata “dokter onkologi Jakarta”, kebanyakan dokter laki-laki dan jarang sekali yang perempuan.

Was-was berkecamuk dalam dadanya. Bagaimana? Apakah kamu akan memeriksakan dirimu kepada salah satu dokter itu? Ada beberapa rujukan, tetapi kenapa dokter perempuannya Cuma 1? Pertanyaan-pertanyaan itu berhasil membuat hari-hari Dinda merasa sendu.

Ada list dokter bedah onkologi yang Dinda dapatkan dari beberapa referensi :

Pertama, dr. Farida Briani,Sp.Bonk. Beliau praktek di RS. Haji Jakarta setiap Rabu pukul 16.00-17.00. Sebelumnya beliau praktek di RS Permata Cibubur, namun setelah dikonfirmasi, beliau sudah tidak praktek lagi. Ini menjadi oase Dinda untuk mengetahui teman yang ada di lipatan pahanya. Saat dia bercermin Dinda menanyakan pada bayangannya, “Hei, sejak kapan kita berteman”, tangan kanannya meraba ujung pahanya. Dinda menggigit bibirnya sambil berdoa temannya itu memiliki sifat yang baik dan tidak jahat.

Kedua, dr. Ramadhan,Sp.Bonk. Beliau praktek di Rs. Dharmais setiap senin – jum’at pk. 09.00- 16-00. Beliau juga praktek di Siloam Hospital setiap Rabu, Kamis dan Jum’at pk. 16.00 – 18.00. Dinda berpikir kalau setiap Rabu, Kamis dan Jum’at dr. Ramadhan stripping.

Ketiga, dr. Walta Gautama. Beliau juga praktek dir s. Dharmais setiap selasa & kamis pk.09.00 – 16.00. Selain itu, beliau juga praktek di RS. Hermina Jatinegara. Dinda googling, banyak yang pernah diperiksa oleh Beliau.

Dinda mencari per page berharap menemukan dokter spesialis onkologi perempuan yang akan dikenalkan kepada temannya. Akhirnya Dinda menemukan page ini & ini

“Hai teman, jangan nakal ya, jangan menjahatiku, aku mohon”, tangan kanan Dinda mereba pahanya.

Dinda merasakan aneh dengan dirinya. Ada benjolan kecil sebesar biji salak di lipatan pahanya. Sebenarnya, benjolan itu telah ada sejak Dinda masuk kuliah sekitar 7 tahun yang lalu. Dinda mengabaikannya karena tidak merasakan sakit dan 3 dokter yang Dinda kunjungi mengatakan kalau itu tidak apa-apa. Tetapi perkara lain, saat ada sepupunya yang meninggal beberapa hari yang lalu meninggal karena benjolan dip aha yang dari SMA bersemayam dalam tubuhnya tiba-tiba jahat menyerangnya. Dinda mendadak paranoid, sering meraba lipatan pahanya dan berharap “temannya” itu tidak akan pernah jahat pada dirinya. Pikirannya liar entah kenapa membayangkan sesuatu yang membuatnya sesak dibuatnya. Dinda mencoba realistis dan memberanika diri untuk memeriksakan diri ke dokter Onkologi. Yah, spesialis onkologi.

Note : Onkologi adalah sub-bidang medis yang mempelajari dan merawat kanker.
Read More »

Mut’ah, kupon masuk Indonesia Lawyer’s Club


Beberapa waktu yang lalu aku mendapatkan kupon untuk mengikuti debat di Indonesia Lawyer’s Club. Pertanyaan pertama dari moderator, “Apa yang dimaksud dengan Mut’ah?”. Ada beberapa teman yang mengangkat tangannya tanda ingin menjawab. Ada yang berasumsi bahwa nikah mut’ah adalah bla bla bla. Mungkin ada banyak yang mencoba menjawab entah karena mereka ingin kupon itu atau karena benar-benar ingin menjawab.

In the end, tanganku terangkat ke atas tanda ikut berpartisipasi dalam menjawab. Seperti biasanya, tanganku dingin, jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya, dan lebih cepat lagi saat petugas memberikan microphone ke arahku. 100 orang lebih mengarah padaku, mungkin sebagian tidak memedulikan. Memang selalu begitu, 10 detik pertama aku tidak percaya diri apabila berbicara atau mengemukakan pendapat di depan orang banyak, tapi setelah itu degup jantung mulai berangsur normal.

“Mut’ah adalah Nafkah yang diberikan oleh suami kepada mantan istrinya berupa uang atau benda”, jawabku.

Moderator menoleh kearah narasumber dan menanyakan kebenaran jawabanku. Beliau mengangguk, tersenyum dan berjalan ke arahku, menyuruhku mengulang sekali lagi konten jawabanku. Aku mengulang sekali lagi. Di menjentikkan jarinya, “Benar”.

“Selamat mendapatkan tiket masuk ke Indonesia Lawyer’s Club”,  kata moderator dan dia melanjutkan pertanyaan selanjutnya.

“Apa yang dimaksud sumpah li’an”, pertanyaan kedua.

“Sumpah li’an adalah sumpah yang diucapkan suami bahwa isterinya telah berzina atau ia menolak bayi yang lahir dari isterinya sebagai anak kandungnya”.

“Oke, yang dapet tiket masuk ke Indonesia Lawyer’s Club bisa menghubungi panitia setelah acara”, kata moderatornya.

Sebenarnya aku tidak menyukai acara debat atau ikut dalam perdebatan, entah mengapa, aku tidak tau alasannya.

Btw, tema dalam ILC Minggu depan adalah tentang kasus Dokter Ayu yang diduga melakukan malpraktik kepada pasiennya.
Read More »

Anekdot tentang hati dan pikiran

Alkisah di tempat bencana tsunami sedang terjadi kelangkaan bahan pangan. Ada seorang korban yang pada saat itu sedang kelaparan dan dia melihat sebongkah barang pipih yang menyerupai tai kuda tapi di sisi lain menyerupai roti. Dia menggunakan indra penciumannya untuk sesekali memeriksa dan mencoba memastikan bahwa itu roti, karena dia memang lapar. Tetapi hatinya mengatakan bahwa itu roti, “please, jangan dimakan”. Ibarat mahasiswa yang menghitung kancing bajunya untuk menjawab pertanyaan yang jawabannya ambigu. Tai-roti-tai-roti-roti-tai-roti-roti-roti-roti-tai-tai-tai-roti-roti-roti, ah dia akhirnya memakan sebongkah benda itu dan mengunyahnya perlahan-lahan. “byuuuuuuueh”, ludahnya memencar kemana-mana bercampur dengan sebongkah makanan yang dia yakini sebagai roti.
***
Cerita itu anekdot yang saya dapatkan Sabtu kemarin dari seorang praktisi hukum. Entah mengapa saya tidak bosan-bosan mendengarkan pembicaraannya. ini salah satu anekdotnya yang dikaitkan dengan pekerjaannya, lawyer.
“Saat hati dan pikiranmu bertentangan, maka tanyakanlah pada hatimu, hatimu, hatimu dan baru pikiranmu”
Saya memutar-mutar pulpen, berhenti menulis, mendengarkan penjelasannya, mengapa demikian? Mengapa harus hati? Bukankah pikiran juga rasional saat berpikir? Logis dalam memberikan masukan kepada hati untuk memilih? Lalu saya memutuskan untuk khusuk mendengarkan tanpa memutar-mutar pulpen.
“Karena sampai kapanpun, hati kita tidak akan pernah berbohong untuk menjawab”, saya menyimpulkan dari jawaban Beliau.
“Iya, coba kalian perhatikan”, pakai hati kan?
hati-hati di jalan ya, Nak”, bukan pikir-pikir di jalan kan, Nak?
“perhatian-perhatian, bagi para penumpang.............”, mengapa tidak pikirkan-pikirkan, bagi para penumpang........
“Karena hati tidak akan membohongimu sekuat apapun pikiranmu hendak berasumsi apa”
***

Read More »

Karena aku peduli


Hampir genap setengah tahun aku memakai transportasi kereta, banyak pelajaran di dalamnya. Sabar, syukur dan kreatif mencari-cari kesibukan untuk mengisi kekosongan 1 jam di dalamnya. Kebanyakan menjadi emosional dan tidak terkontrol akibat kebijakan pemerintah yang menghapus KRL Ekonomi.

Desak-desakan pasti, serobot antrian sana-sini, sikut menyikut pun tidak dapat dihindari dan kemarahan dijadikan hobby. Saat empati dan simpati sudah enyah, padahal di tempat duduk itu jelas-jelas tertulis bahwa “kursi khusus ibu hamil, lansia dan anak kecil”, namun realitanya tidak seperti peraturannya. Banyak yang cemberut saat tempat duduknya digeser oleh ibu hamil, bahkan sempat ada gerutuan (meski tidak semua).

Sekali aku pernah marah, aku ingat betul di hari pertama puasa ramadhan saat tiket progresif diberlakukan. Ada wanita yang mungkin sebayaku menyerobot antrian. Aku mencoba mengingatkan, tetapi dia tidak terima. Sambil menggerutu dia membalas peringatanku tanda protes kalau dia tidak suka, beruntung aku diingatkan penumpang lainnya, “Ingat puasa, Mbak”, mereka mengusap-usap pundakku. Aku langsung beristighfar berkali-kali. Sepulang itu, aku merenung panjang di  jalan, menangis sejadi-jadinya karena hampir saja aku terpancing marah dan merusak puasaku.

Sejak kejadian itu, aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak memancing dan tidak terpancing untuk marah. Sungguh Gusti Pangeranku, aku tidak akan melakukannya. Meskipun berkali-kali aku hampir terpancing, tetapi aku selalu ingat janjiku!

Di kereta 1 jam, aku ngapain? Biasanya aku melakukan ini nih

Pertama, Membaca buku. Ada pengalaman menarik waktu aku membaca buku di kereta. Ada ibu-ibu yang sewot melihatku membaca di tengah sempitnya space di dalam kereta. Dia selang 3-4 orang jaraknya. Berbisik-bisik, melirik tajam ke arahku tanda tidak terima aku membaca buku. Aku tidak mengindahkannya, tidak memedulikannya karena membaca buku seperti halnya orang lain memainkan hp/gadget yang merek miliki. Di sisi lain, aku tidak merasa merugikannya, karena orang di kanan-kiri-depan-belakangku tidak merasa keberatan aku menghabiskan waktu dengan bukuku.

Kedua, Menghafal hafalan suratku. Ini sangat efektif menghafal kembali surat-suratku.

Ketiga, Mengajak ngobrol penumpang lain, setidaknya menanyakan mau turun dimana, menganggap mereka ada, karena aku juga ingin diperlakukan demikian.

Keempat, Main gadget. Ini solusi paling akhir yang kulakukan setelah ketiga hal di atas sudah tidak memungkinkan untuk kulakukan

Kamu berkuasa penuh atas dirimu sayangku, saat orang lain tidak peduli, tidak lagi bersimpati, tidak lagi berempati, kamu dapat melakukan sebaliknya.
“Jangan dorong-dorong dong Buk!”, aku lebih memilih diam atau kalau lagi mood bagus, minta maaf adalah pamungkas yang membuat suasana mejadi adem.
“Saya juga di dorong dari belakang, kalo gak mau didorong-dorong naik taksi atau gerobak sonoh”, jawaban ini sering kudengar dan miris.
“Bunting-bunting kenapa naik kereta sih”, ini statement terbodoh yang pernah saya dengar. Kalau yang hamil kita gimana, coba? Aku menyeringai sebal/
“Jam-jam begini harusnya gak usah bawa anak kecil naik kereta dong Buk”, gileee, kan gak ada larangan membawa anak kecil naik kereta. Aduh aduh aduh, aku prihatin.

Lalu apa salahnya mereka yang hamil, yang juga ingin naik kereta ke kantornya? Lalu apa salahnya yang membawa anak kecil naik kereta di jam-jam kantor? Ah, aku menyeringai, kebas dengan keadaan.
Tapi setidaknya masih ada yang mau menyisihkan space untuk mereka dengan tulus tanpa harus mengumpat. Setidaknya masih ada yang menahan amarahnya, karena kita sama-sama merasakannya. 

…dan aku ingin menjadi salah satu diantaranya yang peduli, yang berempati dan bersimpati, sungguh Gusti Pangeran, saat mereka kebanyakan begitu, jadikan aku golongan yang peduli yang mempersilakan bumil dan lansia duduk di tempat dudukku, yang mengulurkan tangan bagi mereka yang hendak ikut masuk ke kereta. Because I care of them.





Read More »

Jangan bosan untuk mencoba


Mau seperti apa kamu, kamu yang menentukan. Akhir-akhir ini banyak cerita yang ingin kutuliskan disini, tapi masih tercecer kemana-mana. Sering mengeryitkan kening, memanyunkan bibir dan berbagai reaksi lainnya yang entah bagaimana merepresentasikan aksi terhadap reaki di lingkungan sekitar.

Bagaimana caramu mengelola marah? Mengkombinasikannya dengan cantik sehingga kamu tetap anggun dalam marahmu. Aku tidak ingin diajari, karena memang pengelolaan tersebut tidah hanya sekedar teori. Try, try, try dan terus saja begitu.

Menghadapi berbagai karakter yang kemungkinan ada beberapa yang bertolak belakang dengan kita memang (gampang-gampang) susyah, ada 2 gampang dan 1 susyah, berarti menandakan kondisi itu memang berjalan sesuai dengan keadaan kita karena memang suasana hati memang tidak dapat ditebak.

Setelah beberapa hari mencoba belajar untuk memahami keadaan, ada 1 hal yang menarik menurutku saat perbedaan-perbedaan itu muncul. Aku tidak perlu merubah karakter orang lain, cukup dengan mengkondisikan diri untuk menghadapinya dan cukup tau bagaimana seharusnya bersikap.

Saat aku belum paham, ijinkan aku berhenti sejenak agar aku belajar lebih giat dari biasanya, hingga aku tentang  tentang itu, dan setelahnya aku akan meneruskan perjalananku untuk mencoba, mencoba dan terus mencoba. Adios

Read More »

Grow, grow and grow



Rasanya baru kemarin kamu menangis dan kami tersenyum haru melihatmu, sekarang kamu berlarian kesana kemari dan kami selalu berseru “hati-hati” sambil mengamatimu.
Bagaimana Allah menciptakan skenario yang sangat apik sehingga kami mengerti mengapa dulu kami harus menunggu kedatanganmu.
“Jadi lelaki sholeh ya, Mas”, kata-kata itu tidak alpa dari bibirku.
“Happy birthday Dio Oktorizki Pradana yang ke-3, semoga kebaikan senantiasa tercurah”, Amin.
Read More »

Siapa yang belajar pada siapa

Momen-momen seperti ini yang membuatku tak pernah jauh dari kamera

"Bulik main yuk", sambil mengulurkan tangan mungilnya. "Bulik terima kasih", selepas aku memberikan sesuatu. "Bulik, ini apa? itu apa?", aku menjawab bla-bla-bla dan kalian menyeringai.

Bukan kalian yang belajar dariku, tapi sejatinya, akulah yang belajar banyak dari kalian

...dan itu lebih dari cukup, karena kalian mengajarkanku banyak hal yg sebelumnya aku abaikan... "sholih/sholihah ya sayang", aku membisikkannya sebelum tidur.
Read More »

Kalau aku kangen kamu, aku harus ngapain?

“Kalau aku kangen sama kamu, aku harus ngapain?”, pertanyaan ini mengambang di langit-langit kamar, disaksikan suara kipas tua yang mendesing dan buku-buku berserakan yang beberapa hari ini merasa nyaman bertumpuk tidur denganku.

“Lalu pertanyaan itu untuk siapa?”, aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal, tidak ada jawaban.

Hoi, ini malam minggu, ada pasar malem di sebelah kompleks. Ombak air yang berdesir, kemidi putar, arum manis. Mungkin aku akan tetap menjadi penggemar pasar malam. Bukan karena keramaiannya, tapi kadang-kadang, aku ingin menjadi anak kecil lagi, yang bebas memilih permainan tanpa aturan.

Sadar ini pukul 22.25 akhirnya aku memutuskan untuk mengunci kamarku tanpa memberekan buku-buku itu di ranjangku. 

Dan sebelum tidur, aku masih belum menemukan jawaban atas pertanyaanku. Kalau aku kangen sama kamu, aku harus ngapain? Dan aku tidak tau itu untuk siapa. adios
Read More »

Sepuasnya atau secukupnya?


“Yang benar itu, makan sepuasnya atau makan secukupnya?”

Ah, kadang-kadang statement satu dengan yang lain itu beda-beda tipis. Tapi menggelitik sekali kalo dirunut lebih jauh. Dalam hal ini, saya cenderung menyukai statement kedua, meskipun kadang-kadang, hanya KADANG menyukai statement pertama.

Sepuasnya berimbas pada suka-suka kita, parameter untuk berhentinya adalah saat perut kenyang, sudah cukup.

Secukupnya lebih pada kendali kita agar kita berhenti sebelum rasa kenyang itu sendiri. Trus parameternya apa? Pastinya, masing-masing pribadi tau tanpa harus menerima penjelasan.

Tiba-tiba ingin menulis ini, karena ingin mendapatkan penjelasan “apakah kamu sudah merasa cukup, sayang?” 

“Kalo jawabannya belum, kamu masih bisa belajar, tapi kalo TIDAK merasa cukup, BERBUATLAH SESUKAMU KALO TIDAK MALU!”, dan tiba-tiba bulu kudukku merinding.

Bye jam makan siang.
Read More »

Talk to Myself #1

"Saat kita memutuskan untuk memaafkan dan tidak membalas (meskipun sangat bisa) orang yang menyakiti kita, detik itulah kita telah menang atas diri kita sendiri"

Saya menggigitnya lekat dan erat.
Read More »

Bibir Gincu


Aku mematut-matut di depan cermin. Mengatup-ngatupkan bibirku agar lipstiknya kelihatan rata.

Hari ini berbeda. Aku merasakan nyeri di perut beberapa hari ini. Saat kambuh bisa sakit luar biasa.

“Jangan-jangan lu lagi PMS, Sha. Minum kunir asem sana”, kata Mbak Ell.

“Ini masih tanggal 10, Aisha period nya 27-an, Mbak”, jawabku sambil memegang-megang perut.

Obrolan itu sudah 3 hari berlalu, berarti sudah 4 hari ini aku sudah bersahabat dengan rasa nyeri itu.

Seringkali menepuk-nepuk perutku, berasa perutku ada bayinya (tapi tidak). “jangan rewel ya, saying”, gumamku saat mau naik kereta. 1 jam dengan posisi berdiri mengelus-elus perutku.

Bibir Gincu

Pagi ini pucat, bibir pecah-pecah. Aku mengambil salah satu lipstick di dompet. Aku punya 3 warna lipstick Revlon med (aku gak tau tulisannya gimana, tapi lipstick itu bisa tahan sampe semalaman). Biasanya aku memakai warna bibir atau lipglos, tapi hari ini berbeda, aku mengambil warna merah menyala.

Aku mematut-matut di depan cermin. Mengatup-ngatupkan bibirku agar lipstiknya kelihatan rata.

“Hiyah, bibir kamu habis jatuh dari mana, Sha, kok merah banget”, Roppongi mengejek, aku senyum.

“Aishaaaaaaaaaaaaaaaaaa, tumben pake merah-merah”, Diyara mencubitku, aku senyum.

“Aish, ada yang beda hari ini ya? Tapi apa?”, Pak Supri tersenyum dan aku juga senyum.

“Aisha, kamu cantik pake gincu itu”, dia bilang begitu, aku senyum dan berlalu.

Hari ini memang berbeda. Semua berkomentar sesuka mereka, tapi apa mereka tau? Perutku 5 hari ini melilit? Membuat mukaku pucat pasi, sementara deadline-deadline  itu menari-nari tak memberiku jeda waktu.
**

“Eh, Sha. Kok tumben gak pake gincu lagi?” Roppongi meledek lagi.

“Ah, elu mah, pake gincu salah, gak pake ditanyain”, Aku meninjunya kecil sambil tertawa, dan dia tertawa puas.

Kita tidak bisa memaksa orang lain untuk berkomentar tentang kita. Tetapi, kita bisa memanage diri kita untuk menanggapinya, tanpa harus terganggu karenanya.
Read More »

Gadis itu bernama Indi



Buku yang selesai kubaca sekali duduk

Hari ini aku memutuskan ke toko buku, hanya sekedar membeli map kuning dan beberapa alat tulis kantor. Tetapi, di jalan aku tersenyum-senyum sendiri, bukan karena hal yang “wah”, melainkan karena aku memprediksikan niatku. Di toko buku banyak release buku baru, ada yang berlabel “recommended”, “best seller”, aku hampir dan kebyakan tergiur mengambil dan memasukkan ke tas belanjaan untuk dibayar di kasir. 
Hari ini berbeda, ada yang sedang launching buku baru. Hari ini memang berbeda. Aku yang biasanya melewatkan acara itu, pengecualian untu Tere Liye (:p), tapi kali ini aku menanyakan pada penjaga barang karena tertarik dengan suaranya. Yah, wanita.
Aku : “Ada acara ya, Mas?”
Masnya : “Iya Mbak, penulis Mikha, Mikha gitu” *sambil tersenyum khas.
Aku : “Makasih Mas”, *sambil meminta nomer yang biasanya langsung aku kalungkan di leher.
Aku mendekat acara launching buku dan melihat-lihat ada beberapa buku yang di pajang di dekat gadis yang sedang berbicara dengan MC, mungkin menceritakan tentang bukunya, tebakku.
Waktu aku sama Mikha judul buku terdahulunya dan gadis itu bernama Indi Sugar. Suaranya lembut, roknya mekar dan aku suka pembawaannya. Tanya jawab, cerita tentang kenapa dia suka menulis, siapa yang menginspirasinya, banyak dan aku menyimak.
aku menulis karena aku suka bukan karena terpaksa. Sejak 7 tahun, aku sudah memulai menulis diary. Seperti melepaskan rasa, refleksi”, katanya.
Sebelumnya, aku penasaran dengan isi buku Indy, karena secara barisan yang ada di depan hafal dengan setiap kata, bagian yang ada dalam buku waktu aku sama Mikha bahkan ada juga yang niat bawa semua koleksi buku dan DVD untuk ditandatangani.
Singkatnya, aku dapet buku Mikha, karena aku menjadi salah satu penanya.
Sebelum pulang, aku menyempatkan beli buku yang sudah kuniatkan dan memang benar, alat tulis tidak terbeli karena kuputuskan untuk membelinya di tempat fotocopy langgananku. Menengok harga buku Mikha, sekitar 22rb. Buku itu seperti buku saku, menuruutku. Berisi kumpulan puisi, cerita nyata tentang Indy dan Mikha. 
Read More »