Featured Slider

Apakah kita masih menatap rembulan yang sama?



Aku hanya sempat melihat punggungmu dari kejauhan. SAMAR. Kita bersengketa dengan ego kita, menghapus satu dua kata padahal hanya untuk menanyakan “sedang apa?”, tidak mengapa ini semua, takdir baik tidak akan pernah sedikit pun keliru. TIDAK AKAN PERNAH.

Apakah kita masih menatap rembulan yang sama?, tanyaku.

Aku berharap jawaban itu “masih”. Entah dapat contekan dari angin maupun rembulan itu membisikkan padaku, bahwa kamu juga menatapnya sepertiku.

Bohong, jika aku telah melupakanmu. Bohong juga jika aku tidak pernah sedikitpun merindukanmu. Bahkan kamarku tercium aromamu. Hingga aku selalu mengganti kamper stella buah-buahan untuk menyembunyikan aromamu. Mengganti sprei setiap minggu sesukaku. 

Iya, ego kita sama-sama tinggi. Eh, bukan egoku terlalu tinggi untuk mengakui. Cukup. Malam ini aromamu mulai memekakkan hidungku. Saat aku menulis ini pun, aku yakin kamu bercengkrama asyik dengan si merah, atau malah bergumul dengan guling kesayanganmu.

Berulangkali kamu bilang, wanita itu makhluk aneh. Dan aku selalu menjawab, itu adalah kodrat alam, memang lelaki harus mengerti tanpa harus dijelaskan, memahami lewat bahasa tubuh, mendengarkan bisikan-bisikan yang tak sempat terkatakan. Kamu hampir gila dibuatnya. Itu sebabnya, aku tak membebankanmu untuk mengerti. Karena sejujurnya, kadang-kadang aku pun tak mengerti harus bagaimana menyikapimu.

Read More »

Sssstt, Dinda memenangkan dirinya sendiri


Bagaimana “takabur” itu menyelusup begitu cepat ke nadi dan menyebar ke seluruh tubuhku. Bagaimana rasa congkak itu berdiri gagah dalam sanubari. Aku berpegangan kuat di kereta sambil menggigit bibirku agar semua perasaan itu enyah.

Din, lulus gak? Namaku gak ada”, mataku masih sayu, bangun tidur membaca pesan whatsapp dari Saif.

Aku belum liat Saif :D”, aku melepas mukenaku. Apa doa terakhirku? Aku ingat jelas, meminta yang terbaik saat aku telah melakukan semuanya. TERBAIK.

Di kereta banyak sekali massage yang menanyakan tentang itu. “lulus atau gak?”. Masa iya kalo mereka lulus, aku gak bisa? (pertanyaan dan perasaan seprti ini nih yang ingin aku hapuskan). Aku menghela nafas panjang, beristighfar.

“Bagaimana kalau kamu tidak lulus?”, pertanyaan itu muncul dalam sanubariku. Tiba-tiba kakiku gontai, kepalaku penuh dengan bintang. Aku mengambil kendali penuh akan diriku, menghalau perasaan yang menelusup yang kalau dibiarkan akan membuatku tumbang seharian. “Itu yang terbaik, meskipun gagal adalah jawabannya”, jawabanku atas sanubariku berat sekaligus melegakan.

Di kereta yang baru saja melaju setengah perjalanan, aku mendownload pengumumannya, terunduh sempurna. Pilihan “save or open”. Jemariku menyentuh layar “open” dan aku sembari mengatur nafasku untuk kemungkinan yang terburuk.

Di tengah keramaian, mataku terpana pada layar handphone dan mengharap ada namaku. Hingga page 21, ternyata namaku tidak ada. Itu berarti aku “belum lulus”. Wajar perasaan itu berkecamuk hebat hendak menyalahkan, tetapi akal sehatku berfungsi secara penuh. Cukup ya, ada rencana terbaik menunggu.

Sesampai kantor, aku langsung mengambil wudhu dan mukenaku.

“Terimakasih karena telah memberikan yang terbaik, terimakasih telah mencintai dengan sempurna, terimakasih karena memberikan penjagaan yang luar biasa. Aku yakin rencanaMu tiada duanya, aku ridho, mohon hapuskan takabur ini, mohon hapus dengki ini dan biarkan aku bahagia dengan jalanku yang Kau pilihkan”, aku tergugu, mukenaku basah.

“Jika memang aku tak mampu mengendalikan perasaanku, aku titipkan segalanya kepasrahanku…………..”, aku tak mampu merangkaikannya lagi.

Ajaib, perasaanku lega. Beban itu tidak lagi seberat tadi. Lagian beban apaan? Karena memang aku tidak memiliki apa-apa untuk diklaim menjadi sepenuhnya milikki.

***

“Mbak Dindaaaaaaaaaaaaaaa, udah liat pengumuman?”, Morgan membawa kertas dan map dengan muka bersinar-sinar.

Aku tersenyum melihatnya.

“Gw tadi deg-degan buka ini nih Mbak, takut nama gw gak ada”, dia mengulak-alik kertas yang dibawanya.

Aku masih tersenyum kepadanya dan menghentikan mengetik keyboard demi melihat pancaran bahagia di wajah anak bujang yang sedang ababil.

Aku belum lulus, Mor”, aku masih menyunggingkan senyum kepadanya. Bukan, senyuman itu tidak aku buat-buat, tetapi memang senyuman kelegaan. Lega karena menerima “kebelumlulusanku” sekaligus lega karena ikut senang Morgan lulus.

“Sumpeh Lu Mbak, sini nomermu berapa, gw cariin”, Morgan membelalakkan matanya.

“Namaku gak ada. Selamat ya, kayaknya kita bakalan tukeran departemen nih”, aku berkelakar.

Wajah Morgan yang bersinar-sinar mendadak redup.

 “Mbak Dindaaaaaaaaaa”, bujang itu mulai merajuk. Aku tidak memedulikannya.

Bagaimana aku bertarung dengan diriku sendiri. Kegagahan dengki dan takabur itu mencair berubah senyuman lega. Bagaimana mereka merongrongku dengan kekuatan mereka. Finally, aku menjadi ratu atas diriku sendiri, tidak membiarkan perasaan-perasaan aneh itu bertahta.

Kamu baik-baik saja, Din?”, sanubariku bertanya padaku.

Jauh lebih baik sayang”, aku menepuk-nepuk dadaku tempat sanubariku berada.

Jawaban terbaik itu tidak selalu lurus dengan keinginan kita, kadang-kadang membelok bahkan menikung tajam. Dan kita akan bisa menyimpulkan di ujung cerita setelah melewati semuanya dan berkata “Oh My God, you’re the best creator in my life. Thank you”.


Read More »

Wedding Anniversary


Semoga sakinah, mawaddah, warahmah Bapak-Mamah
7 tahun yang lalu, arak-arakan mobil menderu di depan rumahku. Memerhatikan mas bujangku yang hari ini melepas masa bujangnya. Berjas hitam dipadu dasi merah marun serasi, aku sempat bertanya kepadanya, bagaimana perasaannya saat ini. Dia tersenyum. Asyik menghisap rokoknya, meski aku tak suka, tetapi aku dapat menebak kalau dia sedang menyembunyikan keresahannya. Atau mungkin dia sedang merapal kalimat akad untuk mempersunting gadisnya.

Waktu itu, aku masih duduk di bangku kelas 3 SMA, menyaksikan moment akad nikah sebagai bentuk janji mitsaqan galidzo dengan Tuhan, Oh my God, aku tidak bisa menahan rasaku, seperti atmosfer, suasana pagi itu benar-benar khusuk. Tiba-tiba aku tergugu sesaat.

“Saya terima nikahnya Era Rahmawati binti Haji Mustajab Heru Susanto dengan mas kawin tersebut, dibayar TUNAI”, sempurna air mataku meleleh, memandang kakak kesayanganku telah menyandang predikat suami.

“Saaaaaaaaaaaah”, orang-orang berseru sambil menangkupkan tangan ke muka.

Sekali-kali air mataku mencair kembali saat acara sungkeman, ini perasaan apa? Iya, aku juga merasakan hal yang sama. Restu Bapak dan Ibu tercermin dari komat-kamit yang dilirihkan ke telinga Mas Joko dan Mbak Era, air mataku semakin deras.

Kini, saat mengenangnya, moment itu berkelebat sangat indah. Seperti membayangkan diriku sedang menyaksikan the royal wedding, dan sebenarnya tidak melulu pernikahan itu indah, katamu. Ada bumbu-bumbu di dalamnya yang kadang-kadang membuat seharian menjadi nelangsa. Dan saat itu terjadi, KOMITMEN muncul sebagai penangkalnya. Pernikahan adalah realita, bukan sekedar dongeng rekaan yang dapat di setting endingnya mau seperti apa.

Happy Anniversary, Bapak-Mamanya Dio-Deandra, semoga semakin sakinah, mawaddah, warahmah. Amin

Pernikahan itu adalah komitmen tiada henti dan sampai mati, dan ingat ya saying, itu bukan akhir perjalanan, justru itu baru awal dari sebuah perjalanan panjang.

Dan aku mengerti, kenapa pernikahan itu disebut menggenapkan dien seseorang. Iya, pernikahan adalah perjalanan panjang.

Sebelas, maret, duaribu tujuh – sebelas, maret, duaribu empat belas
Read More »